Pergeseran Kriteria Capres, Rakyat Ingin The Next Jokowi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kurang dari dua tahun jelang Pilpres 2024 , sejumlah nama calon presiden ( capres ) maupun calon wakil presiden (cawapres) kian santer disebutkan di ruang publik. Bahkan, sejumlah lembaga survei juga membuat simulasi-simulasi pasangan, seperti di antaranya ada Prabowo Subianto-Puan Maharani, Ganjar Pranowo-Anies Baswedan, Airlangga Hartarto-Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan beberapa simulasi lainnya dari nama-nama tersebut.
Terkait hal ini, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, masing-masing pasangan memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri. Seperti misalnya Prabowo yang unggul di elektabilitas karena beberapa kali maju pilpres, atau kelemahan Puan yang popularitas dan elektabilitasnya masih rendah.
“Nah ini sebetulnya, Pak Prabowo elektabilitas paling tinggi karena ada tabungan elektabilitas sebelumnya, Mbak Puan belum populer,” kata pria yang akrab disapa Hensat ini saat dihubungi, Rabu (11/5/2022).
Kemudian, Hensat melanjutkan, untuk pasangan Ganjar-Anies, pasangan ini berpeluang untuk diwujudkan. Namun bebannya ada pada Ganjar yang terjerat garis kebijakan PDIP, di mana ada Puan Maharani yang juga disebut akan maju di Pilpres 2024.
"Sebagai politisi PDIP, elektabilitas dia paling tinggi, dan ditaksir beberapa parpol untuk menjadi capres. Namun sebagai kader dia harus ikut arahan partai. Dalam PDIP sendiri, disebut-sebut ada dua nama kuat untuk maju sebagai capres yaitu Puan Maharani dan Ganjar Pranowo," katanya.
Menurut Hensat, siapapun capres dan cawapres yang akan diusung oleh partai politik, masyarakat ingin sosok presiden yang ‘The next Jokowi’. Mengutip hasil riset lembaganya KedaiKOPI, ada pergeseran kriteria calon presiden.
Sebelumnya, masyarakat ingin presiden yang merakyat lalu cerdas, sekarang jadi cerdas dan merakyat. “Perubahan ini menarik, artinya masyarakat sudah move ke calon presiden yang the next Jokowi. Jadi kalau Jokowi merakyat, sekarang coba kita cari yang cerdas dan merakyat,“ terang Hensat.
Dengan kriteria seperti ini, kata dia, maka strategi pemenangan di 2024 akan berbeda. Bukan hanya pencitraan, tapi juga sosok yang cerdas, dan mampu membuktikan hasil kerjanya dalam pembangunan. “Sebelumnya pencitraan bisa didorong sebagai penguat elektabilitas, mungkin setelah kriteria (capres) cerdas, strategi pemenangannya adalah pameran. Pamer-pamer hasil kerja, hasil pembangunan, enggak cuma pamer citra saja,“ pungkas Hensat.
Terkait hal ini, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, masing-masing pasangan memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri. Seperti misalnya Prabowo yang unggul di elektabilitas karena beberapa kali maju pilpres, atau kelemahan Puan yang popularitas dan elektabilitasnya masih rendah.
“Nah ini sebetulnya, Pak Prabowo elektabilitas paling tinggi karena ada tabungan elektabilitas sebelumnya, Mbak Puan belum populer,” kata pria yang akrab disapa Hensat ini saat dihubungi, Rabu (11/5/2022).
Kemudian, Hensat melanjutkan, untuk pasangan Ganjar-Anies, pasangan ini berpeluang untuk diwujudkan. Namun bebannya ada pada Ganjar yang terjerat garis kebijakan PDIP, di mana ada Puan Maharani yang juga disebut akan maju di Pilpres 2024.
"Sebagai politisi PDIP, elektabilitas dia paling tinggi, dan ditaksir beberapa parpol untuk menjadi capres. Namun sebagai kader dia harus ikut arahan partai. Dalam PDIP sendiri, disebut-sebut ada dua nama kuat untuk maju sebagai capres yaitu Puan Maharani dan Ganjar Pranowo," katanya.
Menurut Hensat, siapapun capres dan cawapres yang akan diusung oleh partai politik, masyarakat ingin sosok presiden yang ‘The next Jokowi’. Mengutip hasil riset lembaganya KedaiKOPI, ada pergeseran kriteria calon presiden.
Sebelumnya, masyarakat ingin presiden yang merakyat lalu cerdas, sekarang jadi cerdas dan merakyat. “Perubahan ini menarik, artinya masyarakat sudah move ke calon presiden yang the next Jokowi. Jadi kalau Jokowi merakyat, sekarang coba kita cari yang cerdas dan merakyat,“ terang Hensat.
Dengan kriteria seperti ini, kata dia, maka strategi pemenangan di 2024 akan berbeda. Bukan hanya pencitraan, tapi juga sosok yang cerdas, dan mampu membuktikan hasil kerjanya dalam pembangunan. “Sebelumnya pencitraan bisa didorong sebagai penguat elektabilitas, mungkin setelah kriteria (capres) cerdas, strategi pemenangannya adalah pameran. Pamer-pamer hasil kerja, hasil pembangunan, enggak cuma pamer citra saja,“ pungkas Hensat.
(rca)