Menyapa Kesiapan Indonesia Hadapi Ancaman Inflasi
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
PEMERINTAH telah mengencangkan sabuk ekonomi yang dipacu dengan semangat optimisme pergerakan ekonomi dari fase recovery menuju ekspansi. Hal yang menantang adalah munculnya ancaman inflasi di berbagai negara di dunia. Berawal dari taper tantrum hingga kini turbulensi inflasi global telah menjadi ancaman baru bagi ekonomi dunia yang patut diwaspadai oleh Indonesia.
Dewasa ini, inflasi menjadi salah satu kekhawatiran utama berbagai negara di dunia. Kekhawatiran tersebut kian bertambah tatkala Inflasi diyakini dapat menjadi akar dari dinamika ekonomi yang berisiko menghambat laju pemulihan ekonomi pasca pandemi. Inflasi di berbagai negara mulai bergerak naik, menyebabkan melemahnya daya beli dan akhirnya memperlambat proses pemulihan ekonomi. Beberapa kejadian seperti perang Rusia-Ukraina, pergerakan tingkat bunga meningkat, program belanja perlindungan covid-19 yang berlebihan bahkan sampai defisit diatas 10%, merupakan beberapa penyebab munculnya inflasi tinggi ini.
Bloomberg mencatat bahwa Amerika Serikat dan Inggris saat ini telah masuk dalam gelombang inflasi tertinggi sejak 1980-an. Sementara itu, Sri Lanka dan Pakistan jatuh ke dalam krisis setelah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan badai besar pada negara berkembang karena kenaikan harga komoditas. Selain itu, analis Bloomberg juga menyebutkan bahwa kombinasi dampak perang dan Covid-19 dapat berujung pada pertumbuhan ekonomi yang melandai.
Kondisi Ekonomi Indonesia
Geliat aktivitas ekonomi masyarakat di dunia perlahan mulai menunjukkan pemulihan pascapandemi, tak terkecuali Indonesia. Hal itu terlihat pada catatan ekonomi kuartal I 2022 Indonesia yang telah mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01%. Capaian ini menyentuh zona atas dalam prediksi pemerintah yang direntang pada level 4,2–5,2% (yoy). Tren pemulihan ekonomi terlihat mampu berjalan konsisten, setelah pada Q4-2021 mencatatkan pertumbuhan 5,02%, dan itu bisa mengangkat growth Indonesia ke-3,69% sepanjang 2021. Negara di Asia Timur dan Tenggara memang tak bisa lepas dari tekanan inflasi global yang muncul akibat pandami berkepanjangan. Negeri dengan ekonomi kuat seperti Tiongkok pun belum dapat tumbuh secepat biasanya. Pada Q1-2022 Tiongkok hanya tumbuh 4,8%. Korea Selatan yang ditimpa beban ganda, inflasi global disertai gelombang besar varian Omicron, tumbuh 3,1%. Taiwan telah mengumumkan pertumbuhan Q1-2022 sebesar 3,1% dan Singapura 3,4%. Pada periode yang sama Thailand mencatat growth 3,2%, dan Malaysia diperkirakan tak lebih dari 4%. Vietnam mencatat yang tertinggi di Asean, yakni 5,03%.
Ketahanan ekonomi Indonesia tidak hanya ditunjukkan oleh pertumbuhan yang relatif lebih tinggi. Melainkan juga disertai inflasi yang cukup terkendali. Meski demikian, pemerintah dan otoritas moneter tak boleh lengah dan perlu terus berupaya menekan laju inflasi untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan ekonomi pasca pandemi. Setelah negara mampu mengendalikan penyebaran virus Covid-19, maka tantangan kali ini berupa kenaikan inflasi.
Inflasi adalah tantangan terbesar setelah pandemi yang dihadapi seluruh negara, termasuk Indonesia. Tingkat inflasi Indonesia per April tercatat sebesar 0,95% terhadap Maret (mtm) yang merupakan angka tertinggi sejak Januari 2019. Apabila dihitung secara tahunan, maka inflasi mancapai 3,47%. Nilai ini pun lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy). Meski demikian, tingkat inflasi Indonesia masih sesuai dengan sasarannya, berada pada rentang yang diasumsikan dalam APBN 2022 sebesar 2% - 4%. Selain itu, inflasi di Indonesia pun juga masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Rusia sebesar 16,7%, Amerika Serikat sebesar 8,3%, India sebesar 7,5%, dan Uni Eropa 7,8% pada April 2022 (yoy).
Daya beli masyarakat pun terus memberikan angin segar bagi perekonomian nasional yang ditandai dengan semakin kuatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta kondisi ketenagakerjaan nasional. Pada Triwulan I-2022, konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 4,34% (yoy). Jika dibandingkan dengan Triwulan IV- 2021 (qtq), konsumsi masyarakat yang merupakan kontributor terbesar PDB nasional masih mencatatkan pertumbuhan positif, mencerminkan pemulihan konsumsi yang terus berlanjut. Tren ini sejalan dengan relatif tingginya mobilitas masyarakat di sepanjang Triwulan I dibandingkan dengan Triwulan I-2021. Selain itu, peningkatan lapangan kerja baru juga berperan vital dalam mengakselerasi pemulihan daya beli masyarakat. Tingkat pengangguran nasional turun dari 6,26% pada Februari 2021 menjadi 5,83% pada Februari 2022.
Di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, Indonesia melalui kekayaan alamnya yang melimpah mendapatkan berkah besar melalui nilai ekspor yag kembali mencatatkan pertumbuhan tinggi, sementara ekspansi produksi turut mendorong pertumbuhan impor. Peningkatan permintaan atas komoditas dan produk manufaktur unggulan nasional masih terus terjadi, terutama di tengah disrupsi pasokan global dan konflik Rusia-Ukraina. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan barang kembali surplus sebesar USD9,33 miliar sepanjang kuartal I-2022. Surplus ini naik dari periode sama tahun 2021 sebesar USD5,52 miliar. Angka tersebut juga melonjak dari raihan kuartal I-2021senilai USD2,54 miliar. Nilai ekspor sepanjang kuartal I-2022 tembus USD66,14 miliar.
Ekspor migas tercatat mencapai USD3,3 miliar, naik 24,4% dari periode sama tahun sebelumnya. Sementara itu, ekspor sektor non migas pertanian mencapai USD1,15 miliar, tumbuh 10,3% dari periode sama tahun 2021. Ekspor industri pengolahan tembus USD11,5 miliar dan ekspor tambang USD4,9 miliar. Ekspor keduanya masing-masing meningkat 29,68% dan 78,65%, dibandingkan kuartal I 2021.
Adanya kenaikan nilai ekspor Indonesia mampu memberikan dampak positif bagi penerimaan negara. Meski kontribusi surplus perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak sebesar kontribusi dari konsumsi rumah tangga, namun surplus neraca perdagangan cukup berdampak baik dalam mendorong pertumbuhan penerimaan negara. Perbaikan harga komoditas-komoditas seperti batu bara, CPO, dan tembaga yang tak lain merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia adalah motor penggerak terjadinya surplus neraca perdagangan di Indonesia.
Langkah Indonesia Hadapi Ancaman Inflasi
Pemerintah perlu terus berupaya agar tekanan ekonomi dari eksternal yang sedang terjadi kini tak sampai berdampak pada konsumsi dan inflasi di dalam negeri. Terkait hal itu, APBN tetap menjadi instrumen utama yang mampu menjadi motor dalam menahan gejolak ekonomi dunia di tengah masa pemulihan ekonomi nasional. Salah satu fungsi dari APBN adalah stabilisasi, di mana APBN dapat digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi suatu negara, termasuk tingkat inflasi. Oleh sebab itu, pemerintah dapat memainkan peran APBN sebagai shock absorber (peredam kejutan) dari dampak kenaikan harga komoditas energi dan pangan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Saat ini, APBN Indonesia dalam posisi yang sangat baik untuk memainkan strategi tersebut. Pada kuartal I 2022, kondisi APBN sangat sehat di mana pendapatan negara tumbuh signifikan mencapai 32,1%. Meski demikian, dalam mendesain APBN pemerintah perlu tetap melakukannya secara prudent dan hati-hati. Kendati didesain secara hati-hati, APBN juga perlu tetap responsif untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah fundamental akibat inflasi.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus mendorong reformasi struktural dalam sektor riil untuk menghadapi gejolak ekonomi global dan tekanan inflasi dunia yang diproyeksikan cukup menantang. Upaya perbaikan fundamental ekonomi yang dilakukan melalui reformasi struktural dapat ditopang melalui implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Melalui implementasi reformasi struktural tersebut, tren pertumbuhan ekonomi diharapkan terus meningkat sehingga Indonesia memiliki basis pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Berbekal keberhasilan pemerintah dalam menghadap krisis ekonomi selama pandemi, maka pemerintah optimistis dapat menghadapi ancaman inflasi global dengan terus melakukan penyempurnaan program-program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan. Semoga.
Baca Juga: koran-sindo.com
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
PEMERINTAH telah mengencangkan sabuk ekonomi yang dipacu dengan semangat optimisme pergerakan ekonomi dari fase recovery menuju ekspansi. Hal yang menantang adalah munculnya ancaman inflasi di berbagai negara di dunia. Berawal dari taper tantrum hingga kini turbulensi inflasi global telah menjadi ancaman baru bagi ekonomi dunia yang patut diwaspadai oleh Indonesia.
Dewasa ini, inflasi menjadi salah satu kekhawatiran utama berbagai negara di dunia. Kekhawatiran tersebut kian bertambah tatkala Inflasi diyakini dapat menjadi akar dari dinamika ekonomi yang berisiko menghambat laju pemulihan ekonomi pasca pandemi. Inflasi di berbagai negara mulai bergerak naik, menyebabkan melemahnya daya beli dan akhirnya memperlambat proses pemulihan ekonomi. Beberapa kejadian seperti perang Rusia-Ukraina, pergerakan tingkat bunga meningkat, program belanja perlindungan covid-19 yang berlebihan bahkan sampai defisit diatas 10%, merupakan beberapa penyebab munculnya inflasi tinggi ini.
Bloomberg mencatat bahwa Amerika Serikat dan Inggris saat ini telah masuk dalam gelombang inflasi tertinggi sejak 1980-an. Sementara itu, Sri Lanka dan Pakistan jatuh ke dalam krisis setelah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan badai besar pada negara berkembang karena kenaikan harga komoditas. Selain itu, analis Bloomberg juga menyebutkan bahwa kombinasi dampak perang dan Covid-19 dapat berujung pada pertumbuhan ekonomi yang melandai.
Kondisi Ekonomi Indonesia
Geliat aktivitas ekonomi masyarakat di dunia perlahan mulai menunjukkan pemulihan pascapandemi, tak terkecuali Indonesia. Hal itu terlihat pada catatan ekonomi kuartal I 2022 Indonesia yang telah mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01%. Capaian ini menyentuh zona atas dalam prediksi pemerintah yang direntang pada level 4,2–5,2% (yoy). Tren pemulihan ekonomi terlihat mampu berjalan konsisten, setelah pada Q4-2021 mencatatkan pertumbuhan 5,02%, dan itu bisa mengangkat growth Indonesia ke-3,69% sepanjang 2021. Negara di Asia Timur dan Tenggara memang tak bisa lepas dari tekanan inflasi global yang muncul akibat pandami berkepanjangan. Negeri dengan ekonomi kuat seperti Tiongkok pun belum dapat tumbuh secepat biasanya. Pada Q1-2022 Tiongkok hanya tumbuh 4,8%. Korea Selatan yang ditimpa beban ganda, inflasi global disertai gelombang besar varian Omicron, tumbuh 3,1%. Taiwan telah mengumumkan pertumbuhan Q1-2022 sebesar 3,1% dan Singapura 3,4%. Pada periode yang sama Thailand mencatat growth 3,2%, dan Malaysia diperkirakan tak lebih dari 4%. Vietnam mencatat yang tertinggi di Asean, yakni 5,03%.
Ketahanan ekonomi Indonesia tidak hanya ditunjukkan oleh pertumbuhan yang relatif lebih tinggi. Melainkan juga disertai inflasi yang cukup terkendali. Meski demikian, pemerintah dan otoritas moneter tak boleh lengah dan perlu terus berupaya menekan laju inflasi untuk menjaga keberlangsungan proses pemulihan ekonomi pasca pandemi. Setelah negara mampu mengendalikan penyebaran virus Covid-19, maka tantangan kali ini berupa kenaikan inflasi.
Inflasi adalah tantangan terbesar setelah pandemi yang dihadapi seluruh negara, termasuk Indonesia. Tingkat inflasi Indonesia per April tercatat sebesar 0,95% terhadap Maret (mtm) yang merupakan angka tertinggi sejak Januari 2019. Apabila dihitung secara tahunan, maka inflasi mancapai 3,47%. Nilai ini pun lebih tinggi dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya yang sebesar 2,64% (yoy). Meski demikian, tingkat inflasi Indonesia masih sesuai dengan sasarannya, berada pada rentang yang diasumsikan dalam APBN 2022 sebesar 2% - 4%. Selain itu, inflasi di Indonesia pun juga masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Rusia sebesar 16,7%, Amerika Serikat sebesar 8,3%, India sebesar 7,5%, dan Uni Eropa 7,8% pada April 2022 (yoy).
Daya beli masyarakat pun terus memberikan angin segar bagi perekonomian nasional yang ditandai dengan semakin kuatnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga serta kondisi ketenagakerjaan nasional. Pada Triwulan I-2022, konsumsi rumah tangga mampu tumbuh 4,34% (yoy). Jika dibandingkan dengan Triwulan IV- 2021 (qtq), konsumsi masyarakat yang merupakan kontributor terbesar PDB nasional masih mencatatkan pertumbuhan positif, mencerminkan pemulihan konsumsi yang terus berlanjut. Tren ini sejalan dengan relatif tingginya mobilitas masyarakat di sepanjang Triwulan I dibandingkan dengan Triwulan I-2021. Selain itu, peningkatan lapangan kerja baru juga berperan vital dalam mengakselerasi pemulihan daya beli masyarakat. Tingkat pengangguran nasional turun dari 6,26% pada Februari 2021 menjadi 5,83% pada Februari 2022.
Di tengah lambatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, Indonesia melalui kekayaan alamnya yang melimpah mendapatkan berkah besar melalui nilai ekspor yag kembali mencatatkan pertumbuhan tinggi, sementara ekspansi produksi turut mendorong pertumbuhan impor. Peningkatan permintaan atas komoditas dan produk manufaktur unggulan nasional masih terus terjadi, terutama di tengah disrupsi pasokan global dan konflik Rusia-Ukraina. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan neraca perdagangan barang kembali surplus sebesar USD9,33 miliar sepanjang kuartal I-2022. Surplus ini naik dari periode sama tahun 2021 sebesar USD5,52 miliar. Angka tersebut juga melonjak dari raihan kuartal I-2021senilai USD2,54 miliar. Nilai ekspor sepanjang kuartal I-2022 tembus USD66,14 miliar.
Ekspor migas tercatat mencapai USD3,3 miliar, naik 24,4% dari periode sama tahun sebelumnya. Sementara itu, ekspor sektor non migas pertanian mencapai USD1,15 miliar, tumbuh 10,3% dari periode sama tahun 2021. Ekspor industri pengolahan tembus USD11,5 miliar dan ekspor tambang USD4,9 miliar. Ekspor keduanya masing-masing meningkat 29,68% dan 78,65%, dibandingkan kuartal I 2021.
Adanya kenaikan nilai ekspor Indonesia mampu memberikan dampak positif bagi penerimaan negara. Meski kontribusi surplus perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak sebesar kontribusi dari konsumsi rumah tangga, namun surplus neraca perdagangan cukup berdampak baik dalam mendorong pertumbuhan penerimaan negara. Perbaikan harga komoditas-komoditas seperti batu bara, CPO, dan tembaga yang tak lain merupakan komoditas ekspor unggulan Indonesia adalah motor penggerak terjadinya surplus neraca perdagangan di Indonesia.
Langkah Indonesia Hadapi Ancaman Inflasi
Pemerintah perlu terus berupaya agar tekanan ekonomi dari eksternal yang sedang terjadi kini tak sampai berdampak pada konsumsi dan inflasi di dalam negeri. Terkait hal itu, APBN tetap menjadi instrumen utama yang mampu menjadi motor dalam menahan gejolak ekonomi dunia di tengah masa pemulihan ekonomi nasional. Salah satu fungsi dari APBN adalah stabilisasi, di mana APBN dapat digunakan untuk menjaga stabilitas ekonomi suatu negara, termasuk tingkat inflasi. Oleh sebab itu, pemerintah dapat memainkan peran APBN sebagai shock absorber (peredam kejutan) dari dampak kenaikan harga komoditas energi dan pangan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Saat ini, APBN Indonesia dalam posisi yang sangat baik untuk memainkan strategi tersebut. Pada kuartal I 2022, kondisi APBN sangat sehat di mana pendapatan negara tumbuh signifikan mencapai 32,1%. Meski demikian, dalam mendesain APBN pemerintah perlu tetap melakukannya secara prudent dan hati-hati. Kendati didesain secara hati-hati, APBN juga perlu tetap responsif untuk turut serta menyelesaikan masalah-masalah fundamental akibat inflasi.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu terus mendorong reformasi struktural dalam sektor riil untuk menghadapi gejolak ekonomi global dan tekanan inflasi dunia yang diproyeksikan cukup menantang. Upaya perbaikan fundamental ekonomi yang dilakukan melalui reformasi struktural dapat ditopang melalui implementasi Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksanaannya. Melalui implementasi reformasi struktural tersebut, tren pertumbuhan ekonomi diharapkan terus meningkat sehingga Indonesia memiliki basis pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat.
Berbekal keberhasilan pemerintah dalam menghadap krisis ekonomi selama pandemi, maka pemerintah optimistis dapat menghadapi ancaman inflasi global dengan terus melakukan penyempurnaan program-program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan. Semoga.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)