Hikmah Puasa untuk Bangsa
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.
Ibadah puasa di Bulan Suci Ramadhan senantiasa disambut secara gegap-gempita oleh umat Islam. Tidak semata-mata karena hanya setahun sekali, melainkan juga karena ibadah puasa acap menciptakan kehidupan sosial-keagamaan yang berbeda dibanding hari-hari biasanya. Mulai dari pernak-pernik makanan pada waktu menjelang berbuka, malam yang terasa lebih “panjang” ketimbang biasanya, hingga kedermawananmasyarakat yang meningkat tajam sepanjang Bulan Suci ini.
Di luar hal-hal yang bersifat kesalihan-ritual, puasa sejatinya juga sarat dengan nilai-nilai kesalihan-sosial. Nilai-nilai dari puasa ini sangat penting untuk dijadikan sebagai “kesadaran kebangsaan,” khususnya dalam kehidupan sosial-ekonomi yang cukup berat seperti belakangan. Alih-alih menambah beban hidup, puasa justru bisa memberi semangat baru untuk menghadapi pelbagai macam persoalan sosial-ekonomi yang tidak ringan.
Dalam beberapa waktu terakhir, contohnya, masyarakat dan pemerintah dibuat pusing oleh keberadaan dan harga minyak goreng. Sempat langka beberapa waktu, khususnya setelah pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk seluruh merek dan jenis minyak goreng. Namun kemudian minyak goreng begitu banyak dengan harga selangit, khususnya setelah pemerintah mencabut kebijakan batas harga eceran tertinggi (HET).
Tidak perlu menjadi ekonom hebat untuk menyadari adanya kejanggalan atau bahkan permainan terkait harga minyak goreng. Pada waktu kebijakan satu harga diberlakukan, minyak goreng nyaris raib di pasaran. Ketika kebijakan satu harga dicabut dan harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, minyak goreng melimpah tapi dengan harga selangit. Semua ini bisa dipahami bahwa negara kalah dan tidak berdaya di hadapan keinginan pasar.
Walaupun pemerintah yang kalah dan tak berdaya, tetapi justru masyarakat yang harus membayar dan menanggung seluruh dampaknya. Tidak hanya harus mengeluarkan uang secara lebih banyak, tidak hanya harus antre selama berjam-jam, sebagian masyarakat bahkan sampai ada yang harus membayar kekalahan yang ada dengan nyawanya.
Di luar persoalan minyak goreng yang belum selesai hingga hari ini, masyarakat juga harus menghadapi harga-harga lain yang mulai merangkak naik seperti harga bahan bakar minyak (BBM) yang diyakini akan berdampak terhadap harga-harga lain. Semua ini akan menambah beban kehidupan dan masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat.
Dalam konteks seperti ini, kehadiran ibadah puasa sejatinya mampu mengurangi beban hidup masyarakat. Minimal karena selama berpuasa masyarakat diwajibkan untuk tidak makan-minum yang bisa mengurangi konsumsi. Bahkan puasa juga bisa menurunkan mobilitas yang pada batas tertentu juga bisa bermakna mengurangi pengeluaran.
Pemaknaan seperti di atas membutuhkan pemahaman yang murni dari puasa yang dilakukan secara konsisten, yaitu bahwa puasa adalah menahan diri (alimsak) yang sejatinya berarti mengurangi, bukan justru menunda atau memindahkan makan-minum dari siang menjadi malam.
Apabila hanya dimaknai sebagai penundaan kegiatan makan-minum dari siang ke malam hari, ibadah puasa bisa kehilangan daya perubahannya secara sosial. Hingga ibadah puasa terasa memberatkan atau bahkan membelenggu, daripada meringankan atau bahkan membebaskan.
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam.
Ibadah puasa di Bulan Suci Ramadhan senantiasa disambut secara gegap-gempita oleh umat Islam. Tidak semata-mata karena hanya setahun sekali, melainkan juga karena ibadah puasa acap menciptakan kehidupan sosial-keagamaan yang berbeda dibanding hari-hari biasanya. Mulai dari pernak-pernik makanan pada waktu menjelang berbuka, malam yang terasa lebih “panjang” ketimbang biasanya, hingga kedermawananmasyarakat yang meningkat tajam sepanjang Bulan Suci ini.
Di luar hal-hal yang bersifat kesalihan-ritual, puasa sejatinya juga sarat dengan nilai-nilai kesalihan-sosial. Nilai-nilai dari puasa ini sangat penting untuk dijadikan sebagai “kesadaran kebangsaan,” khususnya dalam kehidupan sosial-ekonomi yang cukup berat seperti belakangan. Alih-alih menambah beban hidup, puasa justru bisa memberi semangat baru untuk menghadapi pelbagai macam persoalan sosial-ekonomi yang tidak ringan.
Dalam beberapa waktu terakhir, contohnya, masyarakat dan pemerintah dibuat pusing oleh keberadaan dan harga minyak goreng. Sempat langka beberapa waktu, khususnya setelah pemerintah menetapkan kebijakan satu harga untuk seluruh merek dan jenis minyak goreng. Namun kemudian minyak goreng begitu banyak dengan harga selangit, khususnya setelah pemerintah mencabut kebijakan batas harga eceran tertinggi (HET).
Tidak perlu menjadi ekonom hebat untuk menyadari adanya kejanggalan atau bahkan permainan terkait harga minyak goreng. Pada waktu kebijakan satu harga diberlakukan, minyak goreng nyaris raib di pasaran. Ketika kebijakan satu harga dicabut dan harga ditentukan berdasarkan mekanisme pasar, minyak goreng melimpah tapi dengan harga selangit. Semua ini bisa dipahami bahwa negara kalah dan tidak berdaya di hadapan keinginan pasar.
Walaupun pemerintah yang kalah dan tak berdaya, tetapi justru masyarakat yang harus membayar dan menanggung seluruh dampaknya. Tidak hanya harus mengeluarkan uang secara lebih banyak, tidak hanya harus antre selama berjam-jam, sebagian masyarakat bahkan sampai ada yang harus membayar kekalahan yang ada dengan nyawanya.
Di luar persoalan minyak goreng yang belum selesai hingga hari ini, masyarakat juga harus menghadapi harga-harga lain yang mulai merangkak naik seperti harga bahan bakar minyak (BBM) yang diyakini akan berdampak terhadap harga-harga lain. Semua ini akan menambah beban kehidupan dan masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat.
Dalam konteks seperti ini, kehadiran ibadah puasa sejatinya mampu mengurangi beban hidup masyarakat. Minimal karena selama berpuasa masyarakat diwajibkan untuk tidak makan-minum yang bisa mengurangi konsumsi. Bahkan puasa juga bisa menurunkan mobilitas yang pada batas tertentu juga bisa bermakna mengurangi pengeluaran.
Pemaknaan seperti di atas membutuhkan pemahaman yang murni dari puasa yang dilakukan secara konsisten, yaitu bahwa puasa adalah menahan diri (alimsak) yang sejatinya berarti mengurangi, bukan justru menunda atau memindahkan makan-minum dari siang menjadi malam.
Apabila hanya dimaknai sebagai penundaan kegiatan makan-minum dari siang ke malam hari, ibadah puasa bisa kehilangan daya perubahannya secara sosial. Hingga ibadah puasa terasa memberatkan atau bahkan membelenggu, daripada meringankan atau bahkan membebaskan.