Paus Fransiskus dan Keberagaman Indonesia
loading...
A
A
A
Saya teringat pada disertasi kolega saya, Paulus Tasik Galle’, yang baru dipertahankan dalam ujian promosi Doktor 2 Februari 2022 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Konstruksi Pemikiran Hans Kung tentang Dialog Katolik dengan Islam dan Relevansinya untuk Konteks Indonesia. Disertasi Paulus menyimpulkan bahwa pendekatan otokritik beragama Hans Kung membuka pintu dialog Katolik (Barat) dengan Islam yang lebih adil, seimbang dan bijaksana. Titik perjumpaan Katolik dengan Islam ditemukan pada dimensi keberagamaan dan etik global dengan perspektif dan horizon yang sama.
Bagi Kung, dialog menjadi pijakan paling penting melampaui presisi akademik dan teologi. Dalam dialog, suasana yang terbangun adalah keterbukaan. Sementara anggapan terhadap yang berbeda diletakkan dalam balutan penghormatan. Yang dibutuhkan adalah kerelaan diri untuk menanggalkan egoisme klaim kebenaran ajaran agama masing-masing. Perbedaan agama tidak harus disikapi dengan kucuran darah dalam derita konflik berkepanjangan. Tesis Hans Kung masih sangat relevan untuk dijadikan patokan, bahwa tidak akan ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian antaragama, dan tidak akan tercipta perdamaian antaragama, tanpa dialog antaragama.
Mengamini Hans Kung, Jocelyn Maclure dan Charles Taylor dalam Secularism and Freedom of Conscience (2011) juga menekankan pentingnya komponen komitmen yang memberi makna (meaning giving commitment) pada kerukunan. Prasyarat untuk dapat mengokohkan kerukunan harus ditopang oleh pemikiran yang jernih (cogency), keseriusan (seriousness), dan keutuhan (cohesion).
Kejernihan berfikir menjadi bintang pemandu untuk sama-sama menundukkan pikiran dalam usaha kolektif memanusiakan manusia sebagai bagian dari pengamalan cara beragama. Hal ini membutuhkan keseriusan, yang salah satunya dapat diwujudkan dengan dialog sebagai pelempang jalan tumbuhnya perdamaian. Sebagai tamsil, dialog lintas agama dapat menjadi jalinan perdamaian dunia, yang dapat dimulai dari perdamaian agama-agama melalui pintu dialog.
Selain itu, keutuhan juga dapat menjadi pijakan dasar bahwa seruan untuk hidup dalam balutan kasih sayang antar sesama menjadi keniscayaan di tengah realitas multikulrural. Dibutuhkan suara dan ikhtiar kolektif untuk menyapa kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang harmonis, rukun, damai, dan toleran, melalui jalinan hubungan antar agama, antar tokoh agama, dan antar pemeluk agama.
Bagi Kung, dialog menjadi pijakan paling penting melampaui presisi akademik dan teologi. Dalam dialog, suasana yang terbangun adalah keterbukaan. Sementara anggapan terhadap yang berbeda diletakkan dalam balutan penghormatan. Yang dibutuhkan adalah kerelaan diri untuk menanggalkan egoisme klaim kebenaran ajaran agama masing-masing. Perbedaan agama tidak harus disikapi dengan kucuran darah dalam derita konflik berkepanjangan. Tesis Hans Kung masih sangat relevan untuk dijadikan patokan, bahwa tidak akan ada perdamaian antarbangsa, tanpa perdamaian antaragama, dan tidak akan tercipta perdamaian antaragama, tanpa dialog antaragama.
Mengamini Hans Kung, Jocelyn Maclure dan Charles Taylor dalam Secularism and Freedom of Conscience (2011) juga menekankan pentingnya komponen komitmen yang memberi makna (meaning giving commitment) pada kerukunan. Prasyarat untuk dapat mengokohkan kerukunan harus ditopang oleh pemikiran yang jernih (cogency), keseriusan (seriousness), dan keutuhan (cohesion).
Kejernihan berfikir menjadi bintang pemandu untuk sama-sama menundukkan pikiran dalam usaha kolektif memanusiakan manusia sebagai bagian dari pengamalan cara beragama. Hal ini membutuhkan keseriusan, yang salah satunya dapat diwujudkan dengan dialog sebagai pelempang jalan tumbuhnya perdamaian. Sebagai tamsil, dialog lintas agama dapat menjadi jalinan perdamaian dunia, yang dapat dimulai dari perdamaian agama-agama melalui pintu dialog.
Selain itu, keutuhan juga dapat menjadi pijakan dasar bahwa seruan untuk hidup dalam balutan kasih sayang antar sesama menjadi keniscayaan di tengah realitas multikulrural. Dibutuhkan suara dan ikhtiar kolektif untuk menyapa kemanusiaan dalam membangun masyarakat yang harmonis, rukun, damai, dan toleran, melalui jalinan hubungan antar agama, antar tokoh agama, dan antar pemeluk agama.
(bmm)