Kontroversi Menghidupkan Malam Nishfu Sya’ban
loading...
A
A
A
Abdul Jalil
Widyaiswsara Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Kementerian Agama
ADA beberapa hadis yang menjelaskan perihal keutamaan malam Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Syakban) yang dikutip oleh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubariy dalam kitab Durrat al-Nashihin fi al-Wa’zhi wa al-Irsyad. Hadis-hadis yang populer di kalangan masyarakat muslim itu antara lain:
“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Jibril mendatangiku pada malam Nishfu Sya’ban dan ia berkata: wahai Muhammad, ini adalah malam yang di dalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan pintu-pintu rahmat. Karena itu bangun dan salatlah serta angkatlah kepala dan kedua tanganmu ke langit. Lalu aku bertanya, wahai Jibril, malam apakah ini? Jibril menjawab, ini adalah malam yang di dalamnya dibukakan tiga ratus pintu rahmat. Allah SWT akan mengampuni semua orang yang tidak berbuat kemusyrikan, kecuali tukang sihir, dukun (yang mengaku tahu perihal gaib), orang yang suka bermusuhan, peminum khamr, pelaku zina, pemakan riba, orang yang durhaka kepada kedua orang tua, orang yang suka mengadu domba, dan yang memutuskan silaturahmi. Sesungguhnya mereka itu tidak akan diampuni oleh Allah hingga bertobat dan meninggalkan seluruh perbuatan tercela yang telah disebutkan.
Kemudian Nabi saw keluar, beliau salat dan menangis dalam sujudnya sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari siksa dan murka-Mu serta aku tidak menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu, segala puji milik-Mu hingga Engkau rida” (Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubariy, Durrat al-Nashihin fi al-wa’zhi wa al-Irsyad, Beirut: Dar al-Fikr, tth., h. 218).
Diceritakan pula oleh Ali karramallahu wajhah tentang penegasan Rasulullah saw agar memperhatikan malam Nishfu Sya’ban sebagai berikut: “Apabila datang malam Nishfu Sya’ban, maka bangunlah kalian pada malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia di saat itu sejak matahari terbenam sampai terbit fajar seraya berfirman: siapa saja yang meminta, pasti Aku akan memberi; siapa saja yang memohon ampun, pasti Aku akan mengampuni; dan siapa saja yang memohon dikaruniai rezeki, pasti Aku menganugerahkannya” (Al-Khaubariy, 233).
Syekh Mansur Ali Nashif mengatakan bahwa sanad hadis yang diceritakan sahabat Ali ra itu digolongkan daif (lemah). Mansur Ali Nashif adalah seorang ulama terkemuka Al-Azhar di Kairo. Analisis terhadap kedaifan hadis yang bersumber dari sahabat Ali ditulisnya dalam kitab Al-Taj jilid 2, hlm. 93. Karenanya hadis-hadis mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban tidak dapat dijadikan dasar hukum. Meski demikian, sepanjang hadis yang bersangkutan bersifat al-targhib atau dorongan agar gemar melakukan amal saleh, hal itu dianggap baik untuk dikerjakan. Pendapat ini didukung oleh golongan mayoritas ulama.
Pandangan Ulama
Di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan (khilafiyah), apakah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berbagai aktivitas keagamaan seperti salat sunat, membaca Surat Yasin, dan zikir secara berjamaah di masjid-masjid maupun musala-musala termasuk ibadah atau bidah?
Mayoritas ulama yang bermukim di Hijaz (Mekkah) mengingkarinya. Mereka menganggap bahwa seluruh aktivitas yang dikerjakan di malam Nishfu Sya’ban untuk memuliakan dan menghidupkan malam tersebut adalah bidah. Menurut aL-Syamany, bidah adalah “sesuatu yang diada-adakan yang berlawanan dengan yang haq (benar) yang telah diterima dari Rasulullah saw, baik berupa ilmu, amal, ataupun keadaan. Diadakan itu karena suatu keterangan yang samar atau dianggap baik dan dipandang sebagai ajaran agama yang lurus” (M. Hasbi ash-Shiddieqy, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet. IV, hlm. 45).
Sahabat kenamaan yang dikenal sebagai cendekiawan muda, berbudi pekerti sangat luhur, perawi banyak hadis, dan putra Khalifah Umar bin Khattab, yakni Abdullah bin Umar ra, mengatakan Rasulullah saw bersabda: “Ada lima malam yang tidak akan ditolak permohonan atau doa seseorang. Lima malam itu ialah: malam Jumat, malam sepuluh bulan Muharam, malam Nishfu Sya’ban, serta malam Idulfitri dan Iduladha” (Al-Khaubariy, 235).
Al-Auza’i, seorang imam, ulama, dan ahli fikih di Negeri Syam berpendapat, dimakruhkan berkumpul dalam jumlah jamaah yang besar pada malam Nishfu Sya’ban di masjid-masjid untuk mengerjakan salat sunat sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang. Para ulama ahli fikih telah sepakat memakruhkan melakukan salat sunat secara berjamaah selain dari salat tarawih, istisqa (salat meminta hujan), dan salat kusuf (gerhana matahari dan bulan) (Al-Khaubariy, 220).
Widyaiswsara Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan, Kementerian Agama
ADA beberapa hadis yang menjelaskan perihal keutamaan malam Nishfu Sya’ban (pertengahan bulan Syakban) yang dikutip oleh Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubariy dalam kitab Durrat al-Nashihin fi al-Wa’zhi wa al-Irsyad. Hadis-hadis yang populer di kalangan masyarakat muslim itu antara lain:
“Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Jibril mendatangiku pada malam Nishfu Sya’ban dan ia berkata: wahai Muhammad, ini adalah malam yang di dalamnya dibukakan pintu-pintu langit dan pintu-pintu rahmat. Karena itu bangun dan salatlah serta angkatlah kepala dan kedua tanganmu ke langit. Lalu aku bertanya, wahai Jibril, malam apakah ini? Jibril menjawab, ini adalah malam yang di dalamnya dibukakan tiga ratus pintu rahmat. Allah SWT akan mengampuni semua orang yang tidak berbuat kemusyrikan, kecuali tukang sihir, dukun (yang mengaku tahu perihal gaib), orang yang suka bermusuhan, peminum khamr, pelaku zina, pemakan riba, orang yang durhaka kepada kedua orang tua, orang yang suka mengadu domba, dan yang memutuskan silaturahmi. Sesungguhnya mereka itu tidak akan diampuni oleh Allah hingga bertobat dan meninggalkan seluruh perbuatan tercela yang telah disebutkan.
Kemudian Nabi saw keluar, beliau salat dan menangis dalam sujudnya sambil berdoa: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari siksa dan murka-Mu serta aku tidak menghitung pujian atas-Mu sebagaimana Engkau memuji diri-Mu, segala puji milik-Mu hingga Engkau rida” (Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubariy, Durrat al-Nashihin fi al-wa’zhi wa al-Irsyad, Beirut: Dar al-Fikr, tth., h. 218).
Diceritakan pula oleh Ali karramallahu wajhah tentang penegasan Rasulullah saw agar memperhatikan malam Nishfu Sya’ban sebagai berikut: “Apabila datang malam Nishfu Sya’ban, maka bangunlah kalian pada malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia di saat itu sejak matahari terbenam sampai terbit fajar seraya berfirman: siapa saja yang meminta, pasti Aku akan memberi; siapa saja yang memohon ampun, pasti Aku akan mengampuni; dan siapa saja yang memohon dikaruniai rezeki, pasti Aku menganugerahkannya” (Al-Khaubariy, 233).
Syekh Mansur Ali Nashif mengatakan bahwa sanad hadis yang diceritakan sahabat Ali ra itu digolongkan daif (lemah). Mansur Ali Nashif adalah seorang ulama terkemuka Al-Azhar di Kairo. Analisis terhadap kedaifan hadis yang bersumber dari sahabat Ali ditulisnya dalam kitab Al-Taj jilid 2, hlm. 93. Karenanya hadis-hadis mengenai keutamaan malam Nishfu Sya’ban tidak dapat dijadikan dasar hukum. Meski demikian, sepanjang hadis yang bersangkutan bersifat al-targhib atau dorongan agar gemar melakukan amal saleh, hal itu dianggap baik untuk dikerjakan. Pendapat ini didukung oleh golongan mayoritas ulama.
Pandangan Ulama
Di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan (khilafiyah), apakah menghidupkan malam Nishfu Sya’ban dengan berbagai aktivitas keagamaan seperti salat sunat, membaca Surat Yasin, dan zikir secara berjamaah di masjid-masjid maupun musala-musala termasuk ibadah atau bidah?
Mayoritas ulama yang bermukim di Hijaz (Mekkah) mengingkarinya. Mereka menganggap bahwa seluruh aktivitas yang dikerjakan di malam Nishfu Sya’ban untuk memuliakan dan menghidupkan malam tersebut adalah bidah. Menurut aL-Syamany, bidah adalah “sesuatu yang diada-adakan yang berlawanan dengan yang haq (benar) yang telah diterima dari Rasulullah saw, baik berupa ilmu, amal, ataupun keadaan. Diadakan itu karena suatu keterangan yang samar atau dianggap baik dan dipandang sebagai ajaran agama yang lurus” (M. Hasbi ash-Shiddieqy, Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet. IV, hlm. 45).
Sahabat kenamaan yang dikenal sebagai cendekiawan muda, berbudi pekerti sangat luhur, perawi banyak hadis, dan putra Khalifah Umar bin Khattab, yakni Abdullah bin Umar ra, mengatakan Rasulullah saw bersabda: “Ada lima malam yang tidak akan ditolak permohonan atau doa seseorang. Lima malam itu ialah: malam Jumat, malam sepuluh bulan Muharam, malam Nishfu Sya’ban, serta malam Idulfitri dan Iduladha” (Al-Khaubariy, 235).
Al-Auza’i, seorang imam, ulama, dan ahli fikih di Negeri Syam berpendapat, dimakruhkan berkumpul dalam jumlah jamaah yang besar pada malam Nishfu Sya’ban di masjid-masjid untuk mengerjakan salat sunat sebagaimana yang terjadi di zaman sekarang. Para ulama ahli fikih telah sepakat memakruhkan melakukan salat sunat secara berjamaah selain dari salat tarawih, istisqa (salat meminta hujan), dan salat kusuf (gerhana matahari dan bulan) (Al-Khaubariy, 220).