Dahsyat! Srikandi Kopassus Ini Taklukkan Musuh meski Kaki Bengkak Parah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tidak ada kata menyerah. Semangat membara itu berkobar di dada Serda (K) Dwi Oktaviani . Di tengah rasa sakit dan perih teramat sangat akibat cedera parah di kaki, prajurit perempuan Komando Pasukan Khusus alias Kopassus ini tetap berangkat ke medan laga dan akhirnya sukses menghancurkan lawan.
Kisah ini terjadi kala Okta masih berpangkat sersan satu alias sertu. Untuk diketahui, Okta merupakan salah satu Srikandi Kopassus sekaligus atlet bela diri karate dan yomoongdo. Sederet prestasi diraih Kowad Baret Merah ini. Baca juga: 6 Jenderal Kopassus Jabat Pangdam, Nomor 5 Tumpas Teroris MIT dan Pimpin Pasukan Elite 3 Matra
Pada 2017, Sertu Okta menjalani latihan super keras untuk tampil di Kejurnas Bela Diri Militer Yongmoodo KSAD Cup ke-7. Selama tiga bulan dia berlatih intensif agar siap tanding. Pada waktu itu, jika Kopassus ingin menjadi juara umum, pertandingan Okta lah yang akan jadi penentu.
Sayang, saat semifinal dia mengalami cedera yang membuat pergelangan kakinya membengkak besar. Cedera parah itu menjadikan dia sulit melangkah, apalagi menendang.
“Malam itu Okta menangis, kesal bercampur rasa sakit. Tim dokter menyatakan dia tidak dapat bertanding keesokan harinya (laga final),” tulis buku ‘Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus’ karya Iwan Santosa dan EA Natanegara dikutip, Sabtu (26/3/2022).
Apakah Okta menyerah?
Di tengah deraan sakit nan hebat itu, para pelatih dan koordinator yang semuanya prajurit Kopassus menguatkan hati sang srikandi bermental baja ini. Seluruh tim menyemangati bahwa Okta pasti bisa.
Jargon Kopassus: Berani, Benar, Berhasil pun digelorakan untuk memberikan dukungan moral. Tak ayal, semua motivasi itu melecut hati Okta untuk tidak menyerah. Betul saja, keesokan harinya dia tetap melangkah gagah berani ke medan laga.
Dengan kaki dibebat dan disemprot cairan penahan sakit, Okta membulatkan hati, meyakinkan diri untuk tampil di babak final alias pertandingan pamungkas. Baginya, hanya satu tekad di hari itu yakni menang dan mengantarkan Kopassus menjadi juara umum.
Dahsyat! Ledakan tekad baja dan semangat pantang menyerah prajurit Komando terbukti membawa hasil gilang-gemilang. Dalam kondisi menahan rasa sakit di kaki, Okta tampil brilian dan mewujudkan mimpinya.
“Tidak ada rasa sakit terbayang di wajahnya. Menit demi menit berlalu sampai akhirnya wasit memberikan tanda pertandingan berakhir dengan Okta sebagai juara untuk kelas 55 kg putri,” ucap Kopassus.
Werfing Kopassus
Kebanyakan orang menganggap Kopassus hanya dihuni prajurit-prajurit tangguh pria. Faktanya, di pasukan elite TNI AD ini juga memiliki sejumlah personel perempuan. Hampir sama dengan pria, para srikandi Kowad itu harus menjalani pendidikan khusus sebelum menyandang status prajurit Kopassus.
Bedanya, Kowad yang menjadi anggota Kopassus mesti melalui Uji Terampil Perseorangan (UTP), bukan melalui kualifikasi Komando. Untuk proses saat ini dikenal dengan istilah Tradisi Pembaretan. Perjalanan mendapatkan baret ini juga tak mudah.
“Long march dari Pusdiklatpassus di Batujajar ke hutan latihan di Situ Lembang dilakoni untuk melatih fisik, mental, dan kemampuan navigasi darat,” tulis buku Kopassus.
Secara keseluruhan proses pembaretan itu memakan waktu tiga minggu. Dengan latihan keras yang menguras fisik dan mental itu para Kowad akhirnya merasakan betul arti mendapatkan Baret Merah itu.
Kisah ini terjadi kala Okta masih berpangkat sersan satu alias sertu. Untuk diketahui, Okta merupakan salah satu Srikandi Kopassus sekaligus atlet bela diri karate dan yomoongdo. Sederet prestasi diraih Kowad Baret Merah ini. Baca juga: 6 Jenderal Kopassus Jabat Pangdam, Nomor 5 Tumpas Teroris MIT dan Pimpin Pasukan Elite 3 Matra
Pada 2017, Sertu Okta menjalani latihan super keras untuk tampil di Kejurnas Bela Diri Militer Yongmoodo KSAD Cup ke-7. Selama tiga bulan dia berlatih intensif agar siap tanding. Pada waktu itu, jika Kopassus ingin menjadi juara umum, pertandingan Okta lah yang akan jadi penentu.
Sayang, saat semifinal dia mengalami cedera yang membuat pergelangan kakinya membengkak besar. Cedera parah itu menjadikan dia sulit melangkah, apalagi menendang.
“Malam itu Okta menangis, kesal bercampur rasa sakit. Tim dokter menyatakan dia tidak dapat bertanding keesokan harinya (laga final),” tulis buku ‘Kopassus untuk Indonesia: Profesionalisme Prajurit Kopassus’ karya Iwan Santosa dan EA Natanegara dikutip, Sabtu (26/3/2022).
Apakah Okta menyerah?
Di tengah deraan sakit nan hebat itu, para pelatih dan koordinator yang semuanya prajurit Kopassus menguatkan hati sang srikandi bermental baja ini. Seluruh tim menyemangati bahwa Okta pasti bisa.
Jargon Kopassus: Berani, Benar, Berhasil pun digelorakan untuk memberikan dukungan moral. Tak ayal, semua motivasi itu melecut hati Okta untuk tidak menyerah. Betul saja, keesokan harinya dia tetap melangkah gagah berani ke medan laga.
Dengan kaki dibebat dan disemprot cairan penahan sakit, Okta membulatkan hati, meyakinkan diri untuk tampil di babak final alias pertandingan pamungkas. Baginya, hanya satu tekad di hari itu yakni menang dan mengantarkan Kopassus menjadi juara umum.
Dahsyat! Ledakan tekad baja dan semangat pantang menyerah prajurit Komando terbukti membawa hasil gilang-gemilang. Dalam kondisi menahan rasa sakit di kaki, Okta tampil brilian dan mewujudkan mimpinya.
“Tidak ada rasa sakit terbayang di wajahnya. Menit demi menit berlalu sampai akhirnya wasit memberikan tanda pertandingan berakhir dengan Okta sebagai juara untuk kelas 55 kg putri,” ucap Kopassus.
Werfing Kopassus
Kebanyakan orang menganggap Kopassus hanya dihuni prajurit-prajurit tangguh pria. Faktanya, di pasukan elite TNI AD ini juga memiliki sejumlah personel perempuan. Hampir sama dengan pria, para srikandi Kowad itu harus menjalani pendidikan khusus sebelum menyandang status prajurit Kopassus.
Bedanya, Kowad yang menjadi anggota Kopassus mesti melalui Uji Terampil Perseorangan (UTP), bukan melalui kualifikasi Komando. Untuk proses saat ini dikenal dengan istilah Tradisi Pembaretan. Perjalanan mendapatkan baret ini juga tak mudah.
“Long march dari Pusdiklatpassus di Batujajar ke hutan latihan di Situ Lembang dilakoni untuk melatih fisik, mental, dan kemampuan navigasi darat,” tulis buku Kopassus.
Secara keseluruhan proses pembaretan itu memakan waktu tiga minggu. Dengan latihan keras yang menguras fisik dan mental itu para Kowad akhirnya merasakan betul arti mendapatkan Baret Merah itu.
(kri)