Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Pemerataan Kesejahteraan

Selasa, 10 Mei 2022 - 11:40 WIB
loading...
Puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Pemerataan Kesejahteraan
Prof Rokhmin Dahuri (Foto: Ist)
A A A
Prof Rokhmin Dahuri
Anggota Dewan Pembina BAMUSI (Baitul Muslimin Indonesia), Ketua Dewan Pakar Ikhwanul Mubalighin, Wakil Ketua Dewan Pakar MN-KAHMI, Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat

KAPITALISME sebagai paradigma peradaban manusia utama sejak awal Revolusi Industri-I (1750-an) telah berhasil memacu pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata 3,5% per tahun, dari PDB Global hanya sebesar 0,45 triliun dolar AS pada 1753 menjadi 100 triliun dolar AS pada 2019 (Sach, 2015; Bank Dunia, 2020). Kapitalisme juga sukses menghasilkan beragam inovasi Iptek yang tertorehkan dalam empat gelombang Revolusi Industri. Kalau Revolusi Industri-I (1753 – 1840) dicirikan dengan penemuan dan penggunaan mesin uap, pemintal kapas, dan telegraf, Revolusi Industri-IV (2001 – sekarang) basis inovasinya bertumpu pada kombinasi teknologi digital, fisika, dan bioteknologi. Kemajuan teknologi yang pesat telah membuat kehidupan manusia lebih sehat, mudah, cepat, aman, dan nyaman.

Namun, hingga kini kapitalisme masih menyisakan sekitar 813.000 warga dunia (11% penduduk dunia) hidup dalam kemiskinan ekstrem (pengeluaran lebih kecil dari 1,9 dolar AS/orang/hari), dan sekitar 3 miliar orang (40% penduduk dunia) masih miskin dengan pengeluaran kurang dari 2,5 dolar AS/orang/hari (Bank Dunia, 2021). Lebih dari itu, sekitar 1,3 miliar warga dunia hidup di kawasan permukiman yang tanpa aliran listrik; 900 juta orang tidak mendapatkan air bersih; dan 2,6 miliar orang hidup di permukiman dengan sanitasi buruk (UNDP, 2020).

Yang lebih mencemaskan, ketimpangan ekonomi (penduduk kaya vs miskin) pun semakin melebar dan membahayakan keharmonisan sosial. Pada 1800, perbedaan total PDB antara negara-negara kaya (Eropa) dengan negara-negara miskin di dunia sebesar 90%. Lalu, pada 2000 perbedaan tersebut meningkat secara dramatis menjadi 750%, sekitar 8 kali lipat. Kemudian pada 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 50% penduduk dunia yang termiskin. Dan, pada 2017 total kekayaan yang dimiliki 50% penduduk dunia termiskin sama dengan total kekayaan dari hanya 8 orang terkaya di dunia (Oxfam International, 2018).

Di Indonesia, ihwal ketimpangan ekonomi tak kalah mencekam. Betapa tidak, satu persen penduduk terkaya Indonesia memiliki total kekayaan setara dengan 45% total kekayaan negara, terburuk ketiga di dunia setelah Rusia dan Thailand (Oxfarm International, 2021). Kekayaan 4 orang terkaya Indonesia (USD25 miliar = Rp 335 triliun) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam International, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). Sekitar 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh korporasi nasional dan asing (Institute for Global Justice, 2016).

Pertumbuhan ekonomi model kapitalisme di atas juga telah mengakibatkan pencemaran, biodiversity loss, berbagai macam kerusakan lingkungan lainnya, dan pemanasan global pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) ekosistem alam (planet Bumi) untuk menopang pembangunan ekonomi dan kehidupan umat manusia (Al Gore, 2017; IPCC, 2021).

Penyebab Kegagalan
Menyadari atas kelemahannya, kapitalisme pun tidak tinggal diam. Untuk mereduksi ketimpangan ekonomi, sejak 1960-an berbagai kebijakan dan regulasi telah digulirkan, terutama berupa kebijakan growth with equity dan instrumen pajak progresif, yakni semakin kaya seseorang (perusahaan), maka ia akan dikenai pungutan pajak (tax rate) yang semakin tinggi pula. Selain itu, program community development, CSR (corporate social responsibility), dan transfer teknologi.

Dalam rangka mengendalikan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, sejak 1972 PBB telah menganjurkan masyarakat dunia untuk meninggalkan paradigma pembangunan kapitalistik yang sangat growth mania, ekstraktif, dan hedonis; dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) (WCED, 1987). Kemudian, sejak akhir 1980-an konsep ekonomi hijau (green economy), ekonomi biru (blue economy), dan ekonomi sirkular pun dijadikan arus utama pembangunan di seluruh negara anggota PBB guna merealisasikan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals) pada 2030.

Namun, faktanya seperti telah diuraikan di atas, ketimpangan ekonomi malah semakin melebar, dan beragam jenis kerusakan lingkungan serta dampak negatif akibat perubahan iklim pun kian parah. Dengan perkataan lain, pendekatan teknologi, hukum, dan kelembagaan ala kapitalisme dalam mengatasi kedua tantangan global (global challenges) tersebut terbukti telah gagal. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kapitalisme memiliki cacat bawaan alias kesalahan paradigmatik, yakni tidak mempertimbangkan aspek spiritual, akhirat, dan Tuhan dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan dan regulasi pembangunan.

Dalam sistem kehidupan manusia yang tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan tidak menyertakan Tuhan, semua peraturan- perundangan bisa diatur oleh mereka yang punya kekuasaaan dan/atau harta melimpah. Maka, jangan heran bila semua kapitalis kerjaannya hanya menumpuk harta, dan enggan berbagi untuk membantu warga miskin keluar dari jebakan kemiskinan.

Solusi Puasa Ramadhan
Maka, solusi tuntas untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi harus melibatkan dimensi spiritual dan ukhrawi. Kepatuhan seorang muslim yang beriman dan taqwa terhadap suatu peraturan, bukan hanya sekadar takut hukuman (punishment) di dunia, tetapi utamanya karena dia ingin mendapatkan ridha Allah, supaya di akhirat kelak terhindar dari siksa neraka, dan menjadi penghuni surga-Nya. Sementara itu, tujuan utama dari ibadah puasa Ramadan adalah agar orang-orang beriman yang melaksanakannya menjadi insan yang taqwa (QS. Al-Baqarah: 183). Taqwa adalah menjalankan seluruh perintah Allah dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Dalam konteks pemerataan kesejahteraan, perintah Allah yang relevan adalah berupa zakat, infaq, sedekah, dan waqaf. Hal yang sangat dianjurkan untuk ditingkatkan selama bulan Ramadan adalah mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) untuk menolong kaum duafa supaya bisa hidup sejahtera. Seorang muslim juga diwajibkan untuk membayar zakat fitrah, sebanyak 2,5 kg beras kualitas terbaik.

Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sekitar 238 juta orang (87% total penduduknya) (BPS, 2021), potensi ZIS dan waqaf di Indonesia untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi sangatlah besar. Ada dua jenis zakat, yakni zakat fitrah dan zakat mal. Tujuan akhir dari zakat fitrah adalah pemerataan konsumsi pangan, khususnya bahan pangan pokok, secara berkeadilan di antara warga masyarakat (bangsa) melalui consumption transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Melalui mekanisme ini, maka tidak akan terjadi tekanan permintaan pangan yang mendorong kenaikan harga-harga (demand-pull inflation). Lebih dari itu, distribusi konsumsi pangan yang lebih merata akan secara signifikan turut memecahkan salah satu permasalahan kronis bangsa kita berupa gizi buruk dan stunting.

Pada 2022 sekitar 211,7 juta muslim (89% total muslim) di Tanah Air dinilai memenuhi syarat (wajib) untuk mengeluarkan zakat fitrah, dengan total potensi di kisaran 476.000–529.000 ton beras setara dengan Rp4,7–6,7 triliun (IDEAS, 2022). Dalam pada itu, jumlah mustahik (muslim yang memenuhi syarat untuk menerima zakat fitrah) tahun ini sekitar 23,9 juta orang terdiri dari 15,7 juta orang miskin dan 8,2 juta orang miskin ekstrem (BAZNAS, 2022). Artinya, dari total potensi volume beras dan nilai rupiah itu, hanya sekitar 11% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mustahik di seluruh wilayah NKRI pada hari Raya Idul Fitri 1443 H tahun ini. Selebihnya (89%), setara dengan 424 – 471 ribu ton beras (Rp4,2 – Rp6 triliun) bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan pokok kaum fakir miskin selama sebelas bulan ke depan, hingga masuk bulan Ramadan berikutnya. Demikan, seterusnya.

Sementara itu, total potensi zakat mal (2,5% dari harta sesuai nisabnya) yang bisa dikumpulkan dari seluruh muslim muzaki (wajib bayar zakat) Indonesia rata-rata Rp327 triliun per tahun (BAZNAS, 2022). Zakat mal ini bisa digunakan untuk membantu usaha ekonomi kaum duafa, sehingga mereka menjadi ”tangan di atas” dan hidup sejahtera. Selain itu, zakat mal juga bisa untuk pembangunan sektor kesehatan dan pendidikan, dakwah, dan beragam kegiatan sosial (amal saleh) lainnya.

Apabila, iman dan taqwa muslim Indonesia terus meningkat, maka potensi dana filantropis yang bisa terkumpul dari infaq, sedekah, dan waqaf untuk mengatasi kemiskinan dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia itu akan jauh lebih besar dan dahsyat. Pasalnya, zakat mal itu hanya 2,5% total harta sesuai nisab. Sedangkan, infaq, sedekah, dan waqaf yang hukumnya sunah bisa sepertiga, setengah, atau bahkan seluruh harta, seperti yang dilakukan oleh para konglomerat dan sahabat Nabi Muhammad saw, Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, dan Abu Bakar Ashidiq.

Pada tataran global, menurut UNHCR dan UNDP (2022), bahwa dana ZIS dari muslim di seluruh dunia merupakan salah satu penyumbang terbesar bagi para korban bencana alam, kelaparan, pengungsi, korban perang, dan musibah lainnya.

Maka, wajar bila di era keemasan Umat Islam (the Golden Age of Moslem) dari abad-7 sampai abad-17, terutama sejak masa Khalifah Umar bin Abdul Azis (Bani Umayah), Khalifah Harun Al-Rasyid (Bani Abbasiyah) hingga Khalifah Muhammad Al-Fatih (Bani Utsmaniyah) yang menguasai 2/3 wilayah dunia, tidak ada satu pun mustahik zakat (penduduk miskin). Bahan pangan dari zakat fitrah dan uang (harta) dari ZIS disumbangkan (diekspor) ke negara-negara non-muslim (Wallace-Murphy, 2006).

Sayangnya, di zaman kontemporer ini jumlah dana zakat mal di Indonesia yang terkumpul setiap tahunnya masih jauh dari total potensinya, Rp327 triliun per tahun. Meskipun sejak 2010 terus meningkat, tetapi hingga tahun 2021 jumlah dana zakat mal yang berhasil dihimpun hanya Rp14 triliun, sekitar 4,3% total potensi. Oleh karena itu, mulai sekarang perlu perbaikan signifikan melalui peningkatan literasi, teknik pengumpulan, penggunaan, dan transparansi serta akuntabilitas pelaporan zakat mal kepada publik.

Melalui penyempurnaan cara pengumpulan dan manajemen penggunaan ZIS secara komprehensif dan berkesinambungan; dan pemberian akses seluas-luasnya kepada kaum duafa untuk mendapatkan permodalan, teknologi, skills (know-how), infrastruktur, pasar, dan aset ekonomi produktif lainnya, niscaya persoalan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi akan dapat diatasi secara tuntas. Untuk kemudian, Indonesia menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, berdaulat, dan diberkahi Tuhan YME (Indonesia Emas) paling lambat pada 2045.







(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1434 seconds (0.1#10.140)