Efek Domino Konflik Rusia-Ukraina

Sabtu, 23 April 2022 - 09:29 WIB
loading...
A A A
Ketika harga pupuk, ZA dan SP-36 misalnya, naik berlipat-lipat ada peluang petani mengurangi, bahkan tidak memupuk sawahnya.Kedua, harga pupuk non-subsidi akan naik-turun mengikuti mekanisme pasar. Meskipun pupuk hanya mengambil 10% dari ongkos produksi, kenaikan harga pupuk nonsubsidi akan menekan kapasitas fiskal petani. Dalam jangka panjang taruhannya adalah produksi aneka pangan.

Respons dan adaptasi kebijakan pemerintah ini pasti tidak memuaskan. Terutama bagi petani dan para pembelanya. Sebagai produsen dan pemberi makan, mengapa petani yang jadi korban? Siapapun yang berkuasa saat ini akan menghadapi situasi tak mudah.

Kerumitan semacam inigivensejak pandemi Covid-19 menyergap. “Dunia yang satu” dan terkoneksi satu sama lain menyulitkan melakukan isolasi.

Indonesia tidak sendiri. Negara lain pun kelimpungan melakukan adaptasi tatkala merespons harga-harga pangan naik tinggi sejak tahun lalu. Kenaikan berasal dari negara-negara dengan populasi besar, seperti China dan India, yang mengalami peralihan dari status pandemi ke endemi.

Permintaan yang tinggi dan tiba-tiba tak serta-merta bisa direspons oleh pasokan, yang memang memerlukan waktu. Harga pun terpantik tinggi. Setahun terakhir, hargaoatnaik 112,6%, kopi 82,6%, gandum 65,7%, minyak sawit 57,8%, kanola 43,3%, gula 31,6%, jagung 33%, dan kedelai 20,4%. Kenaikan lebih tinggi terjadi pada minyak mentah (65,6%), gas alam (150,3%), dan batu bara (213,2%). Ada dua dampak kenaikan simultan itu.

Pertama, perebutan kontainer pengiriman barang yang berujung kelangkaan.Kedua, biaya transportasi makin mahal. Harga pangan yang sudah mahal jadi kian mahal.

Kenaikan harga-harga itu niscaya memicu inflasi. Setelah gangguan pasokan dari pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina telah meningkatkan inflasi global yang tinggi dan menjalar ke banyak negara. Turki, misalnya, lira yang terjun bebas mendorong inflasi makanan jadi 64,5% (year on year). Kazakhstan, Azerbaijan, Mesir, Kongo, Lebanon, Turki, dan Armenia menghadapi risiko serius.

Negara-negara itu tidak hanya tergantung akut pada biji-bijian Rusia-Ukraina, tapi mayoritas warganya memakai ponsel, pemuda menganggur tinggi, dan indeks demokrasinya rendah. Kenaikan harga pangan plus inflasi akan jadi bahan bakar jitu guna menggerakan kerusuhan sipil (Jaochim Klement, 2022).

Situasi ini mengingatkan pada krisis pangan 2008 dan 2011. Dalam dua peristiwa itu, krisis pangan disulut oleh produksi yang turun dan daya beli warga yang rendah, yang kemudian diikuti ekspektasi penurunan suplai.

Ketika pintu ekspor pangan oleh negara-negara eksportir ditutup, pasar panik dan harga pangan pun meroket. Berkelindan dengan krisis energi dan spekulasi di pasar komoditas, krisis pangan kian dalam. Huru-hara membuat pemerintahan jatuh, seperti di Haiti, Tunisia, Mesir dan Libya. Ada pelajaran penting: krisis pangan akan memicu instabilitas politik jika pemerintah gagal menangani.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0815 seconds (0.1#10.140)