Indeks Demokrasi Membaik, Kebebasan Berpendapat Jadi Catatan Khusus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi menyebutkan bahwa indeks demokrasi di Indonesia terus membaik selama dua tahun terakhir. Posisi Indonesia terus mengalami perbaikan.
"Pada 2020 itu Indonesia berada di skor 6,3 dan menempati posisi 64, namun di 2021 indeks demokrasi mengalami peningkatan yakni di skor 6,71 dan menempati posisi ke-52," ujar Burhan, Kamis (7/4/2022).
Dia menyebutkan meskipun ada peningkatan namun ada catatan yang harus diperhatikan pemerintah dalam hal memastikan demokrasi di Indonesia bisa sehat dan tidak antikritik. Dia mengungkapkan dari hasil survei indikator yang dipublikasikan pada 3 April 2022 lalu, sebanyak 64,9% responden takut menyatakan pendapatnya.
"Masih banyak orang yang khawatir menyampaikan pendapatnya. Tugas kita bersama menyelamatkan demokrasi pasca Reformasi," jelasnya.
Burhan menyebutkan berdasarkan data Freedom House, indeks demokrasi di Indonesia mulai turun sejak 2013 silam di mana UU Ormas menyebutkan Pancasila sebagai dasar dari setiap organisasi kemasyarakatan.
"UU Ormas ini sudah di Perpu negara dapat membubarkan ormas dan itu memang menjadi preseden buruk dalam turunnya indeks demokrasi di Indonesia," terangnya.
Menurutntya, saat ini yang paling merasa demokrasi memburuk dan kebebasan berpendapat terancam adalah generasi muda yang duduk di bangku mahasiswa.
"Semakin muda semakin mereka menyatakan bahwa kebebasan berpendapat saat ini terbatas. Mereka membandingkan dengan jaman awal Reformasi dan bukan saat Orde Baru," kata ia..
Dijelaskannya, kondisi demokrasi semakin memburuk di Indonesia setelah kontestasi kerasnya Pilkada DKI Jakarta. Bahkan dari data yang ia dapatkan, dalam satu tahun ada setidaknya 4-5 ribu kasus (mayoritas terkait pasal karet di UU ITE) dari kalangan orang punya 'telinga tipis' karena sedikit-sedikit melaporkan ke ranah hukum.
"Kita harapkan sistem demokrasi lebih sehat, Partai Demokrat semakin sehat dalam menyampaikan kritiknya pada pemerintah. Perlu diperhatikan memang ada kecenderungan penggunaan buzzer baik yang pro maupun antipemerintah ini membuat masyarakat umum malas atau lebih berhati-hati dalam berkomentar di ranah media sosial," pungkas Burhan.
"Pada 2020 itu Indonesia berada di skor 6,3 dan menempati posisi 64, namun di 2021 indeks demokrasi mengalami peningkatan yakni di skor 6,71 dan menempati posisi ke-52," ujar Burhan, Kamis (7/4/2022).
Dia menyebutkan meskipun ada peningkatan namun ada catatan yang harus diperhatikan pemerintah dalam hal memastikan demokrasi di Indonesia bisa sehat dan tidak antikritik. Dia mengungkapkan dari hasil survei indikator yang dipublikasikan pada 3 April 2022 lalu, sebanyak 64,9% responden takut menyatakan pendapatnya.
"Masih banyak orang yang khawatir menyampaikan pendapatnya. Tugas kita bersama menyelamatkan demokrasi pasca Reformasi," jelasnya.
Burhan menyebutkan berdasarkan data Freedom House, indeks demokrasi di Indonesia mulai turun sejak 2013 silam di mana UU Ormas menyebutkan Pancasila sebagai dasar dari setiap organisasi kemasyarakatan.
"UU Ormas ini sudah di Perpu negara dapat membubarkan ormas dan itu memang menjadi preseden buruk dalam turunnya indeks demokrasi di Indonesia," terangnya.
Menurutntya, saat ini yang paling merasa demokrasi memburuk dan kebebasan berpendapat terancam adalah generasi muda yang duduk di bangku mahasiswa.
"Semakin muda semakin mereka menyatakan bahwa kebebasan berpendapat saat ini terbatas. Mereka membandingkan dengan jaman awal Reformasi dan bukan saat Orde Baru," kata ia..
Dijelaskannya, kondisi demokrasi semakin memburuk di Indonesia setelah kontestasi kerasnya Pilkada DKI Jakarta. Bahkan dari data yang ia dapatkan, dalam satu tahun ada setidaknya 4-5 ribu kasus (mayoritas terkait pasal karet di UU ITE) dari kalangan orang punya 'telinga tipis' karena sedikit-sedikit melaporkan ke ranah hukum.
"Kita harapkan sistem demokrasi lebih sehat, Partai Demokrat semakin sehat dalam menyampaikan kritiknya pada pemerintah. Perlu diperhatikan memang ada kecenderungan penggunaan buzzer baik yang pro maupun antipemerintah ini membuat masyarakat umum malas atau lebih berhati-hati dalam berkomentar di ranah media sosial," pungkas Burhan.
(kri)