Paus Fransiskus dan Keberagaman Indonesia

Jum'at, 11 Maret 2022 - 16:39 WIB
loading...
Paus Fransiskus dan Keberagaman Indonesia
Wildani Hefni (Foto: Ist)
A A A
Wildani Hefni
Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

MENTERI Agama Yaqut Cholil Qoumas berencana mengundang pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus untuk melihat keberagaman Indonesia. Yaqut yang akrab disapa Gus Men ingin menghadirkan Paus Fransiskus untuk menyapa umat Katolik Indonesia secara langsung (KORAN SINDO, 8/2).

Setelah dilempar ke publik, inisiasi Gus Men untuk menghadirkan Paus Fransiskus ke Indonesia menuai tanggapan beragam. Ada pihak-pihak yang merasa terganggu atas inisiatif Gus Men ini. Ada pula orang yang terusik. Lalu bertanya, apa signifikansi menghadirkan Paus Fransiskus? Pertanyaan ini dimunculkan seolah-olah tidak pernah mengetahui bahwa ada persoalan-persolan laten tentang kehidupan keberagamaan di republik ini.

Kita perlu naik kelas untuk berlabuh pada rasio kedewasaan beragama. Keinginan Gus Men tentu sangat relevan dengan kondisi mutakhir keberagamaan di Indonesia. Gus Men tetap kokoh dan gigih pada upaya penguatan moderasi beragama, yang di dalamnya bermuara pada kerukunan umat beragama. Persaudaraan dan kerukunan menjadi kunci dalam balutan kemanusiaan. Kehadiran Paus Fransiskus, setidaknya, diharapkan dapat menjadi oase untuk mengokohkan derajat kemanusiaan dalam tali kerukunan. Pertemuan Paus Fransiskus dengan pemuka agama juga menjadi jembatan pembuka rongga dialog yang terbuka dan substantif.

Kunci kerukunan umat beragama di Indonesia sejatinya bertumpu pada dialog. Dialog akan membuka tabir kedamaian. Kedamaian dapat tercapai jika bisa saling memahami dan menghormati masing-masing pihak. Agama mengajarkan untuk saling terbuka dalam giat menata kerukunan. Sebagaimana diungkap Karen Armstrong dalam buku yang baru terbit berjudul The Lost Art of Scripture: Menikmati Sunyi, Bunyi, dan Visi dalam Menghayati Pesan Agama (2021). Armstrong menyebut hakikat agama mengajarkan untuk hidup berdampingan dan penuh kasih sayang tanpa melibatkan ego-sektoral yang cenderung diskriminatif.

Mengelola Keragaman
Selama ini, keragaman di republik ini mampu dikelola dengan baik. Kita memiliki modal sosial yang sangat kuat untuk menjaga kerukunan. Keragaman yang ada tidak sepenuhnya membawa dalam kubangan kekacauan dan kekerasan. Tugas kita bersama untuk menjadikan keragaman sebagai modal sosial. Keragaman menjadi sumber daya. Keragaman dapat membuka cakrawala dan memperluas pengetahuan.

Indonesia berada dalam lautan keragaman, mulai dari budaya, agama, ras, etnis, suku, dan sebagainya. Menghadapi keragaman secara keliru dapat menyebabkan kehancuran. Sementara realitas keragaman Indonesia di mata dunia dikenal sebagai benteng kebebasan (bastion of freedom), rumah toleransi, kerukunan, dan jantung perdamaian dunia. Penguatan moderasi beragama menjadi penopang terhadap realitas multikutural itu.

Realitas itu perlu ditunjukkan kepada siapapun, termasuk kepada Paus Fransiskus untuk menegaskan tentang kehidupan keragaman di Indonesia yang selama ini berdamai dengan kenyataan. Sebagaimana yang ditegaskan Bernard Adeney-Risakotta dalam Dealing with Diversity: Religion, Globalization, Violence, Gender and Disaster in Indonesia (2012), keragaman di Indonesia berwujud dalam ruang negosiasi. Bernegosiasi dengan keragaman berarti mempertimbangkan komitmen pelbagai kelompok dan individu yang berbeda dan menegosiasikan solusi secara bersama.

Dialog Keberagamaan
Dalam realitas kehidupan keberagamaan, kita menjumpai dua arus paradigma yang berbanding arah. Pertama, praktik beragama yang substantif-inklusif. Berkaitan dengan ini, nalar beragama yang digunakan berpijak pada pandangan moderat, kontekstual, dan menghargai perbedaan. Kedua, praktik beragama yang eksklusif-legal-formalistik. Pada kelompok ini, yang nampak adalah hasrat dan arogansi ananiyah-hizbiyah (fanatisme dan egoisme kelompok). Tafsir keagamaan yang lahir lebih condong pada kekuatan absolutisme keagamaan yang tunggal. Sementara pihak yang lain, dianggap salah dan kemudian dilabeli sebagai musuh.

Salah satu cara mengungkapkan kedamaian sekaligus meneguhkannya adalah dengan cara mengintensifkan dialog. Dialog menjadi arena terbuka sekaligus ruang teatrikal untuk mencari titik temu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1180 seconds (0.1#10.140)