Perlu Langkah Tegas untuk Atasi Masalah Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
Founder KGSB, Ruth Andriani menuturkan, untuk bisa mengembalikan fungsi sekolah sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman bagi anak, sangat penting bagi guru dapat memahami lebih lanjut soal kekerasan seksual.
Oleh sebab itu, Webinar Menghadapi Ancaman Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah ini diadakan guna membekali para guru agar mampu mencegah dan melindungi anak dari kekerasan seksual.
"Sekolah idealnya merupakan jaring pengaman bagi peserta didiknya. Kami berinisiatif untuk melindungi masa depan anak melalui para guru. Para narasumber juga merupakan pakar dibidang hukum dan penanganan kekerasan seksual," kata Ruth.
Sementara Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di PPPPTK Penjas dan BK Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti menambahkan, Webinar yang diselenggarakan KGSB kali ini merupakan langkah konkrit terhadap kemanjuan dunia pendidikan Indonesia terutama dalam menanggulangi ancaman kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
"Dibutuhkan sosial movement dari semua pihak untuk berkolaborasi bersama dalam menangani pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pedidikan," tegas Ana.
Dalam paparannya, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjelaskan, bentuk kekerasan seksual (verbal dan nonverbal) serta upaya pencegahan dan penanganannya.
Menurut Bivitri, kekerasan seksual harus ditangani secara serius bukan hanya dari aspek penghukuman. Tetapi juga pentingnya pencegahan dan penanganan cepat serta pemulihan korban hal ini terkait dengan mengkritisi UU TPKS (Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual).
"Baru terdapat 3 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas. KUHAP yang ada tidak mengenal korban. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak menyediakan skema pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Selain itu, skema perlindungan bagi korban kekerasan seksual masih sangat terbatas," jelasnya.
Sedangkan Sri Bayuningsih Praptadina, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menambahkan, Lembaga pendidikan perlu menyusun SOP dalam pencegahan dan penanganan KS.
Hal ini sebagai upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban KS serta membantu menciptakan sekolah yang aman, bermartabat, inklusif, kolaboratif, setara dan tanpa kekerasan.
"Tim penyusun SOP dalam lingkungan sekolah dalam melibatkan Kepala Sekolah, Guru BK, Perwakilan Guru dan Perwakilan Siswa (OSIS,MPK, Lembaga Ekskul). Kerangka Peraturan Pencegahan dan Penanganan KS mencakup definisi, ruang lingkup, prinsip pencegahan dan penanganan KS, sasaran, pencegahan, penanganan dan mekanisme penanganan," ujar Dina.
Oleh sebab itu, Webinar Menghadapi Ancaman Kekerasan Seksual di Lingkungan Sekolah ini diadakan guna membekali para guru agar mampu mencegah dan melindungi anak dari kekerasan seksual.
"Sekolah idealnya merupakan jaring pengaman bagi peserta didiknya. Kami berinisiatif untuk melindungi masa depan anak melalui para guru. Para narasumber juga merupakan pakar dibidang hukum dan penanganan kekerasan seksual," kata Ruth.
Sementara Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di PPPPTK Penjas dan BK Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti menambahkan, Webinar yang diselenggarakan KGSB kali ini merupakan langkah konkrit terhadap kemanjuan dunia pendidikan Indonesia terutama dalam menanggulangi ancaman kekerasan seksual di lingkungan sekolah.
"Dibutuhkan sosial movement dari semua pihak untuk berkolaborasi bersama dalam menangani pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pedidikan," tegas Ana.
Dalam paparannya, Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjelaskan, bentuk kekerasan seksual (verbal dan nonverbal) serta upaya pencegahan dan penanganannya.
Menurut Bivitri, kekerasan seksual harus ditangani secara serius bukan hanya dari aspek penghukuman. Tetapi juga pentingnya pencegahan dan penanganan cepat serta pemulihan korban hal ini terkait dengan mengkritisi UU TPKS (Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual).
"Baru terdapat 3 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas. KUHAP yang ada tidak mengenal korban. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak menyediakan skema pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Selain itu, skema perlindungan bagi korban kekerasan seksual masih sangat terbatas," jelasnya.
Sedangkan Sri Bayuningsih Praptadina, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera menambahkan, Lembaga pendidikan perlu menyusun SOP dalam pencegahan dan penanganan KS.
Hal ini sebagai upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban KS serta membantu menciptakan sekolah yang aman, bermartabat, inklusif, kolaboratif, setara dan tanpa kekerasan.
"Tim penyusun SOP dalam lingkungan sekolah dalam melibatkan Kepala Sekolah, Guru BK, Perwakilan Guru dan Perwakilan Siswa (OSIS,MPK, Lembaga Ekskul). Kerangka Peraturan Pencegahan dan Penanganan KS mencakup definisi, ruang lingkup, prinsip pencegahan dan penanganan KS, sasaran, pencegahan, penanganan dan mekanisme penanganan," ujar Dina.