Minyak Goreng: Masalah dan Solusi
loading...
A
A
A
Megawati Simanjuntak
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Pengajar di Departemen Ilmu Keluarga Konsumen, FEMA, IPB
Anna Maria Tri Anggraini
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti
MINYAK goreng yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang berdasarkan data 9 Maret 2022, harga CPO berada di kisaran USD 2.010 per ton pada bursa komoditas Rotterdam. Tingginya harga CPO disebabkan pasokan CPO turun, sementara permintaan meningkat. Tingginya harga CPO dunia berdampak terhadap kehidupan konsumen. Apalagi minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan bahan pokok penting (Bapokting) dan komoditas strategis industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan ketersediaannya memiliki peran penting bagi aspek sosial dan ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, total kapasitas minyak goreng nasional yang diolah dari CPO adalah 43,36 juta kilo liter dengan produksi minyak goreng 22,4 juta kilo liter. Tidak semua CPO tersebut dikonversi menjadi minyak goreng karena sebagian diolah menjadi biodiesel atau diekspor dalam bentuk CPO. Kinerja ekspor sebesar 11,82 juta ton atau setara 13,13 juta kilo liter. Dengan konsumsi per kapita 11 hingga 12 liter per kapita per tahun maka kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,8 juta kilo liter (25,8% dari produksi dalam negeri). Dengan demikian, proporsi untuk konsumsi nasional sebenarnya masih sangat mencukupi.
Apa yang Sudah Dilakukan Pemerintah?
Untuk mengendalikan kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, pemerintah menyusun berbagai instrumen kebijakan. Kebijakan tersebut antara lain adalah subsidi minyak goreng, domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang mewajibkan eksportir CPO hanya menjual 20% dari volume ekspornya (720.612 ton dari 3.507.241 ton), serta penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 11.500/liter untuk minyak goreng curah dan Rp 14.000/liter untuk minyak goreng kemasan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022. Namun dampaknya, berdasarkan pemantauan Ombudsman pada 16 Maret 2022, stok minyak goreng mengalami penurunan, terutama minyak goreng kemasan sederhana dan premium di 274 pasar di seluruh wilayah di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 huruf i, j, k, l Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penentuan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Pemerintah wajib hadir dalam menentukan HET guna mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga kebutuhan pokok, khususnya minyak goreng.
Berdasarkan Pasal 4 Perpres Nomor 71 Tahun 2015, menteri dan pemerintah pusat menetapkan harga acuan dan harga pembelian agar bisa didistribusikan ke masyarakat. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 71 Tahun 2015, pemerintah pusat wajib menjamin pasokan dan stabilitas harga barang kebutuhan pokok dan barang penting termaksud minyak goreng agar tidak menganggu kegiatan perdagangan nasional. Pada ayat 2 disebutkan yang menganggu perdagangan nasional merupakan kondisi pasokan dan kondisi harga yang berada di atas harga acuan atau di bawah harga acuan.
Beberapa regulasi untuk mengatur harga dan distribusi minyak goreng telah dikeluarkan mulai dari Permendag 01 Tahun 2022 (11 Januari 2022), Permendag 03 Tahun 2022 (19 Januari 2022), Permendag 06 Tahun 2022 (26 Januari 2022), Permendag 02 Tahun 2022 (18 Januari 2022), Permendag Nomor 11 Tahun 2022 (16 Maret 2022), Surat Edaran Nomor 09 Tahun 2022 tentang Relaksasi Penerapan Minyak Goreng Sawit Kemasan Sederhana dan Kemasan Premium (16 Maret 2022), dan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2022.
Survei Konsumen dan Pedagang
Berbagai keluhan dari konsumen muncul pascadicabutnya Permendag 6 Tahun 2022 tentang HET Minyak Goreng pada 16 Maret 2022 dengan terbitnya Permendag Nomor 11 Tahun 2022. Ketersediaan minyak goreng sudah kembali normal di ritel modern, namun harganya cenderung tinggi di mana harga kemasan dua liter dijual Rp48.300 sampai Rp49.600 sehingga memberatkan konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebagai lembaga yang concern terhadap perlindungan konsumen melakukan survei kepada masyarakat konsumen minyak goreng dan pedagang. Hasil survei ini menyimpulkan bahwa konsumen membeli minyak goreng secara kemasan di supermarket/minimarket (86%) dengan rata-rata sebanyak 3-4 kg/bulan (48%) dengan harga mencapai Rp.48.000/2 liter, dan harga tersebut dianggap terlalu tinggi untuk harga eceran pada saat ini. Kesanggupan konsumen untuk harga minyak goreng pada saat ini adalah sekitar Rp14.00-15.000/kg, atau sesuai harga HET minyak goreng dalam kemasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.
Konsumen meminta kepada pemerintah agar harga sebaiknya dikembalikan ke HET sebelumnya dan/atau harga minyak goreng harus tetap ditetapkan oleh pemerintah, jangan dilepaskan ke harga pasar, mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok. Beberapa pedagang gorengan mengeluhkan harga minyak goreng baik curah dan kemasan yang tinggi. Pedagang tidak dapat menaikkan harga atau mengurangi kuantitas karena konsumennya akan komplain, jadi saat ini pedagang hanya dapat mengurangi keuntungan. Untung yang didapat menjadi lebih tipis dari sebelum harga naik.
Langkah yang dapat Ditempuh Pemerintah
Beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan lembaga terkait khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Pertama, perlunya pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengatur ekspor CPO yang dikaitkan dengan kebijakan DMO guna menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri. Kedua, perlunya Kementerian Perdagangan mengawasi dan mengevaluasi kebijakan penetapan HET minyak goreng curah bersama Kemenperin guna tercapai stabilitas harga minyak goreng di pasar. Ketiga, perlunya ditetapkan HET yang baru melalui penyesuaian dengan harga minyak dunia agar harga lebih stabil, khususnya untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Harga tidak diserahkan kepada mekanisme pasar untuk melindungi kepentingan konsumen. Penetapan HET dilakukan dengan mengikutsertakan lembaga perlindungan konsumen untuk memberikan masukan.
Keempat, perlunya peningkatan pengawasan melalui penelusuran rantai pasok produk minyak goreng sehingga bisa diurai potensi-potensi penimbunan minyak goreng kelapa sawit untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan harga yang berlebihan. Kelima, perlunya pengawasan dan percepatan penyaluran dana pembiayaan minyak goreng curah yang disalurkan oleh BPDPKS untuk menutup selisih antara Harga Acuan Keekonomian (HAK) dan HET minyak goreng curah. Keenam, perlunya Kementerian Perindustrian mengawasi dan mengevaluasi kebijakan penetapan HET minyak goreng curah bersama Kementerian Perdagangan guna tercapai stabilitas harga minyak goreng di pasar.
Ketujuh, perlunya disusun petunjuk teknis proses distribusi minyak goreng curah dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa untuk menghindari penyalahgunaan atau kebocoran sebagai tindak lanjut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah Untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil Dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
Kedelapan, perlunya pengawasan dan percepatan penyaluran dana pembiayaan minyak goreng curah yang disalurkan oleh BPDPKS untuk menutup selisih antara HAK dan HET minyak goreng curah.
Kesembilan, Kementerian Perindustrian bersama Kementerian Perdagangan perlu mengubah sasaran strategis BPDPKS di dalam ekspor CPO agar ketersediaan pasokan minyak goreng dalam negeri dapat tercukupi. Kesepuluh, BPDPKS perlu mendorong penelitian dan pengembangan pada program pemerintah khususnya pengembangan kelapa sawit secara berkelanjutan yang bertujuan agar adanya alternatif solusi untuk masyarakat apabila terjadi kelangkaan minyak goreng.
Semoga permasalahan minyak goreng yang menjadi hajat hidup masyarakat dari lapisan atas hingga bawah, segera tuntas dan hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa serta hak memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan dapat terpenuhi.
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Pengajar di Departemen Ilmu Keluarga Konsumen, FEMA, IPB
Anna Maria Tri Anggraini
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Trisakti
MINYAK goreng yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan dari minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) yang berdasarkan data 9 Maret 2022, harga CPO berada di kisaran USD 2.010 per ton pada bursa komoditas Rotterdam. Tingginya harga CPO disebabkan pasokan CPO turun, sementara permintaan meningkat. Tingginya harga CPO dunia berdampak terhadap kehidupan konsumen. Apalagi minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan bahan pokok penting (Bapokting) dan komoditas strategis industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan ketersediaannya memiliki peran penting bagi aspek sosial dan ekonomi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, total kapasitas minyak goreng nasional yang diolah dari CPO adalah 43,36 juta kilo liter dengan produksi minyak goreng 22,4 juta kilo liter. Tidak semua CPO tersebut dikonversi menjadi minyak goreng karena sebagian diolah menjadi biodiesel atau diekspor dalam bentuk CPO. Kinerja ekspor sebesar 11,82 juta ton atau setara 13,13 juta kilo liter. Dengan konsumsi per kapita 11 hingga 12 liter per kapita per tahun maka kebutuhan minyak goreng nasional sebesar 5,8 juta kilo liter (25,8% dari produksi dalam negeri). Dengan demikian, proporsi untuk konsumsi nasional sebenarnya masih sangat mencukupi.
Apa yang Sudah Dilakukan Pemerintah?
Untuk mengendalikan kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, pemerintah menyusun berbagai instrumen kebijakan. Kebijakan tersebut antara lain adalah subsidi minyak goreng, domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) yang mewajibkan eksportir CPO hanya menjual 20% dari volume ekspornya (720.612 ton dari 3.507.241 ton), serta penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) sebesar Rp 11.500/liter untuk minyak goreng curah dan Rp 14.000/liter untuk minyak goreng kemasan sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022. Namun dampaknya, berdasarkan pemantauan Ombudsman pada 16 Maret 2022, stok minyak goreng mengalami penurunan, terutama minyak goreng kemasan sederhana dan premium di 274 pasar di seluruh wilayah di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 3 ayat 2 huruf i, j, k, l Perpres Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penentuan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Pemerintah wajib hadir dalam menentukan HET guna mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga kebutuhan pokok, khususnya minyak goreng.
Berdasarkan Pasal 4 Perpres Nomor 71 Tahun 2015, menteri dan pemerintah pusat menetapkan harga acuan dan harga pembelian agar bisa didistribusikan ke masyarakat. Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Perpres Nomor 71 Tahun 2015, pemerintah pusat wajib menjamin pasokan dan stabilitas harga barang kebutuhan pokok dan barang penting termaksud minyak goreng agar tidak menganggu kegiatan perdagangan nasional. Pada ayat 2 disebutkan yang menganggu perdagangan nasional merupakan kondisi pasokan dan kondisi harga yang berada di atas harga acuan atau di bawah harga acuan.
Beberapa regulasi untuk mengatur harga dan distribusi minyak goreng telah dikeluarkan mulai dari Permendag 01 Tahun 2022 (11 Januari 2022), Permendag 03 Tahun 2022 (19 Januari 2022), Permendag 06 Tahun 2022 (26 Januari 2022), Permendag 02 Tahun 2022 (18 Januari 2022), Permendag Nomor 11 Tahun 2022 (16 Maret 2022), Surat Edaran Nomor 09 Tahun 2022 tentang Relaksasi Penerapan Minyak Goreng Sawit Kemasan Sederhana dan Kemasan Premium (16 Maret 2022), dan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2022.
Survei Konsumen dan Pedagang
Berbagai keluhan dari konsumen muncul pascadicabutnya Permendag 6 Tahun 2022 tentang HET Minyak Goreng pada 16 Maret 2022 dengan terbitnya Permendag Nomor 11 Tahun 2022. Ketersediaan minyak goreng sudah kembali normal di ritel modern, namun harganya cenderung tinggi di mana harga kemasan dua liter dijual Rp48.300 sampai Rp49.600 sehingga memberatkan konsumen.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebagai lembaga yang concern terhadap perlindungan konsumen melakukan survei kepada masyarakat konsumen minyak goreng dan pedagang. Hasil survei ini menyimpulkan bahwa konsumen membeli minyak goreng secara kemasan di supermarket/minimarket (86%) dengan rata-rata sebanyak 3-4 kg/bulan (48%) dengan harga mencapai Rp.48.000/2 liter, dan harga tersebut dianggap terlalu tinggi untuk harga eceran pada saat ini. Kesanggupan konsumen untuk harga minyak goreng pada saat ini adalah sekitar Rp14.00-15.000/kg, atau sesuai harga HET minyak goreng dalam kemasan yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya.
Konsumen meminta kepada pemerintah agar harga sebaiknya dikembalikan ke HET sebelumnya dan/atau harga minyak goreng harus tetap ditetapkan oleh pemerintah, jangan dilepaskan ke harga pasar, mengingat minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok. Beberapa pedagang gorengan mengeluhkan harga minyak goreng baik curah dan kemasan yang tinggi. Pedagang tidak dapat menaikkan harga atau mengurangi kuantitas karena konsumennya akan komplain, jadi saat ini pedagang hanya dapat mengurangi keuntungan. Untung yang didapat menjadi lebih tipis dari sebelum harga naik.
Langkah yang dapat Ditempuh Pemerintah
Beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan lembaga terkait khususnya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen berdasarkan Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Pertama, perlunya pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengatur ekspor CPO yang dikaitkan dengan kebijakan DMO guna menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri. Kedua, perlunya Kementerian Perdagangan mengawasi dan mengevaluasi kebijakan penetapan HET minyak goreng curah bersama Kemenperin guna tercapai stabilitas harga minyak goreng di pasar. Ketiga, perlunya ditetapkan HET yang baru melalui penyesuaian dengan harga minyak dunia agar harga lebih stabil, khususnya untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium. Harga tidak diserahkan kepada mekanisme pasar untuk melindungi kepentingan konsumen. Penetapan HET dilakukan dengan mengikutsertakan lembaga perlindungan konsumen untuk memberikan masukan.
Keempat, perlunya peningkatan pengawasan melalui penelusuran rantai pasok produk minyak goreng sehingga bisa diurai potensi-potensi penimbunan minyak goreng kelapa sawit untuk mengantisipasi terjadinya lonjakan harga yang berlebihan. Kelima, perlunya pengawasan dan percepatan penyaluran dana pembiayaan minyak goreng curah yang disalurkan oleh BPDPKS untuk menutup selisih antara Harga Acuan Keekonomian (HAK) dan HET minyak goreng curah. Keenam, perlunya Kementerian Perindustrian mengawasi dan mengevaluasi kebijakan penetapan HET minyak goreng curah bersama Kementerian Perdagangan guna tercapai stabilitas harga minyak goreng di pasar.
Ketujuh, perlunya disusun petunjuk teknis proses distribusi minyak goreng curah dari tingkat kabupaten, kecamatan hingga desa untuk menghindari penyalahgunaan atau kebocoran sebagai tindak lanjut Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 8 Tahun 2022 Tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah Untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil Dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
Kedelapan, perlunya pengawasan dan percepatan penyaluran dana pembiayaan minyak goreng curah yang disalurkan oleh BPDPKS untuk menutup selisih antara HAK dan HET minyak goreng curah.
Kesembilan, Kementerian Perindustrian bersama Kementerian Perdagangan perlu mengubah sasaran strategis BPDPKS di dalam ekspor CPO agar ketersediaan pasokan minyak goreng dalam negeri dapat tercukupi. Kesepuluh, BPDPKS perlu mendorong penelitian dan pengembangan pada program pemerintah khususnya pengembangan kelapa sawit secara berkelanjutan yang bertujuan agar adanya alternatif solusi untuk masyarakat apabila terjadi kelangkaan minyak goreng.
Semoga permasalahan minyak goreng yang menjadi hajat hidup masyarakat dari lapisan atas hingga bawah, segera tuntas dan hak konsumen atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa serta hak memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan dapat terpenuhi.
(bmm)