Mari Bersalam-salaman
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MARI bersalam-salaman. Paling tidak, mari bayangkan saling bersalam-salaman. Kita sudah lama tidak saling bersentuhan tangan. Bersalaman lama kita hindari. Jangankan bersentuhan, berdekatan saja kemungkinan virus akan terbang dan menularkan, dan itu sudah kita hindari. Selama pandemi kita saling menjauh, menjaga jarak, dan mentaati protokol baru yang belum pernah kita jumpai seumur hidupa kita.
Selama pegebluk dua tahun ini, kita menjauhi satu sama lain secara lahiriyah. Menjaga jarak satu dan lainnya merupakan etika. Tentu ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai di luar wabah yang selama ini menekankan kedekatan dan jangan ragu saling bersentuhan.
Virus telah mengatur pola menjaga kesehatan badan kita, dan juga etika sosial kita. Tidak perlu barang besar, atau bencana alam semesta yang maha perkasa yang mengubah manusia, cukup virus yang tidak terlihat. Virus telah mengubah budaya bergaul dan menjauhkan satu manusia dengan manusia lainnya.
Kita masih saling bersaudara, masih sama-sama warga negara, masih saling bersahabat, tetapi kita jaga jarak demi kelangsungan hidup masing-masing. Hidup ternyata penting, baru kita sadari ketika dalam bahaya. Kematian ternyata menakutkan, buktinya kita menghindari kematian. Boleh jadi, ada yang ada saja menusia pemberani karena harga diri atau kepercayaan yang tinggi atau bahkan karena iman, tetapi kenyatannya semua mencari aman dan selamat. Keselamatan jiwa menjadi kepentingan bersama.
Dua tahun kita menghindari berdekatan. Sungguh menyiksa aturan baru itu. Dua tahun pula kita takut mendekati dan saling bersentuhan. Padahal, sentuhan tangan adalah tanda persahabatan. Banyak nasehat dan aturan yang menganjurkan bersalaman dengan santun. Bagi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan, terutama yang berskala internasional, kita hendaknya menegaskan komitmen hubungan dengan mitra baru dengan cara bagaimana kita berjabat erat.
Yang bersalaman dengan renggang dan pegangan lemah, ini diasumsikan sebagai pertanda komitmen yang lemah pula. Yang pegangan tangannya erat dan kuat, diharapkan mempunyai kepribadian yang kuat.
Bersalaman sambil tersenyum menatap mata lawan bicara. Bersalaman dengan hati dan badan membungkuk atau tegak. Saatnya bersalaman atau tidak bersalaman. Pandemi semoga berakhir, membebaskan kita bersalaman. Idul Fitri ini mungkin saatnya bersalaman.
Tidak setiap budaya mempunyai cara bersalaman yang sama. Dulu mungkin sebelum era kolonialisasi Eropa saling bersalaman tidak lah universal. Ada banyak cara menunjukkan persahabatan dan kuatnya emosi kita pada lawan bicara. Orang Jepang jelas membungkukkan badan, tanpa salaman. Orang Nusantara mungkin mempunyai banyak cara. Ada yang bersiul, diam diri saja sambal menunduk, duduk manis, tersenyum saja, atau cara-cara lainnya. Bahkan budaya diam banyak di Nusantara. Diam itu bagus. Tidak bereaksi itu sopan. Berbicara atau banyak bicara itu kelemahan. Namun, beberapa tradisi lama kita banyak yang hirarkhis, menunjukkan sikap menyembah dengan tangan merapat kanan dan kiri, jari lekatkan, dengan menundukkan kepala. Tua dan muda tidak sama, berlainan fungsi.
Salaman sudah menjadi universal, sebagaimana juga agama-agama global kita. Acara-acara peringatan hari suci sudah menjadi universal. Kita saling mengucapkan, saling bersalaman. Saatnya juga mengikuti kemana kebudayaan manusia global ini.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
MARI bersalam-salaman. Paling tidak, mari bayangkan saling bersalam-salaman. Kita sudah lama tidak saling bersentuhan tangan. Bersalaman lama kita hindari. Jangankan bersentuhan, berdekatan saja kemungkinan virus akan terbang dan menularkan, dan itu sudah kita hindari. Selama pandemi kita saling menjauh, menjaga jarak, dan mentaati protokol baru yang belum pernah kita jumpai seumur hidupa kita.
Selama pegebluk dua tahun ini, kita menjauhi satu sama lain secara lahiriyah. Menjaga jarak satu dan lainnya merupakan etika. Tentu ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai di luar wabah yang selama ini menekankan kedekatan dan jangan ragu saling bersentuhan.
Virus telah mengatur pola menjaga kesehatan badan kita, dan juga etika sosial kita. Tidak perlu barang besar, atau bencana alam semesta yang maha perkasa yang mengubah manusia, cukup virus yang tidak terlihat. Virus telah mengubah budaya bergaul dan menjauhkan satu manusia dengan manusia lainnya.
Kita masih saling bersaudara, masih sama-sama warga negara, masih saling bersahabat, tetapi kita jaga jarak demi kelangsungan hidup masing-masing. Hidup ternyata penting, baru kita sadari ketika dalam bahaya. Kematian ternyata menakutkan, buktinya kita menghindari kematian. Boleh jadi, ada yang ada saja menusia pemberani karena harga diri atau kepercayaan yang tinggi atau bahkan karena iman, tetapi kenyatannya semua mencari aman dan selamat. Keselamatan jiwa menjadi kepentingan bersama.
Dua tahun kita menghindari berdekatan. Sungguh menyiksa aturan baru itu. Dua tahun pula kita takut mendekati dan saling bersentuhan. Padahal, sentuhan tangan adalah tanda persahabatan. Banyak nasehat dan aturan yang menganjurkan bersalaman dengan santun. Bagi mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan, terutama yang berskala internasional, kita hendaknya menegaskan komitmen hubungan dengan mitra baru dengan cara bagaimana kita berjabat erat.
Yang bersalaman dengan renggang dan pegangan lemah, ini diasumsikan sebagai pertanda komitmen yang lemah pula. Yang pegangan tangannya erat dan kuat, diharapkan mempunyai kepribadian yang kuat.
Bersalaman sambil tersenyum menatap mata lawan bicara. Bersalaman dengan hati dan badan membungkuk atau tegak. Saatnya bersalaman atau tidak bersalaman. Pandemi semoga berakhir, membebaskan kita bersalaman. Idul Fitri ini mungkin saatnya bersalaman.
Tidak setiap budaya mempunyai cara bersalaman yang sama. Dulu mungkin sebelum era kolonialisasi Eropa saling bersalaman tidak lah universal. Ada banyak cara menunjukkan persahabatan dan kuatnya emosi kita pada lawan bicara. Orang Jepang jelas membungkukkan badan, tanpa salaman. Orang Nusantara mungkin mempunyai banyak cara. Ada yang bersiul, diam diri saja sambal menunduk, duduk manis, tersenyum saja, atau cara-cara lainnya. Bahkan budaya diam banyak di Nusantara. Diam itu bagus. Tidak bereaksi itu sopan. Berbicara atau banyak bicara itu kelemahan. Namun, beberapa tradisi lama kita banyak yang hirarkhis, menunjukkan sikap menyembah dengan tangan merapat kanan dan kiri, jari lekatkan, dengan menundukkan kepala. Tua dan muda tidak sama, berlainan fungsi.
Salaman sudah menjadi universal, sebagaimana juga agama-agama global kita. Acara-acara peringatan hari suci sudah menjadi universal. Kita saling mengucapkan, saling bersalaman. Saatnya juga mengikuti kemana kebudayaan manusia global ini.