Jokowi Bangun 1.900 Km Jalan Tol, Siapa Yang Menikmati?
loading...
A
A
A
Achmad Nur Hidayat MPP
Pakar Kebijakan Publik dan Ketua Pusat Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta
Pada tanggal 14 April 2022 kemarin, Presiden Jokowi memposting di Twitter yang bunyinya sebagai berikut: “Selama 40 tahun, Indonesia hanya mampu membangun 780 km jalan tol. Maka, mulai tahun 2014 itu, pemerintah mendorong percepatan pembangunan jalan tol di Trans-Jawa, Trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Berapa Panjang jalan tol yang kita bangun 7 tahun terakhir? 1.900km.”
Saya kira ada miss leading. Pertanyaanya buat apa 1.900 km kalau kemudian masyarakat masih menderita, dalam arti nilai kemanfaatan tidak dirasakan masyarakat. Apakah kemudian rantai distribusi bahan sembako sebagai contoh menjadi lebih baik sehingga harga bisa murah? Ternyata tidak. Artinya adanya jalan tol yang dibangun di rezim ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, layakkah pembangunan jalan tol tersebut dianggap sebuah prestasi, sementara pembiayaan yang secara jor-joran itu menggunakan dana utang yang besarnya sampai kurang lebih Rp5.000 triliun? Tentunya ini sangat tidak layak karena siapa pun presidennya untuk membangun apa pun dengan utang itu pasti bisa. Yang ujungnya menjadi beban yang harus ditanggung oleh rakyat untuk waktu yang sangat panjang.
Yang mengkhawatirkan bahwa tarif tol semakin tinggi. Artinya, jalan tol ini hanya untuk kepentingan bisnis semata. Apalagi pengguna jalan tol hanya para pemilik mobil. Rakyat kecil tidak merasakan kemanfaatannya.
Dikatakan prestasi jika rezim mampu mendatangkan pendapatan negara yang tinggi dan membiayai itu semua dan memberikan dampak kepada kesejahteraan rakyat banyak maka pembangunan jalan tol tersebut patut diacungi jempol.
Belum lagi dampak terhadap para pedagang yang ada disepanjang jalan yang kini tidak terlewati lagi oleh banyak kendaraan yang akhirnya tidak beroperasi lagi karena mobil-mobil lebih memilih menggunakan jalan tol. Dan tentunya hanya orang-orang pemilik modal besar yang mampu berdagang di rest area, hanya mereka yang menikmati hasilnya.
Dalam hal semacam ini pemerintah pusat harus belajar kepada pemerintah Jogja. Pemerintah Jogja tidak membangun jalan tol di wilayahnya. Dan hal ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi rakyat kecil.
Amat disayangkan pemerintah tidak mempunyai cara pandang yang ideal terhadap kelayakan dalam tata kelola negara.
Pakar Kebijakan Publik dan Ketua Pusat Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta
Pada tanggal 14 April 2022 kemarin, Presiden Jokowi memposting di Twitter yang bunyinya sebagai berikut: “Selama 40 tahun, Indonesia hanya mampu membangun 780 km jalan tol. Maka, mulai tahun 2014 itu, pemerintah mendorong percepatan pembangunan jalan tol di Trans-Jawa, Trans-Sumatera, Kalimantan, Sulawesi. Berapa Panjang jalan tol yang kita bangun 7 tahun terakhir? 1.900km.”
Saya kira ada miss leading. Pertanyaanya buat apa 1.900 km kalau kemudian masyarakat masih menderita, dalam arti nilai kemanfaatan tidak dirasakan masyarakat. Apakah kemudian rantai distribusi bahan sembako sebagai contoh menjadi lebih baik sehingga harga bisa murah? Ternyata tidak. Artinya adanya jalan tol yang dibangun di rezim ini tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, layakkah pembangunan jalan tol tersebut dianggap sebuah prestasi, sementara pembiayaan yang secara jor-joran itu menggunakan dana utang yang besarnya sampai kurang lebih Rp5.000 triliun? Tentunya ini sangat tidak layak karena siapa pun presidennya untuk membangun apa pun dengan utang itu pasti bisa. Yang ujungnya menjadi beban yang harus ditanggung oleh rakyat untuk waktu yang sangat panjang.
Yang mengkhawatirkan bahwa tarif tol semakin tinggi. Artinya, jalan tol ini hanya untuk kepentingan bisnis semata. Apalagi pengguna jalan tol hanya para pemilik mobil. Rakyat kecil tidak merasakan kemanfaatannya.
Dikatakan prestasi jika rezim mampu mendatangkan pendapatan negara yang tinggi dan membiayai itu semua dan memberikan dampak kepada kesejahteraan rakyat banyak maka pembangunan jalan tol tersebut patut diacungi jempol.
Belum lagi dampak terhadap para pedagang yang ada disepanjang jalan yang kini tidak terlewati lagi oleh banyak kendaraan yang akhirnya tidak beroperasi lagi karena mobil-mobil lebih memilih menggunakan jalan tol. Dan tentunya hanya orang-orang pemilik modal besar yang mampu berdagang di rest area, hanya mereka yang menikmati hasilnya.
Dalam hal semacam ini pemerintah pusat harus belajar kepada pemerintah Jogja. Pemerintah Jogja tidak membangun jalan tol di wilayahnya. Dan hal ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi rakyat kecil.
Amat disayangkan pemerintah tidak mempunyai cara pandang yang ideal terhadap kelayakan dalam tata kelola negara.
(zik)