Terorisme dan Problem Kesenjangan Ekonomi Umat

Jum'at, 01 April 2022 - 13:27 WIB
loading...
Terorisme dan Problem...
Faizi (Foto: Ist)
A A A
Faizi
Pengurus ICMI Pusat dan Dosen Tetap Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Doktor Bidang Keuangan dan Perbankan Syariah pada Universitas Utara Malaysia

KEPOLISIAN Republik Indonesia melalui Detasemen Khusus (Densus) 88/Antiteror Polri terus menangkap jaringan teroris baik yang terafiliasi dengan Al-Qaeda maupun ISIS yang tersebar merata di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merujuk pada data resmi yang dikeluarkan Humas Mabes Polri hingga Desember 2021, telah ditangkap 37 tersangka teroris dari 10 wilayah di Indonesia. Rinciannya 10 orang dari wilayah Jawa Tengah, 7 orang di Lampung, 6 orang di Sumatera Utara, 4 orang di Banten, 3 di Jambi, 2 di Jawa Barat, 2 di Kalimantan Timur, 1 di Sulawesi Selatan, 1 di Maluku dan 1 di Kalimantan Barat. Mayoritas dari tersangka teroris tersebut tergabung ke dalam jaringan Jamaah Islamiyah yang ideologinya tersambung pada jaringan teroris internasional, Al-Qaeda.

Apa yang dilakukan Densus 88 sebagai bagian dari upaya cegah dini tindakan teroris (me) memang sesuai dengan amanah Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hasil revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Terorisme. Lalu, bagaimana dengan fakta pascakejadian atas tindakan kejahatan terorisme. Di sinilah pentingnya dicari jalan keluar terbaik dengan menggunakan pendekatan yang humanis, komprehensif, dan multiperspektif.

Sejauh ini, setiap terjadi aksi terorisme, spekulasi seputar pelaku, motif dan tujuan aksi terorisme menjadi topik diskusi yang menarik perhatian, sehingga komentar masyarakat pun bermunculan. Ada yang mengaitkan dengan jaringan terorisme internasional, lemahnya sistem pengamanan dan intelijen, kecemburuan sosial, dan sebagainya. Amat jarang mengaitkan fenomena terorisme dengan persoalan kesenjangan dan kesejahteraan ekonomi masyarakat, khususnya umat Islam. Padahal, selama ini kesenjangan dan ketimpangan ekonomi di kalangan umat Islam diyakini menjadi salah satu pemicu munculnya sikap radikal dan terorisme. Karenanya, tidak heran jika Islam selalu dikaitkan setiap terjadi aksi terorisme baik di Indonesia maupun di belahan dunia (Islam) lain.

Dalam konteks Indonesia, jika secara statistik dinyatakan kurang lebih 80% dari rakyat Indonesia adalah beragama Islam, maka sangat logis diajukan hipotesis bahwa 80% dari 270an jutaan rakyat Indonesia yang masih miskin adalah umat Islam. Inilah fakta riil yang menjadi tantangan tersendiri umat Islam hari ini. Untuk itu, strategi jitu mengenai penguatan umat agar menjadi kekuatan mandiri di bidang ekonomi menjadi mendesak dirumuskan. Tentu saja jawaban atas persoalan ini tidak mudah karena akan berhubungan langsung dengan perilaku sosial dan sumber-sumber daya ekonomi yang dapat digunakan. Di sini peran agama sangat strategis dalam upaya berubah perilaku sosial umat yang destruktif terhadap ekonomi ke arah perilaku sosial konstruktif terhadap perubahan ekonomi.

Pemberdayaan Ekonomi dalam Islam
Konsep dan strategi pemberdayaan umat dalam menciptakan kekuatan mandiri tersebut haruslah mengandung muatan langkah konkrit untuk kemudian meyakinkan umat bagaimana mereka (kita) tetap eksis dalam kehidupan yang serba materialistik ini dengan tidak menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain. Pemahaman umat terhadap perilaku ekonomi yang Islami adalah mutlak diprioritaskan supaya tercipta kedisiplinan sosial-ekonomi yang mengarah pada keyakinan diri sebagai jalan dasar mencari jalan pengentasan kemiskinan.

Kemiskinan dalam perspektif sosial menunjukkan ketidakmampuan masyarakat menggeser posisi kehidupannya baik secara vertikal (naiknya taraf kehidupan sosial) maupun secara horizontal (bertambahnya akses individu dalam lingkungan yang lebih luas) yang disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi. Manusia dalam pembangunan ekonomi adalah subjek (pelaku) sekaligus objek (penerima hasil) pembangunan. Dengan demikian, pemberdayaan adalah upaya serius yang mengarah pada keterlibatan rakyat dalam setiap proses pembangunan tersebut.

Pembangunan ekonomi tidak bisa lepas dari etika sebab etika mengajarkan bagaimana kita harus berpikir dan berbuat dalam dua batas, yakni benar dan salah. Sesuatu yang salah tetapi dikerjakan berarti tidak etis, begitu juga sebaliknya. Etika Islam yang pertama adalah tauhid, yaitu segala sesuatu yang ada di dunia ini bersumber dari Allah. Namun demikian, segala sesuatu diperuntukkan bagi manusia baik yang di langit maupun yang di bumi (QS Al-Jatsiyah: 13). Etika ini meletakkan ketaqwaan kepada Allah sebagai syarat utama bagi terbukanya rezeki dari Allah (QS Al-A’raf: 96). Manusia yang bertakwa dengan sebenar-benarnya adalah manusia yang berakhlak tinggi yang diharapkan akan menjadi dasar dalam mengemban misi yang diamanatkan oleh Allah.

Praktis, pembangunan ekonomi merupakan proses penggalian sumber-sumber daya alam yang melibatkan sumber daya manusia, ilmu dan teknologi sehingga memberikan manfaat dengan nilai yang lebih tinggi bagi manusia. Pembangunan ekonomi menurut Dusley Seer (2017) dikatakan berhasil jika mampu mengatasi tiga masalah pokok: kemiskinan (pendapatan rendah), pengangguran (kesempatan kerja rendah) dan ketimpangan (distribusi hasil pembangunan tidak merata). Ketiga sasaran pembangunan di atas akan tercapai jika manusia dalam proses pencapaian tujuan pembangunan berpegang pada kisi-kisi yang telah ditegaskan dalam Alquran seperti yang telah diurai sebelumnya.

Saya berpandangan bahwa kemiskinan dan kesenjangan ekonomi merupakan masalah sosial yang mampu memantik siapa pun untuk melakukan aksi terorisme. Terlepas kategorisasi kemiskinan yang ada baik natural maupun struktural, yang jelas salah satu penyebab suburnya terorisme di Indonesia adalah kondisi kehidupan yang susah, kemiskinan absolut dan keterbelakangan ekstrem, yang konon mudah sekali dipengaruhi ideologi kekerasan. Akibatnya, orang-orang yang masuk kategori ini rentan tersusupi doktrin yang ekstrem, pemahaman radikal yang dapat mengarah pada tindakan terorisme, atas nama mencari keadilan sosial ekonomi dengan sedikit bumbu hujjah teks keagamaan.

Alhasil, kerja-kerja penanggulangan aksi terorisme melalui pemberdayaan ekonomi umat memang bukanlah klasifikasi secara mutlak mengingat seseorang berpaham radikal yang mengarah pada tindakan terorisme dipengaruhi oleh banyak motif, dan pemberdayaan ekonomi adalah alternatif solusi untuk penanggulangan tindak terorisme, penanggulangan tindak terorisme tentu sangat beragam, tergantung siapa pelakunya, misalkan aparat negara tentu berbeda cara dalam menanggulangi terorisme dengan para ulama atau akademisi. Masing-masing memiliki cara yang sesuai dengan bidangnya, namun yang jelas dan harus adalah keterpaduan dari setiap elemen masyarakat dalam penanggulangan paham radikalisme terorisme yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan berkesinambungan sampai akar permasalahan terselesaikan. Tanpa itu semua, maka kelompok terorisme akan terus berkembang dan mengancam keamanan nasional kita.
(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1822 seconds (0.1#10.140)