Pilkada Serentak, DPR Minta Kampanye Tak Terlalu Dibatasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pilkada 2020 yang digelar di masa pandemi Covid-19 memaksa Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat format kampanye yang sesuai protokol kesehatan. Salah satunya membatasi jumlah peserta kampanye. Dalam Peraturan KPU (PKPU) yang disusun, kampanye dialogis maksimal hanya boleh dihadiri 20 orang. Adapun peserta kampanye yang lain bisa menyaksikan kegiatan secara virtual melalui tayangan di posko-posko pemenangan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, pertemuan akbar di tengah pandemi ini memang sudah tidak memungkinkan sehingga kampanye yang diperbolehkan adalah kampanye dialogis di ruang tertutup. Namun, dia berharap kampanye terbuka bisa diikuti lebih banyak orang. “Kampanye diikuti 20 orang itu terlalu sedikit. Bisa saja sebenarnya 50-100 orang selama ada protokol kesehatan, ada phisycal distancing. Rapat di DPR saja bisa diikuti hingga 60% anggota,” kata Saan saat dihubungi kemarin.
Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR ini menilai, kalau kampanye dialogis hanya berisi maksimal 20 peserta kurang meriah. Padahal, kampanye juga perlu kemeriahan dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat agar nanti menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember nanti. (Baca: Rapid test Harus Bayar, KH Cholil Nafis: Kemana Uang Triliunan Rupiah Itu?)
Dengan berkurangnya kampanye tatap muka akibat pandemi, kampanye melalui media sosial (medsos), iklan maupun alat peraga kampanye (APK) perlu diberi kesempatan yang lebih luas. Hal ini menurut dia akan dikoordinasikan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Saan, pasangan calon perlu punya ruang yang lebih luas. “Aturan sebelumnya kan sangat ketat pembatasannya. Nanti karena Covid-19 akan dilonggarkan soal APK, medsos, dan iklan,” paparnya.
Terkait kampanye door to door, dia menjelaskan bahwa itu agak berat karena bersinggungan langsung dengan masyarakat dan tentu pasangan calon dan timnya harus mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap, sebagaimana para penyelenggara adhoc melaksanakan tugasnya. “Kalau PKPU lebih banyak mengatur soal model kampanye di kondisi pandemi, dengan memperbanyak kegiatan di medsos, mengurangi bersinggungan langsung dengan masyarakat,” tambah Saan.
Sebelumnya, Ketua KPU Arief Budiman menyebut bahwa kampanye di Pilkada 2020 akan membatasi jumlah massa karena menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Kampanye akan berbentuk virtual atau menggunakan media digital. (Baca juga: Oligarki Partai Politik Mengancam Demokrasi)
Sementara itu, masalah pencairan anggaran kembali mewarnai di tahapan Pilkada 2020. Sejumlah daerah hingga kemarin belum mencairkan anggaran sesuai ketentuan yang berlaku. Seperti diketahui, total anggaran yang disepakati dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pelaksanaan pilkada sebesar Rp14,9 triliun.
“Pencairan yang dilakukan pemda ke penyelenggara dari Rp14,9 triliun telah terealisasi Rp5,8 triliun atau 39,29%. Dana yang sudah dicairkan untuk KPU sebanyak 41,85%, Bawaslu 44,98%, dan pengamanan 9,6 %,” kata Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Bahri, kemarin. (Lihat videonya: Geiat Cafe di Masa Pandemi Covid-19)
Dia menyebut, pada tahap pertama pemerintah daerah diharuskan mencairkan 40% anggaran yang disepakati di NPHD. “Masih ada 43 daerah yang mentransfer dana hibah ke KPU di bawah 40%. Di Bawaslu kami menemukan 34 daerah yang transfer dana hibah di bawah 40%,” ungkapnya.
Bahri meminta agar daerah yang belum memenuhi pencairan tahap pertama segera melakukan pencairan. Hal ini mengingat Permendagri Nomor 41/2020 menyatakan pencairan tahap II sebesar 60% dari NPHD dilakukan lima bulan sebelum pemungutan suara atau pada Juli 2020. (Kiswondari/Dita Angga)
Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa mengatakan, pertemuan akbar di tengah pandemi ini memang sudah tidak memungkinkan sehingga kampanye yang diperbolehkan adalah kampanye dialogis di ruang tertutup. Namun, dia berharap kampanye terbuka bisa diikuti lebih banyak orang. “Kampanye diikuti 20 orang itu terlalu sedikit. Bisa saja sebenarnya 50-100 orang selama ada protokol kesehatan, ada phisycal distancing. Rapat di DPR saja bisa diikuti hingga 60% anggota,” kata Saan saat dihubungi kemarin.
Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR ini menilai, kalau kampanye dialogis hanya berisi maksimal 20 peserta kurang meriah. Padahal, kampanye juga perlu kemeriahan dalam upaya sosialisasi kepada masyarakat agar nanti menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember nanti. (Baca: Rapid test Harus Bayar, KH Cholil Nafis: Kemana Uang Triliunan Rupiah Itu?)
Dengan berkurangnya kampanye tatap muka akibat pandemi, kampanye melalui media sosial (medsos), iklan maupun alat peraga kampanye (APK) perlu diberi kesempatan yang lebih luas. Hal ini menurut dia akan dikoordinasikan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurut Saan, pasangan calon perlu punya ruang yang lebih luas. “Aturan sebelumnya kan sangat ketat pembatasannya. Nanti karena Covid-19 akan dilonggarkan soal APK, medsos, dan iklan,” paparnya.
Terkait kampanye door to door, dia menjelaskan bahwa itu agak berat karena bersinggungan langsung dengan masyarakat dan tentu pasangan calon dan timnya harus mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap, sebagaimana para penyelenggara adhoc melaksanakan tugasnya. “Kalau PKPU lebih banyak mengatur soal model kampanye di kondisi pandemi, dengan memperbanyak kegiatan di medsos, mengurangi bersinggungan langsung dengan masyarakat,” tambah Saan.
Sebelumnya, Ketua KPU Arief Budiman menyebut bahwa kampanye di Pilkada 2020 akan membatasi jumlah massa karena menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Kampanye akan berbentuk virtual atau menggunakan media digital. (Baca juga: Oligarki Partai Politik Mengancam Demokrasi)
Sementara itu, masalah pencairan anggaran kembali mewarnai di tahapan Pilkada 2020. Sejumlah daerah hingga kemarin belum mencairkan anggaran sesuai ketentuan yang berlaku. Seperti diketahui, total anggaran yang disepakati dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pelaksanaan pilkada sebesar Rp14,9 triliun.
“Pencairan yang dilakukan pemda ke penyelenggara dari Rp14,9 triliun telah terealisasi Rp5,8 triliun atau 39,29%. Dana yang sudah dicairkan untuk KPU sebanyak 41,85%, Bawaslu 44,98%, dan pengamanan 9,6 %,” kata Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Bahri, kemarin. (Lihat videonya: Geiat Cafe di Masa Pandemi Covid-19)
Dia menyebut, pada tahap pertama pemerintah daerah diharuskan mencairkan 40% anggaran yang disepakati di NPHD. “Masih ada 43 daerah yang mentransfer dana hibah ke KPU di bawah 40%. Di Bawaslu kami menemukan 34 daerah yang transfer dana hibah di bawah 40%,” ungkapnya.
Bahri meminta agar daerah yang belum memenuhi pencairan tahap pertama segera melakukan pencairan. Hal ini mengingat Permendagri Nomor 41/2020 menyatakan pencairan tahap II sebesar 60% dari NPHD dilakukan lima bulan sebelum pemungutan suara atau pada Juli 2020. (Kiswondari/Dita Angga)
(ysw)