Puasa dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
“Marhaban ya Ramadan, marhaban syahra as-shiyam.” Selamat datang wahai bulan yang penuh berkah, ampunan, dan kasih sayang Allah. Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslim. Bulan ini tentu saja tidak datang tanpa disertai keistimewaannya, yakni sebagai bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan (magfirah).
Banyak aspek kehidupan yang dapat dilatih dan dikembangkan selama Bulan Suci Ramadan. Sebagai pendidikan jiwa (karakter), puasa merupakan momentum untuk melatih seseorang bersikap disiplin, empati, serta jujur.
Kejujuran adalah nilai kehidupan yang mulai terkikis saat ini. Selama Ramadan, seseorang berlaku jujur dengan menahan lapar dan dahaga baik di kala bersama orang lain maupupun saat sendirian. Kita tidak hanya menahan rasa lapar dan haus, tetapi juga menahan marah, membangun empati pada masyarakat yang kurang beruntung, serta kebersamaan dengan keluarga. Ramadan betul-betul diharapkan menjadi ladang pendidikan jiwa (karakter) serta membangun tindak laku yang baik kepada orang lain di sekitar kita.
Problematika Mentalitas
Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Modal tersebut tak lain berupa luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis.
Akan tetapi, modal yang besar tersebut tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa belum terbangun ke arah yang lebih baik. Problematika besar bangsa yang hingga kini belum usai di antaranya ialah rendahnya mentalitas yang dimiliki bangsa Indonesia.
Rendahnya mentalitas yang dimiliki bangsa Indonesia ditandai dengan karakter sebagian masyarakat yang malas, tidak disiplin, suka melanggar peraturan, ketidakjujuran, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal inilah yang menjadikan kualitas SDM di Indonesia masih rendah. Krisis mentalitas bangsa juga dialami generasi muda Indonesia.
Rendahnya mentalitas generasi muda Indonesia yang notabene terdiri dari peserta didik ditandai dengan sikap kurang menghormati guru, melanggar tata tertib sekolah, tawuran, sikap tidak jujur dalam ujian dan aksi anarkis lainnya. Artinya, selama mental sebuah bangsa tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa lain, meski bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar.
Kualitas mental yang dimiliki oleh SDM di Indonesia tergolong masih rendah. Hal tersebut tercermin salah satunya dari masih tingginya kasus kejahatan dan korupsi di Indonesia. Transparency International secara rutin melakukan survei mengenai korupsi kepada 180 negara. Organisasi non-Pemerintah tingkat global ini merilis hasil survei tahun 2021 yang menunjukkan bahwa Indonesia meraih Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38, atau hanya naik 1 poin dari capaian sebelumnya, dan masih jauh dari skor rata-rata global yaitu 43.
Selain itu, lembaga swadaya masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I/2021 yang menunjukkan bahwa jumlah penindakan kasus korupsi selama enam bulan sejak awal 2021 mengalami kenaikan dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya hingga mencapai 209 kasus.
Selain korupsi, kejahatan lain di Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah jumlah serangan siber di Indonesia. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat serangan siber pada 2020 mencapai 495,3 juta atau meningkat 41% dari sebelumnya di 2019 sebesar 290,3 juta.
Salah satu cara yang dapat memperbaiki mentalitas generasi muda adalah melalui dunia pendidikan. Dunia pendidikan diharapkan mampu merombak mentalitas generasi muda ke arah yang lebih baik.
Mentalitas generasi muda dan kualitas pendidikan adalah dua faktor yang saling mempengaruhi. Mentalitas yang baik dapat dimiliki generasi muda, apabila kualitas pendidikan yang diberikan juga baik. Melakukan pendidikan karakter denganreligious approachmerupakan sebuah usaha pembentukan manusia seutuhnya.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab.
Ironisnya, tak sedikit pendidikan di Indonesia yang kini masih sering terjebak dalam permainan kekuasaan. Pendidikan yang tadinya netral, tidak memihak, dan objektif, berubah menjadi ajang pertarungan kekuasaan yang penuh intrik, konflik, bahkan seringkali diwarnai kepentingan ideologis yang sempit.
Dalam kondisi demikian, pendidikan yang tadinya menjadi sarana mencari kebenaran dan nilai-nilai akhirnya berubah menjadi sarana pencarian jati diri yang semu, abstrak, dan jauh dari pembentukan karakter anak bangsa.
Sejatinya, pendidikan karakter dalam membentuk kepribadian dan mentalitas peserta didik sangat penting adanya. Daniel Goleman dalam teorinya menjelaskan bahwa kecerdasan emosional dan sosial di dalam kehidupan dibutuhkan sebesar 80%, sedangkan kecerdasan intelektual hanya sebesar 20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang beradab. Oleh sebab itu, dengan adanya pendidikan karakter, peserta didik dapat mempelajari dan memahami bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat mereka dan merefleksikan karakter yang baik dalam setiap sikap dan aktivitasnya.
Seorang penyair Arab Syauqi Bey berkata bahwa “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlak/ karakternya. Jika itu telah runtuh, maka runtuh pulalah bangsa itu.” penyair Arab ini sangat relevan dengan hadis Rasulullah bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (HR Ahmad).”
Urgensi Pendidikan Karakter
Sistem pendidikan dalam membentuk SDM dengan karakter yang tangguh, berbudi pekerti luhur, bertanggung jawab, berdisiplin, dan mandiri masih jauh dari kata berhasil. Ironisnya, kondisi tersebut terjadi hampir di semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta.
Tak sedikit yang beranggapan bahwa mendidik kepribadian siswa adalah tanggung jawab orang tua. Pendapat tersebut sebagian memang benar, akan tetapi sekolah yang juga mempunyai fungsi untuk mendidik juga memiliki peran dan tanggung jawab sebagai orang tua kedua yang seharusnya juga terpanggil untuk mendidik perilaku para generasi penerus bangsa, bukan hanya mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan semata.
Pendidikan merupakan upaya untuk mendewasakan manusia dalam berbagai segi. Pendidikan karakter yang merupakan salah satu sarana pengembangansoft skillyang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Bahkan setiap materi dalam sebuah mata pelajaran perlu diintegrasikan dengan pendidikan karakter. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Selain melalui pendidikan, setiap momen Ramadan yang kini tengah dijalani oleh umat muslim, sejatinya dapat menjadi salah satu jalan untuk membangun karakter SDM Indonesia. Hal itu tercermin dalam salah satu nilai yang sangat asasi dalam menjalankan ibadah puasa adalah mengasah kecerdasan sosial dan hal ini langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Puasa dan sedekah bisa melahirkan karakter sosial yang positif serta melahirkan rasa kepedulian terhadap sesama.
Sehingga, sungguh sangat indah jika nilai-nilai yang ada di dalam Ramadan dapat diteruskan meski di bulan-bulan berikutnya karena tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan kita pribadi, tapi juga menyelamatkan bangsa. Kita berharap, Ramadan dapat membentuk karakter atau akhlak yang mulia bagi kita semua. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
“Marhaban ya Ramadan, marhaban syahra as-shiyam.” Selamat datang wahai bulan yang penuh berkah, ampunan, dan kasih sayang Allah. Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh kaum muslim. Bulan ini tentu saja tidak datang tanpa disertai keistimewaannya, yakni sebagai bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan (magfirah).
Banyak aspek kehidupan yang dapat dilatih dan dikembangkan selama Bulan Suci Ramadan. Sebagai pendidikan jiwa (karakter), puasa merupakan momentum untuk melatih seseorang bersikap disiplin, empati, serta jujur.
Kejujuran adalah nilai kehidupan yang mulai terkikis saat ini. Selama Ramadan, seseorang berlaku jujur dengan menahan lapar dan dahaga baik di kala bersama orang lain maupupun saat sendirian. Kita tidak hanya menahan rasa lapar dan haus, tetapi juga menahan marah, membangun empati pada masyarakat yang kurang beruntung, serta kebersamaan dengan keluarga. Ramadan betul-betul diharapkan menjadi ladang pendidikan jiwa (karakter) serta membangun tindak laku yang baik kepada orang lain di sekitar kita.
Problematika Mentalitas
Indonesia memiliki modal atau kekuatan yang memadai untuk menjadi bangsa besar dan negara yang kuat. Modal tersebut tak lain berupa luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, kekayaan budaya, kesatuan bahasa, ketaatan pada ajaran agama, dan sistem pemerintahan republik yang demokratis.
Akan tetapi, modal yang besar tersebut tidak banyak berarti apabila mentalitas bangsa belum terbangun ke arah yang lebih baik. Problematika besar bangsa yang hingga kini belum usai di antaranya ialah rendahnya mentalitas yang dimiliki bangsa Indonesia.
Rendahnya mentalitas yang dimiliki bangsa Indonesia ditandai dengan karakter sebagian masyarakat yang malas, tidak disiplin, suka melanggar peraturan, ketidakjujuran, Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal inilah yang menjadikan kualitas SDM di Indonesia masih rendah. Krisis mentalitas bangsa juga dialami generasi muda Indonesia.
Rendahnya mentalitas generasi muda Indonesia yang notabene terdiri dari peserta didik ditandai dengan sikap kurang menghormati guru, melanggar tata tertib sekolah, tawuran, sikap tidak jujur dalam ujian dan aksi anarkis lainnya. Artinya, selama mental sebuah bangsa tidak berubah, maka bangsa tersebut juga tidak akan mengalami perubahan dan akan tertinggal dengan bangsa lain, meski bangsa tersebut sesungguhnya memiliki potensi dan modal yang besar.
Kualitas mental yang dimiliki oleh SDM di Indonesia tergolong masih rendah. Hal tersebut tercermin salah satunya dari masih tingginya kasus kejahatan dan korupsi di Indonesia. Transparency International secara rutin melakukan survei mengenai korupsi kepada 180 negara. Organisasi non-Pemerintah tingkat global ini merilis hasil survei tahun 2021 yang menunjukkan bahwa Indonesia meraih Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) sebesar 38, atau hanya naik 1 poin dari capaian sebelumnya, dan masih jauh dari skor rata-rata global yaitu 43.
Selain itu, lembaga swadaya masyarakat anti-korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester I/2021 yang menunjukkan bahwa jumlah penindakan kasus korupsi selama enam bulan sejak awal 2021 mengalami kenaikan dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya hingga mencapai 209 kasus.
Selain korupsi, kejahatan lain di Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun adalah jumlah serangan siber di Indonesia. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat serangan siber pada 2020 mencapai 495,3 juta atau meningkat 41% dari sebelumnya di 2019 sebesar 290,3 juta.
Salah satu cara yang dapat memperbaiki mentalitas generasi muda adalah melalui dunia pendidikan. Dunia pendidikan diharapkan mampu merombak mentalitas generasi muda ke arah yang lebih baik.
Mentalitas generasi muda dan kualitas pendidikan adalah dua faktor yang saling mempengaruhi. Mentalitas yang baik dapat dimiliki generasi muda, apabila kualitas pendidikan yang diberikan juga baik. Melakukan pendidikan karakter denganreligious approachmerupakan sebuah usaha pembentukan manusia seutuhnya.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara demokratis serta bertanggung jawab.
Ironisnya, tak sedikit pendidikan di Indonesia yang kini masih sering terjebak dalam permainan kekuasaan. Pendidikan yang tadinya netral, tidak memihak, dan objektif, berubah menjadi ajang pertarungan kekuasaan yang penuh intrik, konflik, bahkan seringkali diwarnai kepentingan ideologis yang sempit.
Dalam kondisi demikian, pendidikan yang tadinya menjadi sarana mencari kebenaran dan nilai-nilai akhirnya berubah menjadi sarana pencarian jati diri yang semu, abstrak, dan jauh dari pembentukan karakter anak bangsa.
Sejatinya, pendidikan karakter dalam membentuk kepribadian dan mentalitas peserta didik sangat penting adanya. Daniel Goleman dalam teorinya menjelaskan bahwa kecerdasan emosional dan sosial di dalam kehidupan dibutuhkan sebesar 80%, sedangkan kecerdasan intelektual hanya sebesar 20%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan karakter sangat dibutuhkan untuk membangun kehidupan yang beradab. Oleh sebab itu, dengan adanya pendidikan karakter, peserta didik dapat mempelajari dan memahami bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat mereka dan merefleksikan karakter yang baik dalam setiap sikap dan aktivitasnya.
Seorang penyair Arab Syauqi Bey berkata bahwa “Sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlak/ karakternya. Jika itu telah runtuh, maka runtuh pulalah bangsa itu.” penyair Arab ini sangat relevan dengan hadis Rasulullah bahwa “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan budi pekerti (HR Ahmad).”
Urgensi Pendidikan Karakter
Sistem pendidikan dalam membentuk SDM dengan karakter yang tangguh, berbudi pekerti luhur, bertanggung jawab, berdisiplin, dan mandiri masih jauh dari kata berhasil. Ironisnya, kondisi tersebut terjadi hampir di semua lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta.
Tak sedikit yang beranggapan bahwa mendidik kepribadian siswa adalah tanggung jawab orang tua. Pendapat tersebut sebagian memang benar, akan tetapi sekolah yang juga mempunyai fungsi untuk mendidik juga memiliki peran dan tanggung jawab sebagai orang tua kedua yang seharusnya juga terpanggil untuk mendidik perilaku para generasi penerus bangsa, bukan hanya mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan semata.
Pendidikan merupakan upaya untuk mendewasakan manusia dalam berbagai segi. Pendidikan karakter yang merupakan salah satu sarana pengembangansoft skillyang dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.
Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Bahkan setiap materi dalam sebuah mata pelajaran perlu diintegrasikan dengan pendidikan karakter. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi dan pengalaman nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Selain melalui pendidikan, setiap momen Ramadan yang kini tengah dijalani oleh umat muslim, sejatinya dapat menjadi salah satu jalan untuk membangun karakter SDM Indonesia. Hal itu tercermin dalam salah satu nilai yang sangat asasi dalam menjalankan ibadah puasa adalah mengasah kecerdasan sosial dan hal ini langsung dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Puasa dan sedekah bisa melahirkan karakter sosial yang positif serta melahirkan rasa kepedulian terhadap sesama.
Sehingga, sungguh sangat indah jika nilai-nilai yang ada di dalam Ramadan dapat diteruskan meski di bulan-bulan berikutnya karena tidak hanya bermanfaat bagi kehidupan kita pribadi, tapi juga menyelamatkan bangsa. Kita berharap, Ramadan dapat membentuk karakter atau akhlak yang mulia bagi kita semua. Semoga.
(ynt)