Anggota Komisi VI DPR Beberkan Sengkarut Masalah Minyak Goreng
loading...
A
A
A
Ketika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan DMO, DPO dan HET, para produsen CPO banyak yang menahan produksinya. Sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan. Sementara CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan. Sebab di tingkat distributor, terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi, dan penyeludupan.
"Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat. Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya," kata Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Dia menjelaskan, kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup. "Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya," ujarnya.
Dalam konteks itu, Deddy mengaku tidak habis pikir belum selesainya persoalan minyak goreng. Sebab kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas. Pasal 25 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, menyatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga terjangkau.
Perpres No 72/2015 dan Perpres No 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang penting lainnya. Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik serta mengelola ekspor dan impor.
Karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian. "Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Menurut Deddy, sebaiknya Pemerintah mencabut Peraturan Menperin No 8/2022 karena selain tidak sejalan dengan UU, juga tidak melibatkan pihak-pihak lain yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir. "Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, Polri, dan Kementerian Dalam Negeri," ujar Deddy.
"Pemerintah tidak boleh melepaskan harga minyak goreng sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau hanya mengatur minyak curah, tetapi juga harus mengendalikan harga minyak goreng kemasan agar sesuai keekonomian. Harga keekonomian berarti mempertimbangkan harga bahan baku, harga pokok produksi, biaya distribusi dan keuntungan yang wajar dengan kondisi makroekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat," katanya.
"Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat. Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya," kata Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Dia menjelaskan, kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup. "Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya," ujarnya.
Dalam konteks itu, Deddy mengaku tidak habis pikir belum selesainya persoalan minyak goreng. Sebab kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas. Pasal 25 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, menyatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga terjangkau.
Perpres No 72/2015 dan Perpres No 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang penting lainnya. Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik serta mengelola ekspor dan impor.
Karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian. "Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Menurut Deddy, sebaiknya Pemerintah mencabut Peraturan Menperin No 8/2022 karena selain tidak sejalan dengan UU, juga tidak melibatkan pihak-pihak lain yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir. "Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, Polri, dan Kementerian Dalam Negeri," ujar Deddy.
"Pemerintah tidak boleh melepaskan harga minyak goreng sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau hanya mengatur minyak curah, tetapi juga harus mengendalikan harga minyak goreng kemasan agar sesuai keekonomian. Harga keekonomian berarti mempertimbangkan harga bahan baku, harga pokok produksi, biaya distribusi dan keuntungan yang wajar dengan kondisi makroekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat," katanya.
(abd)