Koalisi Sipil Desak Pengadilan Bebaskan Tapol Papua

Rabu, 17 Juni 2020 - 20:12 WIB
loading...
Koalisi Sipil Desak...
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM mendesak PN Balikpapan membebaskan tujuh aktivis prodemokrasi Papua. FOTO/Instagram/@geobukseon
A A A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) menyayangkan kasus yang menjerat tujuh aktivis prodemokrasi Papua di Balikpapan, Kalimantan Timur. Mereka saat ini ditetapkan menjadi tahanan politik (tapol) dengan tuduhan makar dan menjadi aktor intelektual di balik protes rasisme yang berujung konflik di berbagai kota di Papua.

Tujuh tahanan politik Papua itu adalah Fery Kombo, Alexander Gobay, Hengki Hilapok, Buchtar Tabun, Irwanus Uropmabin, Stevanus Itlay, dan Agus Kossay. Mereka dijerat dengan Pasal 106 KUHP, Pasal 110 ayat (1) KUHP, Pasal 82 A PP No 12/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 160 KUHP dan Pasal 55 Ayat (1) KUHP tentang penghasutan untuk membuat makar.

"Koalisi mendesak Pengadilan Negeri Balikpapan untuk memutus bebas seluruh tahanan politik Papua . Proses hukum terhadap para tahanan itu dianggap bersifat bias, rasial, dan menghancurkan martabat hukum di Indonesia," kata anggota Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Sekar Banjaran Aji melalui keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Rabu (17/6/2020). ( )

Ia menilai ketujuh tahanan politik tersebut merupakan pembela hak asasi manusia yang sedang menyuarakan protes terhadap tindakan rasisme yang sebelumnya terjadi terhadap suku-bangsa Papua. Bahkan, 5 dari 7 tahanan politik tersebut diketahui masih berstatus sebagai mahasiswa.

"Proses hukum yang mereka terima jauh dari memenuhi unsur keadilan. Tuntutan yang diberikan kepada para tapol tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan perlakuan aparat penegak hukum terhadap para pembela HAM Papua ," katanya.

Selain menuntut pembebasan, koalisi juga meminta Presiden Joko Widodo memberikan amnesti dan abolisi serta merehabilitasi nama seluruh tapol Papua lainnya yang dijerat dengan pasal makar. Kemudian, meminta aparat penegak hukum di Indonesia, khususnya kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan untuk tidak bersikap rasis dalam merespons situasi di Papua.( )

"Seluruh aparat pemerintah Indonesia, baik pada tingkat pusat maupun daerah, dan juga masyarakat sipil lainnya untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi dan rasisme terhadap warga Papua dan tahanan politik Papua ," katanya.

Berdasarkan catatan koalisi, selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo, setidaknya terdapat 72 kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap para pembela HAM Papua. Adapun jumlah korban dari kasus tersebut mencapai ribuan orang.

Sementara, dalam dua tahun belakangan ini banyak pembela HAM, masyarakat sipil, dan kelompok mahasiswa di Papua yang melakukan aksi protes secara damai yang ditangkap dan dipenjara atas tuduhan makar. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia.

Koalisi menilai pelanggaran terhadap hak-hak pembela HAM di Papua itu berawal dari stigmatisasi sebagai pendukung separatisme atau pemberontak. Akibat dari stigmatisasi tersebut, muncul perlakuan yang merendahkan martabat dan pelanggaran terhadap berbagai ketentuan hukum seolah dapat dibenarkan bagi tahanan politik dan pembela HAM Papua, baik yang dilakukan oleh aparat maupun oleh warga sipil.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1693 seconds (0.1#10.140)