Anggota Komisi VI DPR Beberkan Sengkarut Masalah Minyak Goreng
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Sitorus menilai tiga paket kebijakan pemerintah tidak akan efektif menyelesaikan masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di pasaran. Semestinya pemerintah hanya perlu memastikan pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok atau sistem distribusi tidak bocor.
Deddy menjelaskan, paket kebijakan pertama pemerintah dalam mengatasi persoalan minyak goreng adalah mencabut mekanisme Domestic Market Obligation (DOM), Domestic Price Obligation (DOM), dan Harga Eceran Tertinggi (HET). DMO dan DPO berfungsi mengatur penyebaran minyak goreng (migor) di pasaran.
DMO mewajibkan seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor untuk mengalokasikan 30% dari volume produksinya bagi kebutuhan dalam negeri. Sementara DPO mengatur harga minyak sawit mentah (CPO) di Tanah Air.
"Kebijakan demikian yang terburu-buru menyebabkan pasokan semu yang tidak berkelanjutan serta harga minyak goreng kemasan yang tidak terkendali," katanya, Jumat (25/3/2022).
Kebijakan selanjutnya adalah pemberian subsidi untuk minyak goreng curah melalui skema Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Politikus PDIP ini menganggap kebijakan itu sangat rentan terhadap penyimpangan dalam bentuk migrasi konsumen, penimbunan, dan penyeludupan serta pengalihan minyak goreng curah ke industri dan ke luar negeri.
Demikian pula kebijakan menaikkan pungutan ekspor (levy). Baginya, hal ini tidak akan efektif jika disparitas harga pasar internasional dengan domestik masih cukup lebar.
Menurut Deddy, mengatasi kelangkaan minyak goreng sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebab fundamentalnya adalah memastikan adanya pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok/sistem distribusinya tidak bocor.
"Masalah fundamental tersebut hanya bisa diatasi jika ada pengaturan tata niaga yang baik, adil dan transparan serta pengawasan, penegakan hukum yang konsisten dan efektif," kata politikus kelahiran Pematang Siantar ini.
Baca juga: Minyak Goreng Kemasan 1 Liter Dijual Rp14 Ribu di Jakarta, Ini Lokasinya
Deddy menilai Kenaikan harga minyak goreng yang konsisten sejak akhir 2021, akibat pengaruh melonjaknya harga komoditas CPO dan turunannya di pasar dunia. Hal ini mendorong para pengusaha melakukan ekspor untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, sehingga menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga minyak goreng.
Ketika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan DMO, DPO dan HET, para produsen CPO banyak yang menahan produksinya. Sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan. Sementara CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan. Sebab di tingkat distributor, terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi, dan penyeludupan.
"Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat. Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya," kata Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Dia menjelaskan, kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup. "Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya," ujarnya.
Dalam konteks itu, Deddy mengaku tidak habis pikir belum selesainya persoalan minyak goreng. Sebab kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas. Pasal 25 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, menyatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga terjangkau.
Perpres No 72/2015 dan Perpres No 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang penting lainnya. Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik serta mengelola ekspor dan impor.
Karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian. "Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Menurut Deddy, sebaiknya Pemerintah mencabut Peraturan Menperin No 8/2022 karena selain tidak sejalan dengan UU, juga tidak melibatkan pihak-pihak lain yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir. "Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, Polri, dan Kementerian Dalam Negeri," ujar Deddy.
"Pemerintah tidak boleh melepaskan harga minyak goreng sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau hanya mengatur minyak curah, tetapi juga harus mengendalikan harga minyak goreng kemasan agar sesuai keekonomian. Harga keekonomian berarti mempertimbangkan harga bahan baku, harga pokok produksi, biaya distribusi dan keuntungan yang wajar dengan kondisi makroekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat," katanya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
Deddy menjelaskan, paket kebijakan pertama pemerintah dalam mengatasi persoalan minyak goreng adalah mencabut mekanisme Domestic Market Obligation (DOM), Domestic Price Obligation (DOM), dan Harga Eceran Tertinggi (HET). DMO dan DPO berfungsi mengatur penyebaran minyak goreng (migor) di pasaran.
DMO mewajibkan seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor untuk mengalokasikan 30% dari volume produksinya bagi kebutuhan dalam negeri. Sementara DPO mengatur harga minyak sawit mentah (CPO) di Tanah Air.
"Kebijakan demikian yang terburu-buru menyebabkan pasokan semu yang tidak berkelanjutan serta harga minyak goreng kemasan yang tidak terkendali," katanya, Jumat (25/3/2022).
Kebijakan selanjutnya adalah pemberian subsidi untuk minyak goreng curah melalui skema Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Politikus PDIP ini menganggap kebijakan itu sangat rentan terhadap penyimpangan dalam bentuk migrasi konsumen, penimbunan, dan penyeludupan serta pengalihan minyak goreng curah ke industri dan ke luar negeri.
Demikian pula kebijakan menaikkan pungutan ekspor (levy). Baginya, hal ini tidak akan efektif jika disparitas harga pasar internasional dengan domestik masih cukup lebar.
Menurut Deddy, mengatasi kelangkaan minyak goreng sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebab fundamentalnya adalah memastikan adanya pasokan bahan baku yang cukup dan rantai pasok/sistem distribusinya tidak bocor.
"Masalah fundamental tersebut hanya bisa diatasi jika ada pengaturan tata niaga yang baik, adil dan transparan serta pengawasan, penegakan hukum yang konsisten dan efektif," kata politikus kelahiran Pematang Siantar ini.
Baca juga: Minyak Goreng Kemasan 1 Liter Dijual Rp14 Ribu di Jakarta, Ini Lokasinya
Deddy menilai Kenaikan harga minyak goreng yang konsisten sejak akhir 2021, akibat pengaruh melonjaknya harga komoditas CPO dan turunannya di pasar dunia. Hal ini mendorong para pengusaha melakukan ekspor untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya, sehingga menyebabkan kelangkaan dan memicu kenaikan harga minyak goreng.
Ketika pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan kebijakan DMO, DPO dan HET, para produsen CPO banyak yang menahan produksinya. Sehingga menyebabkan pasokan minyak goreng sulit didapatkan oleh pabrikan. Sementara CPO yang dihasilkan melalui kebijakan DMO tersebut ke pabrik minyak goreng, tidak tersalurkan. Sebab di tingkat distributor, terjadi kebocoran dalam bentuk penimbunan, spekulasi, dan penyeludupan.
"Hal inilah yang memicu kelangkaan, kenaikan harga dan akhirnya menyebabkan panic buying di tengah-tengah masyarakat. Saya tidak melihat paket kebijakan yang ada itu menjawab persoalan mendasarnya," kata Anggota DPR dari Daerah Pemilihan Provinsi Kalimantan Utara tersebut.
Dia menjelaskan, kebutuhan bahan baku minyak goreng itu hanya 5,7 juta ton, sementara produksi mencapai 51 juta ton dalam bentuk CPO dan PKO. Artinya kebutuhan itu hanya 10% dari total produksi, alias barangnya lebih dari cukup. "Persoalannya adalah tata niaga dan penegakan hukum, itu inti masalahnya," ujarnya.
Dalam konteks itu, Deddy mengaku tidak habis pikir belum selesainya persoalan minyak goreng. Sebab kerangka hukum dan regulasi tentang minyak goreng sudah cukup jelas. Pasal 25 UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, menyatakan bahwa minyak goreng merupakan salah satu komoditas yang ketersediaanya harus dikendalikan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah, agar selalu tersedia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik dan harga terjangkau.
Perpres No 72/2015 dan Perpres No 59/2020 juga memberikan kewenangan bagi Kementerian Perdagangan dalam menetapkan dan menyimpan barang pokok dan barang penting lainnya. Termasuk dalam hal menetapkan kebijakan harga, mengelola stok dan logistik serta mengelola ekspor dan impor.
Karena itu, Deddy mempertanyakan mengapa saat ini masalah tata niaga justru diambil alih oleh Kementerian Perindustrian. "Saya khawatir bahwa kebijakan yang diambil saat ini tidak sejalan dengan UU dan regulasi yang ada, tidak akan menyelesaikan persoalan dan berpotensi menimbulkan masalah baru," ujarnya.
Menurut Deddy, sebaiknya Pemerintah mencabut Peraturan Menperin No 8/2022 karena selain tidak sejalan dengan UU, juga tidak melibatkan pihak-pihak lain yang seharusnya ikut berperan dari hulu ke hilir. "Saya mengusulkan agar diubah menjadi Satgas Minyak Goreng atau SKB yang melibatkan Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Keuangan, Polri, dan Kementerian Dalam Negeri," ujar Deddy.
"Pemerintah tidak boleh melepaskan harga minyak goreng sepenuhnya kepada mekanisme pasar atau hanya mengatur minyak curah, tetapi juga harus mengendalikan harga minyak goreng kemasan agar sesuai keekonomian. Harga keekonomian berarti mempertimbangkan harga bahan baku, harga pokok produksi, biaya distribusi dan keuntungan yang wajar dengan kondisi makroekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat," katanya.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(abd)