G-20 dan Diplomasi Cerdas

Rabu, 11 Mei 2022 - 09:37 WIB
loading...
G-20 dan Diplomasi Cerdas
Sampe L Purba (Foto: Ist)
A A A
Sampe L. Purba
Alumni Universitas Pertahanan

PERHELATAN G-20 tahun 2022 di Bali dibayangi oleh ketegangan antara kutub kutub raksasa ekonomi dunia sebagai imbas dari perang Rusia di Ukraina. G-20 terdiri dari 19 negara plus ekonomi Eropa dengan total Gross Domestic Bruto sekitaran USD98 triliun. G-20 meliputi 90% GDP dunia, 75% arus perdagangan global, serta dua pertiga populasi dunia. Sebagian kalangan menyampaikan concern bahwa Amerika Serikat dan sekutunya akan memboikot pertemuan ini apabila pemimpin Rusia hadir. Sesungguhnya G-20 adalah forum kerja sama multilateral bidang ekonomi, bukan forum politik atau forum keamanan. Hal menjaga keamanan dan ketertiban dunia, itu lebih merupakan tanggung jawab PBB.

Secara kategoris sederhana terdapat tiga kluster kepentingan ekonomi yang berbeda dalam pusaran perang ini. Pertama adalah kluster Uni Eropa. Uni Eropa yang beranggota 27 negara, representasi 18% GDP, namun memiliki kepentingan ekonomi yang berbeda-beda urgensinya terhadap Rusia. Negara-negara utama seperti Jerman, Perancis dan Italia memiliki ketergantungan kepada impor minyak dan gas Rusia bervariasi dari 20%-40%. Disrupsi terhadap sumber energi ini akan sangat berimbas kepada industri, dan perekonomian yang dapat memicu inflasi. Kekurangan gas untuk kelistrikan dan pemanas di musim dingin akan dapat memicu sentimen negatif kepada pemerintahnya masing-masing.

Kedua adalah kluster BRIC (Brazil, Rusia, India, RRC dan Afrika Selatan). Kelima Negara ini meliputi 28% ekonomi G-20, dan 62% penduduk. BRIC lebih mengutamakan isu-isu ekonomi daripada isu politik. Rusia–RRC–India secara regional memiliki kepentingan geoekonomi strategis. Mereka memiliki forum-forum ekonomi yang aktif seperti Centre Asia Economic Forum dan Eastern Economic Forum. Terhadap komando Amerika Serikat untuk mengisolasi atau mengembargo produk-produk Rusia misalnya, India dan RRC secara tegas tidak mendukungnya. Bahkan sebaliknya, dalam beberapa hal, diam-diam dapat memahami dan mendukung upaya Rusia yang meminta agar kontrak-kontrak energi jangka panjangnya dibayar dalam mata uang Rubel atau barter.

Ketiga adalah negara-negara lainnya. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan atau negara yang sedang menuju maju seperti Arab Saudi, Argentina atau Turki tentu lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibanding terseret ke pusaran dan orbit Amerika Serikat. Turki sebagai anggota NATO – yang permohonannya masuk ke masyarakat Uni Eropa sudah lebih 30 tahun belum diluluskan – akan mengambil peran diplomasi ekonomi dan politik dalam penyelesaian perang ini. Presiden Erdogan sebagai pewaris kekhalifahan Ottoman yang legendaris akan menunjukkan kepiawaiannya dalam diplomasi politik, sebagaimana telah ditunjukkannya dalam penyelesaian krisis di Afganistan.

Amerika Serikat dan Inggris adalah dua negara yang patut diberi perhatian khusus. Inggris paling vokal menentang perang Rusia di Ukraina serta menyerukan boikot ekonomi. Hal ini dapat dipahami, mengingat ketergantungan Inggris kepada minyak dan gas Rusia relatif rendah, hanya sekitar 5%. Selain itu, secara umum garis politik internasionalnya adalah copypaste Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai negara superpower dan Inggris sebagai ex superpower memandang dirinya sebagai sheriff penjaga moralitas value yang dianutnya sebagai nilai yang perlu diterima secara universal. Kedua Negara ini mengesampingkan bahwa tindakan Rusia menyerang negara merdeka Ukraina (special military operations) adalah dipicu oleh iming-iming NATO menawarkan keanggotaan kepada Ukraina. Dalam doktrin militer Rusia – pasca bubarnya Uni Soviet, negara-negara pecahannya di perbatasan adalah sphere of privileged interests yang perlu diikat dan dijaga keamanan bersama.

Amerika Serikat? Ini negara yang paling sibuk mengomando ke sana kemari untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia. Dalam perspektif geopolitik, sebagai negara superpower, tentu kepentingan nasional Amerika Serikat meliputi lintas global secara geografis. Tetapi sebagaimana dalam sejarah hubungan internasional yang lain, kesibukan Amerika Serikat tidak serta merta memberikan kewajiban moral baginya untuk mengikuti tatanan yang dibuatnya. Sebagai contoh, dalam kasus imbauan embargo migas dari Rusia, beberapa media mencatat, justru perusahaan perusahaan Amerika Serikat yang mengimpor minyak dan gas besar-besaran dari Rusia dengan harga diskon.

Dalam sejarah hubungan internasional, cara-cara demikian telah beberapa kali dipertunjukkannya. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Presiden Woodrow Wilson adalah penggagas tatanan keamanan dunia baru pascaperang dunia pertama, dengan membentuk Liga Bangsa-Bangsa. Tetapi Amerika Serikat tidak menjadi anggota di organisasi ini. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional, Amerika Serikat sangat aktif merumuskan terms yang menjadi Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Tetapi lagi-lagi, Amerika Serikat tidak menjadi anggotanya. Dia tidak mau tunduk kepada aturan aturan seperti zona ekonomi eksklusif, hak dan kewajiban jalur maupun akses laut, penelitian ilmiah dan sebagainya.

Dalam isu lingkungan di bawah PBB (UN Framework Convention on Climate Change) 1992, pemerintahnya menandatangani, tetapi tidak diratifikasi. Terbaru, di bawah Donald Trump, Amerika Serikat keluar dari Paris Agreement 2015, dan baru masuk kembali pada masa Joe Biden.

Diplomasi cerdas Presiden Jokowi
John Nye (2004) mengidentifikasi soft power dalam bentuk kultur, nilai-nilai politik, serta kebijakan suatu negara. Adapun hard power adalah kapabilitas suatu negara untuk secara koersif berdasarkan kemampuan militer dan atau ekonomi yang dimilikinya meminta pihak lain (negara atau organisasi) untuk bertindak sesuai dengan keinginannya. Perang adalah kelanjutan diplomasi politik sebagai manifestasi power (Clausewitz, 1817).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1216 seconds (0.1#10.140)