Dekan UIN Jakarta Akui Aspek Keterbacaan Logo Halal Baru Tidak Dominan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta A Tholabi Kharlie menanggapi polemik perubahan logo label halal Indonesia yang dianggap tidak menunjukkan kata halal dengan jelas. Dia menjelaskan logo baru tersebut menggunakan khat Kufi yang memang lebih bertujuan untuk kepentingan estetika.
"Oleh karena itu aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan. Terlebih ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan. Sedangkan logo halal yang lama menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca," kata Tholabi dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/3/2022).
Tholabi menyampaikan, berdasarkan sisi kaidah khat maupun kaidah imla'i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut. Karena semua huruf tertulis lengkap, ha'-lam-alif-lam dan tentu dalam bentuk atau model khat Kufi yang tidak rigid secara kaidah khat. "Meskipun tentu saja tidaklah sempurna untuk ukuran khat Kufi yang ideal,” ujarnya.
Terkait respons publik terhadap logo halal yang baru, kata Tholabi hal itu menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk semakin masif menyosialisasikan kepada masyarakat secara luas.
"Reaksi publik ini harus ditangkap positif oleh BPJPH dan pemangku kepentingan untuk semakin gencar menjelaskan kepada publik soal logo halal yang baru ini," kata Tholabi.
Lebih lanjut, Tholabi mengatakan bahwa perpindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia yang mana sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
"Perpindahan sertifkasi halal dari MUI ke negara melalui BPJPH ini justru menjadi milestone bagi ekosistem industri halal di Indonesia. Secara teori dan praksis, industri halal akan semakin terkonsolidasi dengan baik yang ujungnya masyarakat dan pelaku industri semakin baik," ujar Tholabi.
Peran MUI, lanjut Tholabi tetap dipertahankan dalam urusan penetapan kehalalan sebuah produk.
"Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerjasama dalam penetapan kehalalan produk," kata salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini.
Di mana dalam Pasal 33 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditegaskan tentang penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui sidang Fatwa Halal dengan paling lama selama 3 (tiga) hari kerja.
"Ini saya kira kemajuan luar biasa, fatwa halal MUI dibunyikan dalam sebuah hukum negara yang mengikat semuanya," kata dia.
"Oleh karena itu aspek keterbacaan atau kejelasan tulisan menjadi tidak dominan. Terlebih ini digunakan untuk logo yang juga mempertimbangkan aspek kepantasan, keserasian, dan keindahan. Sedangkan logo halal yang lama menggunakan jenis khat Naskhi. Khat yang fungsional tulis-baca," kata Tholabi dalam keterangan tertulisnya, Senin (14/3/2022).
Tholabi menyampaikan, berdasarkan sisi kaidah khat maupun kaidah imla'i, tidak ada yang keliru dalam penulisan logo tersebut. Karena semua huruf tertulis lengkap, ha'-lam-alif-lam dan tentu dalam bentuk atau model khat Kufi yang tidak rigid secara kaidah khat. "Meskipun tentu saja tidaklah sempurna untuk ukuran khat Kufi yang ideal,” ujarnya.
Terkait respons publik terhadap logo halal yang baru, kata Tholabi hal itu menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi BPJPH untuk semakin masif menyosialisasikan kepada masyarakat secara luas.
"Reaksi publik ini harus ditangkap positif oleh BPJPH dan pemangku kepentingan untuk semakin gencar menjelaskan kepada publik soal logo halal yang baru ini," kata Tholabi.
Lebih lanjut, Tholabi mengatakan bahwa perpindahan kewenangan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH menjadi titik baru dalam menciptakan ekosistem halal di Indonesia yang mana sebagai negara Muslim terbesar di dunia.
"Perpindahan sertifkasi halal dari MUI ke negara melalui BPJPH ini justru menjadi milestone bagi ekosistem industri halal di Indonesia. Secara teori dan praksis, industri halal akan semakin terkonsolidasi dengan baik yang ujungnya masyarakat dan pelaku industri semakin baik," ujar Tholabi.
Peran MUI, lanjut Tholabi tetap dipertahankan dalam urusan penetapan kehalalan sebuah produk.
"Salah besar jika membuat narasi bahwa MUI tidak lagi berperan dalam sertifikasi halal. Dalam Pasal 10 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebutkan BPJPH dan MUI melakukan kerjasama dalam penetapan kehalalan produk," kata salah satu anggota Komisi Fatwa MUI Pusat ini.
Di mana dalam Pasal 33 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditegaskan tentang penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI melalui sidang Fatwa Halal dengan paling lama selama 3 (tiga) hari kerja.
"Ini saya kira kemajuan luar biasa, fatwa halal MUI dibunyikan dalam sebuah hukum negara yang mengikat semuanya," kata dia.
(muh)