Pentingnya Kedaulatan Data di Era Adaptasi Kebiasaan Baru
loading...
A
A
A
BANDUNG - Pembukaan kembali sejumlah sektor menuju fase masyarakat yang produktif dan aman dari Covid-19 harus melalui tahapan-tahapan ketat dan hati-hati. Imbauan tersebut sudah disampaikan banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu.
Pakar kebijakan dan legislasi teknologi informasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Danrivanto Budhijanto, mengatakan, arahan Presiden Jokowi terkait adaptasi kebiasaan baru perlu disikapi proporsional. Begitu pula dengan pemanfaatan teknologi yang membantu kebiasaan baru seperti masifnya aplikasi video conference, aplikasi film/video streaming berlangganan, serta aplikasi “televisi” streaming media sosial yang banyak digunakan oleh individu, komunitas, korporasi, maupun institusi. “Kita dihadapkan pada tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi terhadap adaptasi kebiasaan baru,” tulis Danrivanto dalam siaran pers kemarin.
Mengutip pendiri World Economic Forum (WEF) Klaus Schwab, Danrivanto mengungkapkan bahwa dalam tulisan bertajuk "The Fourth Industrial Revolution", ada keprihatinan besar jika korporasi tidak dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru tersebut. (Baca: Tiada Maaf Bagi Subur Sembiring)
Menurut Danrivanto, ada beberapa tantangan yang dihadapi antara lain kemungkinan pemerintah yang bisa saja gagal memanfaatkan teknologi baru, adanya ketidaksetaraan legislasi dan regulasi, pergeseran kekuasaan yang menciptakan masalah keamanan teknologi baru, serta fragmentasi masyarakat.
“Klaus Schwab memercayai bahwa era Revolusi Industri 4.0 dibangun di sekitar cyber-physical systems dengan tanpa ada batasan fisikal, digital, dan biologikal,” tambah Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi-Komunikasi & Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum Unpad ini.
Danrivanto berpendapat, kebijakan dan legislasi eksisting terkait layanan digital pada kenyataannya belum berlaku secara proporsional bagi para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing dan media sosial. Demikian pula kepatuhan terhadap legislasi penyiaran, film, periklanan di Indonesia.
“Para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing dan media sosial juga melakukan kegiatan pengumpulan data, penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data behavior analyzing) dari publik Indonesia. Dari sana, data pribadi pengguna aplikasi kemudian dimonetisasi menjadi keuntungan korporasi dan daya tarik bagi investor,” ujarnya.
Ihwal pentingnya pemanfaatan data juga disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Pidato Kenegaraan di Gedung Parlemen pada 16 Agustus 2019 silam. Saat itu Presiden menegaskan bahwa Indonesia harus siap dalam menghadapi kolonialisme digital karena data diibaratkan sebagai komoditas menguntungkan layaknya minyak sehingga kondisi tersebut memunculkan istilah baru, yakni data is new oil. “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita. Kini data lebih berharga dari minyak. Karenanya, Indonesia harus mewujudkan kedaulatan data,” ucap Jokowi. (Baca juga: Usut Penyelewengan dana Covid, Kapolri Bentuk Satgas Khusus)
Dengan demikian, setiap hak warga negara harus dilindungi oleh legislasi dalam adaptasi kebiasaan baru sebagai amanat kedaulatan virtual.
Sementara itu, pakar teknologi informasi dan komunikasi Heru Sutadi mengatakan, terkait kedaulatan data, pemerintah perlu mengurangi intensitas pembicaraan yang menyangkut kerahasiaan negara di video virtual maupun streaming. Apalagi saat ini kondisi work from home (WFH) sedang diterapkan menyambut masa kenormalan baru.
“Supaya tidak dimanfaatkan, karena tidak ada jaminan kalau berbagi data lewat video virtual atau streaming itu, bocor. Jadi jangan mengumbar data, atau minimalkan data-data yang di-share,” ujarnya kepada SINDO Media di Jakarta kemarin. (Lihat Foto: Hadapi Corona, Pemerintah Beri Stimulus Kredit UMKM)
Menurut dia, pemerintah atau pejabat yang berbagi data melalui video virtual hendaknya memiliki standar atau protap tersendiri. Dia beralasan, pengawasan beredarnya berbagai data, apakah data tersebut menyangkut kerahasiaan negara maupun data biasa masih sulit diawasi. “Pengawasannya pun saya kira belum maksimal, belum lagi pada penegakan hukumnya,” ujar dia.
Di sisi lain, edukasi yang dilakukan pemerintah maupun sektor yang berwenang juga masih minim. Perlu ada edukasi secara masif, apalagi di era new normal pemakaian layanan daring akan makin sering dan akan banyak digunakan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika terus berupaya melakukan pengawasan terhadap perlindungan data masyarakat secara berkala. Hal itu dikatakan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate pada pertengahan Mei 2020.
“Kominfo dalam hal ini untuk memastikan bahwa hak-hak pemilik data terlindungi, kalau sampai diretas itu harus segera bisa dipulihkan agar mereka diberi tahu untuk melakukan pencegahan-pencegahan lebih lanjut,” tutur Johnny. (Baca juga: Monyet Mabuk di India Dihukum Penjara Seumur Hidup)
Sebagai regulator, Kementerian Kominfo melakukan pengawasan berdasarkan amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta peraturan pemerintah terkait dengan Penyelenggara Sistem Elektronik (PP PSE).
"Untuk memastikan hak pemilik data terlindungi, kalau sampai diretas harus dipulihkan, mereka diberi tahu untuk pencegahan lebih lanjut, harus diinformasikan dan diberikan asistensi apabila terjadi kerugian dan ketiga harus mengakhiri agar peretasan itu tidak berlanjut," jelasnya. (Ichsan Amin)
Pakar kebijakan dan legislasi teknologi informasi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Danrivanto Budhijanto, mengatakan, arahan Presiden Jokowi terkait adaptasi kebiasaan baru perlu disikapi proporsional. Begitu pula dengan pemanfaatan teknologi yang membantu kebiasaan baru seperti masifnya aplikasi video conference, aplikasi film/video streaming berlangganan, serta aplikasi “televisi” streaming media sosial yang banyak digunakan oleh individu, komunitas, korporasi, maupun institusi. “Kita dihadapkan pada tantangan etika baru dan perlunya penyesuaian norma legislasi terhadap adaptasi kebiasaan baru,” tulis Danrivanto dalam siaran pers kemarin.
Mengutip pendiri World Economic Forum (WEF) Klaus Schwab, Danrivanto mengungkapkan bahwa dalam tulisan bertajuk "The Fourth Industrial Revolution", ada keprihatinan besar jika korporasi tidak dapat beradaptasi dengan kebiasaan baru tersebut. (Baca: Tiada Maaf Bagi Subur Sembiring)
Menurut Danrivanto, ada beberapa tantangan yang dihadapi antara lain kemungkinan pemerintah yang bisa saja gagal memanfaatkan teknologi baru, adanya ketidaksetaraan legislasi dan regulasi, pergeseran kekuasaan yang menciptakan masalah keamanan teknologi baru, serta fragmentasi masyarakat.
“Klaus Schwab memercayai bahwa era Revolusi Industri 4.0 dibangun di sekitar cyber-physical systems dengan tanpa ada batasan fisikal, digital, dan biologikal,” tambah Ketua Departemen Hukum Teknologi Informasi-Komunikasi & Kekayaan Intelektual dari Fakultas Hukum Unpad ini.
Danrivanto berpendapat, kebijakan dan legislasi eksisting terkait layanan digital pada kenyataannya belum berlaku secara proporsional bagi para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing dan media sosial. Demikian pula kepatuhan terhadap legislasi penyiaran, film, periklanan di Indonesia.
“Para penyedia aplikasi layanan film/video virtual asing dan media sosial juga melakukan kegiatan pengumpulan data, penelisikan data (data crawling); dan analisis perilaku interaksi data (data behavior analyzing) dari publik Indonesia. Dari sana, data pribadi pengguna aplikasi kemudian dimonetisasi menjadi keuntungan korporasi dan daya tarik bagi investor,” ujarnya.
Ihwal pentingnya pemanfaatan data juga disampaikan oleh Presiden Jokowi pada Pidato Kenegaraan di Gedung Parlemen pada 16 Agustus 2019 silam. Saat itu Presiden menegaskan bahwa Indonesia harus siap dalam menghadapi kolonialisme digital karena data diibaratkan sebagai komoditas menguntungkan layaknya minyak sehingga kondisi tersebut memunculkan istilah baru, yakni data is new oil. “Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita. Kini data lebih berharga dari minyak. Karenanya, Indonesia harus mewujudkan kedaulatan data,” ucap Jokowi. (Baca juga: Usut Penyelewengan dana Covid, Kapolri Bentuk Satgas Khusus)
Dengan demikian, setiap hak warga negara harus dilindungi oleh legislasi dalam adaptasi kebiasaan baru sebagai amanat kedaulatan virtual.
Sementara itu, pakar teknologi informasi dan komunikasi Heru Sutadi mengatakan, terkait kedaulatan data, pemerintah perlu mengurangi intensitas pembicaraan yang menyangkut kerahasiaan negara di video virtual maupun streaming. Apalagi saat ini kondisi work from home (WFH) sedang diterapkan menyambut masa kenormalan baru.
“Supaya tidak dimanfaatkan, karena tidak ada jaminan kalau berbagi data lewat video virtual atau streaming itu, bocor. Jadi jangan mengumbar data, atau minimalkan data-data yang di-share,” ujarnya kepada SINDO Media di Jakarta kemarin. (Lihat Foto: Hadapi Corona, Pemerintah Beri Stimulus Kredit UMKM)
Menurut dia, pemerintah atau pejabat yang berbagi data melalui video virtual hendaknya memiliki standar atau protap tersendiri. Dia beralasan, pengawasan beredarnya berbagai data, apakah data tersebut menyangkut kerahasiaan negara maupun data biasa masih sulit diawasi. “Pengawasannya pun saya kira belum maksimal, belum lagi pada penegakan hukumnya,” ujar dia.
Di sisi lain, edukasi yang dilakukan pemerintah maupun sektor yang berwenang juga masih minim. Perlu ada edukasi secara masif, apalagi di era new normal pemakaian layanan daring akan makin sering dan akan banyak digunakan.
Kementerian Komunikasi dan Informatika terus berupaya melakukan pengawasan terhadap perlindungan data masyarakat secara berkala. Hal itu dikatakan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate pada pertengahan Mei 2020.
“Kominfo dalam hal ini untuk memastikan bahwa hak-hak pemilik data terlindungi, kalau sampai diretas itu harus segera bisa dipulihkan agar mereka diberi tahu untuk melakukan pencegahan-pencegahan lebih lanjut,” tutur Johnny. (Baca juga: Monyet Mabuk di India Dihukum Penjara Seumur Hidup)
Sebagai regulator, Kementerian Kominfo melakukan pengawasan berdasarkan amanat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta peraturan pemerintah terkait dengan Penyelenggara Sistem Elektronik (PP PSE).
"Untuk memastikan hak pemilik data terlindungi, kalau sampai diretas harus dipulihkan, mereka diberi tahu untuk pencegahan lebih lanjut, harus diinformasikan dan diberikan asistensi apabila terjadi kerugian dan ketiga harus mengakhiri agar peretasan itu tidak berlanjut," jelasnya. (Ichsan Amin)
(ysw)