Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Pemerataan Kesejahteraan
loading...
A
A
A
Prof Rokhmin Dahuri
Anggota Dewan Pembina BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia), Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin, Wakil Ketua Dewan Pakar MN-KAHMI, Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat
KAPITALISME sebagai paradigma peradaban manusia utama sejak awal Revolusi Industri-I (1750-an) telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata 3,5% per tahun, dari PDB Global hanya sebesar 0,45 triliun dolar AS pada 1753 menjadi 100 triliun dolar AS pada 2019 (Sach, 2015; Bank Dunia, 2020). Kapitalisme juga sukses menghasilkan beragam inovasi Iptek yang tertorehkan dalam empat gelombang Revolusi Industri. Kalau Revolusi Industri-I (1753 – 1840) dicirikan dengan penemuan dan penggunaan mesin uap, pemintal kapas, dan telegraf, Revolusi Industri-IV (2001 – sekarang) basis inovasinya bertumpu pada kombinasi teknologi digital, fisika, dan bioteknologi. Kemajuan teknologi yang pesat telah membuat kehidupan manusia lebih sehat, mudah, cepat, aman, dan nyaman.
Namun, hingga kini kapitalisme masih menyisakan sekitar 813.000 warga dunia (11% penduduk dunia) hidup dalam kemiskinan ekstrem (pengeluaran lebih kecil dari 1,9 dolar AS/orang/hari), dan sekitar 3 miliar orang (40% penduduk dunia) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2,5 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). Lebih dari itu, sekitar 1,3 miliar warga dunia hidup di kawasan permukiman yang tanpa aliran listrik; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 miliar orang hidup di permukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2020).
Yang lebih mencemaskan, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin) pun semakin melebar dan membahayakan keharmonisan sosial. Pada 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90%. Lalu, pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750%, sekitar 8 kali lipat. Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50% penduduk dunia yang termiskin. Dan, pada 2017 total kekayaan yang dimiliki 50% penduduk dunia termiskin sama dengan total kekayaan dari hanya 8 orang terkaya di dunia (Oxfam International, 2018).
Di Indonesia, ihwal ketimpangan ekonomi tak kalah mencekam. Betapa tidak, satu persen penduduk terkaya Indonesia memiliki total kekayaan setara dengan 45% total kekayaan negara, terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand (Oxfarm International, 2021). Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (USD25 miliar = Rp 335 triliun) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh korporasi nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).
Pertumbuhan ekonomi model kapitalisme di atas juga telah mengakibatkan pencemaran, biodiversity loss, berbagai macam kerusakan lingkungan lainnya, dan pemanasan global pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem alam (planet Bumi) untuk menopang pembangunan ekonomi dan kehidupan umat manusia (Al Gore, 2017; IPCC, 2021).
Penyebab Kegagalan
Menyadari atas kelemahannya, kapitalisme pun tidak tinggal diam. Untuk mereduksi ketimpangan ekonomi, sejak 1960-an berbagai kebijakan dan regulasi telah digulirkan, terutama berupa kebijakan growth with equity dan instrumen pajak progresif, yakni semakin kaya seseorang (perusahaan), maka ia akan dikenai pungutan pajak (tax rate) yang semakin tinggi pula. Selain itu, program community development, CSR (corporate social responsibility), dan transfer teknologi.
Dalam rangka mengendalikan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, sejak 1972 PBB telah menganjurkan masyarakat dunia untuk meninggalkan paradigma pembangunan kapitalistik yang sangat growth mania, ekstraktif, dan hedonis; dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (WCED, 1987). Kemudian, sejak akhir 1980-an konsep ekonomi hijau (green economy), ekonomi biru (blue economy), dan ekonomi sirkular pun dijadikan arus utama pembangunan di seluruh negara anggota PBB guna merealisasikan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) pada 2030.
Namun, faktanya seperti telah diuraikan di atas, ketimpangan ekonomi malah semakin melebar, dan beragam jenis kerusakan lingkungan serta dampak negatif akibat perubahan iklim pun kian parah. Dengan perkataan lain, pendekatan teknologi, hukum, dan kelembagaan ala kapitalisme dalam mengatasi kedua tantangan global (global challenges) tersebut terbukti telah gagal. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kapitalisme memiliki cacat bawaan alias kesalahan paradigmatik, yakni tidak mempertimbangkan aspek spiritual, akhirat, dan Tuhan dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan regulasi pembangunan.
Dalam sistem kehidupan manusia yang tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan tidak menyertakan Tuhan, semua peraturan- perundangan bisa diatur oleh mereka yang punya kekuasaaan dan/atau harta melimpah. Maka, jangan heran bila semua kapitalis kerjaannya hanya menumpuk harta, dan enggan berbagi untuk membantu warga miskin keluar dari jebakan kemiskinan.
Anggota Dewan Pembina BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia), Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin, Wakil Ketua Dewan Pakar MN-KAHMI, Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat
KAPITALISME sebagai paradigma peradaban manusia utama sejak awal Revolusi Industri-I (1750-an) telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata 3,5% per tahun, dari PDB Global hanya sebesar 0,45 triliun dolar AS pada 1753 menjadi 100 triliun dolar AS pada 2019 (Sach, 2015; Bank Dunia, 2020). Kapitalisme juga sukses menghasilkan beragam inovasi Iptek yang tertorehkan dalam empat gelombang Revolusi Industri. Kalau Revolusi Industri-I (1753 – 1840) dicirikan dengan penemuan dan penggunaan mesin uap, pemintal kapas, dan telegraf, Revolusi Industri-IV (2001 – sekarang) basis inovasinya bertumpu pada kombinasi teknologi digital, fisika, dan bioteknologi. Kemajuan teknologi yang pesat telah membuat kehidupan manusia lebih sehat, mudah, cepat, aman, dan nyaman.
Namun, hingga kini kapitalisme masih menyisakan sekitar 813.000 warga dunia (11% penduduk dunia) hidup dalam kemiskinan ekstrem (pengeluaran lebih kecil dari 1,9 dolar AS/orang/hari), dan sekitar 3 miliar orang (40% penduduk dunia) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2,5 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). Lebih dari itu, sekitar 1,3 miliar warga dunia hidup di kawasan permukiman yang tanpa aliran listrik; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 miliar orang hidup di permukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2020).
Yang lebih mencemaskan, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin) pun semakin melebar dan membahayakan keharmonisan sosial. Pada 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90%. Lalu, pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750%, sekitar 8 kali lipat. Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50% penduduk dunia yang termiskin. Dan, pada 2017 total kekayaan yang dimiliki 50% penduduk dunia termiskin sama dengan total kekayaan dari hanya 8 orang terkaya di dunia (Oxfam International, 2018).
Di Indonesia, ihwal ketimpangan ekonomi tak kalah mencekam. Betapa tidak, satu persen penduduk terkaya Indonesia memiliki total kekayaan setara dengan 45% total kekayaan negara, terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand (Oxfarm International, 2021). Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (USD25 miliar = Rp 335 triliun) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh korporasi nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).
Pertumbuhan ekonomi model kapitalisme di atas juga telah mengakibatkan pencemaran, biodiversity loss, berbagai macam kerusakan lingkungan lainnya, dan pemanasan global pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem alam (planet Bumi) untuk menopang pembangunan ekonomi dan kehidupan umat manusia (Al Gore, 2017; IPCC, 2021).
Penyebab Kegagalan
Menyadari atas kelemahannya, kapitalisme pun tidak tinggal diam. Untuk mereduksi ketimpangan ekonomi, sejak 1960-an berbagai kebijakan dan regulasi telah digulirkan, terutama berupa kebijakan growth with equity dan instrumen pajak progresif, yakni semakin kaya seseorang (perusahaan), maka ia akan dikenai pungutan pajak (tax rate) yang semakin tinggi pula. Selain itu, program community development, CSR (corporate social responsibility), dan transfer teknologi.
Dalam rangka mengendalikan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, sejak 1972 PBB telah menganjurkan masyarakat dunia untuk meninggalkan paradigma pembangunan kapitalistik yang sangat growth mania, ekstraktif, dan hedonis; dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (WCED, 1987). Kemudian, sejak akhir 1980-an konsep ekonomi hijau (green economy), ekonomi biru (blue economy), dan ekonomi sirkular pun dijadikan arus utama pembangunan di seluruh negara anggota PBB guna merealisasikan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) pada 2030.
Namun, faktanya seperti telah diuraikan di atas, ketimpangan ekonomi malah semakin melebar, dan beragam jenis kerusakan lingkungan serta dampak negatif akibat perubahan iklim pun kian parah. Dengan perkataan lain, pendekatan teknologi, hukum, dan kelembagaan ala kapitalisme dalam mengatasi kedua tantangan global (global challenges) tersebut terbukti telah gagal. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kapitalisme memiliki cacat bawaan alias kesalahan paradigmatik, yakni tidak mempertimbangkan aspek spiritual, akhirat, dan Tuhan dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan regulasi pembangunan.
Dalam sistem kehidupan manusia yang tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan tidak menyertakan Tuhan, semua peraturan- perundangan bisa diatur oleh mereka yang punya kekuasaaan dan/atau harta melimpah. Maka, jangan heran bila semua kapitalis kerjaannya hanya menumpuk harta, dan enggan berbagi untuk membantu warga miskin keluar dari jebakan kemiskinan.