Ibu Kota Negara
loading...
A
A
A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PERPINDAHAN pusat pemerintahan dan politik dalam sejarah peradaban manusia itu wajar dan sering terjadi. Dalam segala bentuk pemerintahan dari kerajaan, dinasti, sampai konsep modern negara bangsa terjadi perpindahan pusat memerintah. Tentu istilah tidak sama antara ibu kota dalam konsep negara bangsa pasca Perang Dunia II dengan pusat pemerintahan era klasik, kuno, dan pra-sejarah.
Kita mengenal budaya kuno seperti Romawi yang mengatur dunia selama lebih dari dua milania dengan perpindahan pusat politik. Utamanya, dari Romawi Barat di Italia ke Romawi Timur Konstantinopel di Turki, perpindahan pusat politik, sosial dan agama. Perpindahan tersebut juga ditandai dengan penyebaran ajaran Kristiani di wilayah emperium itu.
Dalam konsep tempo dulu masa pra-industrial, pra-modern, dan pra-sejarah, pusat pemerintahan menyatu dengan pusat ekonomi, sosial, dan agama. Penguasa politik sekaligus mendominasi ekonomi dan mengatur agama. Penguasa mengendalikan total, tanpa oposisi. Inilah yang diusahakan untuk dipisahkan dalam konsep negara modern, dengan istilah sekularisasi.
Sekularisasi tidak hanya merujuk pada pemisahan geraja dan negara, masjid dan pemerintahan, pura dan politik, vihara dan kerajaan, atau raja dan pendeta, tetapi sekularisasi juga sekaligus pemisahan kepentingan-kepentingan. Ini konsep baru dan dijalankan sejak lahirnya negara bangsa seiring dengan konsep demokrasi modern.
Pemisahan kepentingan-kepentingan antar sektor diharapkan melahirkan konsentrasi dan profesionalisme dan menjaga tidak campur aduknya otoritas-otoritas. Otoritas yang menyatu bisa berbahaya dalam kehidupan modern ini, karena konsep negara modern tidak lagi ingin mengulang model kekuasaan pra-industrialisasi.
Otoritas dan kekuasaan dalam era kita sudah terbagi. Negarawan mengurus politik. Pengusaha mengurus ekonomi. Pemuka agama mengurus ibadah. Guru mengurus murid-murid.
Cendikiawan memberi pandangan-pandangan yang sehat. Rakyat bekerja secara profesional. Hukum berlaku bagi semuanya. Semua terpisah-pisah secara hukum dan ditaati. Itulah tujuan sekularisasi dalam demokrasi.
Otoritas politik idealnya dipisahkan dari otoritas yang lain. Tentu tempo dulu melihat otoritas agama yang hampir sepadan dengan politik. Tokoh agama masa lalu sangat kuat pengaruhnya karena sekaligus mengatur sosial, politik dan bahkan ekonomi.
Pemisahan menandai adanya pembagian ruang, peran, dan fungsi. Sampai era reformasi di Indonesia, pemisahan agama dan politik masih perlu diskusi lebih lanjut. Relasi antara ekonomi dan politik mendapat banyak sorotan.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
PERPINDAHAN pusat pemerintahan dan politik dalam sejarah peradaban manusia itu wajar dan sering terjadi. Dalam segala bentuk pemerintahan dari kerajaan, dinasti, sampai konsep modern negara bangsa terjadi perpindahan pusat memerintah. Tentu istilah tidak sama antara ibu kota dalam konsep negara bangsa pasca Perang Dunia II dengan pusat pemerintahan era klasik, kuno, dan pra-sejarah.
Kita mengenal budaya kuno seperti Romawi yang mengatur dunia selama lebih dari dua milania dengan perpindahan pusat politik. Utamanya, dari Romawi Barat di Italia ke Romawi Timur Konstantinopel di Turki, perpindahan pusat politik, sosial dan agama. Perpindahan tersebut juga ditandai dengan penyebaran ajaran Kristiani di wilayah emperium itu.
Dalam konsep tempo dulu masa pra-industrial, pra-modern, dan pra-sejarah, pusat pemerintahan menyatu dengan pusat ekonomi, sosial, dan agama. Penguasa politik sekaligus mendominasi ekonomi dan mengatur agama. Penguasa mengendalikan total, tanpa oposisi. Inilah yang diusahakan untuk dipisahkan dalam konsep negara modern, dengan istilah sekularisasi.
Sekularisasi tidak hanya merujuk pada pemisahan geraja dan negara, masjid dan pemerintahan, pura dan politik, vihara dan kerajaan, atau raja dan pendeta, tetapi sekularisasi juga sekaligus pemisahan kepentingan-kepentingan. Ini konsep baru dan dijalankan sejak lahirnya negara bangsa seiring dengan konsep demokrasi modern.
Pemisahan kepentingan-kepentingan antar sektor diharapkan melahirkan konsentrasi dan profesionalisme dan menjaga tidak campur aduknya otoritas-otoritas. Otoritas yang menyatu bisa berbahaya dalam kehidupan modern ini, karena konsep negara modern tidak lagi ingin mengulang model kekuasaan pra-industrialisasi.
Otoritas dan kekuasaan dalam era kita sudah terbagi. Negarawan mengurus politik. Pengusaha mengurus ekonomi. Pemuka agama mengurus ibadah. Guru mengurus murid-murid.
Cendikiawan memberi pandangan-pandangan yang sehat. Rakyat bekerja secara profesional. Hukum berlaku bagi semuanya. Semua terpisah-pisah secara hukum dan ditaati. Itulah tujuan sekularisasi dalam demokrasi.
Otoritas politik idealnya dipisahkan dari otoritas yang lain. Tentu tempo dulu melihat otoritas agama yang hampir sepadan dengan politik. Tokoh agama masa lalu sangat kuat pengaruhnya karena sekaligus mengatur sosial, politik dan bahkan ekonomi.
Pemisahan menandai adanya pembagian ruang, peran, dan fungsi. Sampai era reformasi di Indonesia, pemisahan agama dan politik masih perlu diskusi lebih lanjut. Relasi antara ekonomi dan politik mendapat banyak sorotan.