Zona Larangan Terbang Tidak Diterapkan, Kapan Perang Rusia vs Ukraina Berakhir?
loading...
A
A
A
Revy Marlina DEA
*Pengamat kebijakan luar negeri Rusia dan resolusi konflik di Post-Soviet Space dan Yaman, lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes
MEMASUKI hari ke-15 perang antara Rusia dan Ukraina, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus-menerus meminta NATO untuk menerapkan no fly-zone atau zona larangan terbang di langit Ukraina. Zelensky berharap dengan ditutupnya langit Ukraina, tidak terdapat lagi serangan udara dari Rusia dan yang terpenting pengevakuasian korban perang dan bantuan kemanusian yang lebih efektif akan terwujud.
Dikutip melalui Al-Jazeera, Peter Harris yang merupakan seorang profesor ilmu politik di Colorado State University, menjelaskan bahwa no fly-zone adalah "ruang geografis yang ditentukan di mana jenis penerbangan tertentu" dilarang. Namun, tak berhenti sampai di situ, aktor-dalam hal ini negara atau organisasi aliansi militer- yang mendeklarasikan no-fly zone harus memiliki kekuatan militer untuk menerapkan aturan ini. Jika seandainya terdapat pelanggaran dari pihak yang berperang, pihak yang mendeklarasikan no-fly zone harus menembak jenis pesawat apa pun yang melanggar ketentuan ini.
Mungkin bagi Zelensky permintaan ini tidak berlebihan, mengingat dalam beberapa kesempatan NATO telah mengimplementasikan no fly-zone di masa lalu. Sebut saja, Perang Teluk 1 di Irak pada tahun 1992, di Bosnia pada tahun 1993 untuk melindungi serangan dari militer Bosnia-Serbia, dan yang terakhir di Libya pada 2011. Namun faktanya, NATO tidak setuju akan permintaan Zelensky mengingat konteks yang terjadi.
Putin dalam setiap kesempatan mengatakan bahwa negaranya akan mempertimbangkan deklarasi pihak ketiga tentang no-fly zone di atas Ukraina sebagai partisipasi dalam perang di sana. NATO hingga saat ini hanya mengimbau Putin untuk menghentikan perang, namun untuk maju lebih jauh dan ikut intervensi dalam peperangan ini tidak dilakukan mengingat yang dihadapi oleh NATO adalah Rusia yang merupakan salah satu negara dengan kekuatan senjata nuklir terbesar. Jika konflik secara langsung terjadi antara Rusia dan NATO, maka hal yang akan ditakutkan banyak pihak, yakni konfrontasi secara langsung antara pihak yang memiliki senjata nuklir terbesar di dunia, yang dapat berpotensi penggunaan senjata nuklir tak dapat dihindari.
Tentunya, Ukraina berharap sokongan dari NATO untuk menghentikan invasi Rusia. Walau Rusia telah dikecam oleh banyak pihak dan dijatuhkan sanksi ekonomi oleh sebagian besar negara-negara barat, namun tidak terdapat niatan dari Rusia hingga saat ini untuk berhenti menyerang Ukraina. Hal ini kemudian mengarah pada satu titik: sampai kapan perang ini akan berakhir dan mungkinkah jalur negosiasi melalui peace talk dilakukan untuk menghentikan perang?
Berbicara mengenai negosiasi merupakan salah satu langkah yang sebenarnya memungkinkan untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina. Walau sebelumnya sudah terdapat putaran kedua peace talk atau pembicaraan damai pada awal Maret lalu dan tidak berhasil, namun setidaknya sudah terdapat upaya bagi pihak yang berperang duduk di satu meja. Perang akan berakhir jika tercapainya negosiasi antara pihak-pihak yang berperang dimana keinginannya terakomodir dan terpenuhi.
Dalam hal ini sebenarnya keinginan Rusia meminta pihak Barat untuk tidak me-westernisasi Ukraina dan memperluas pengaruh NATO ke Eropa Timur sudah cukup lama didengungkan. Semenjak jatuhnya Uni Soviet, Rusia meminta NATO tidak menyentuh wilayah bekas Uni Soviet, dalam hal ini baik di wilayah Eropa, Kaukasus, dan Asia Tengah. Hal ini dilakukan karena Rusia ingin tetap wilayah bekas Uni Soviet ini berada pada radarnya. Namun, seiring berjalannya waktu memang ide-ide Barat seperti demokrasi dan pasar bebas misalnya tidak dapat dihalau di wilayah ini, terlebih Ukraina yang berbatasan langsung dengan negara- negara anggota Uni Eropa.
John Mearsheimer, seorang ilmuwan politik dan hubungan internasional Amerika Serikat, pada 2014 berpendapat melalui artikelnya yang berjudul Why the Ukraine Crisis Is the West's Fault, bahwa krisis yang terjadi di Ukraina merupakan kesalahan pihak Barat yang tidak mendengar keinginan Rusia untuk tidak memperluas pengaruh NATO ke wilayah bekas Uni Soviet. Dalam hal ini tampaknya Ukraina tidak memiliki kebebasan untuk menentukan arah politiknya karena posisi geografis di antara pihak Barat dan Rusia.
Ukraina sendiri telah mengalami transisi perubahan haluan kebijakan politik berdasar pada pemimpinnya, baik pro-Rusia maupun pro-Barat. Menariknya, rakyat Ukraina memang lebih condong ke Barat daripada Rusia mengingat kondisi ekonomi yang ditawarkan oleh pihak Barat lebih menguntungkan daripada Rusia. Walaupun hanya berdasarkan satu aspek, bentuk kerja sama yang ditawarkan oleh UE dengan Ukraina cukup menjanjikan, seperti the Partnership and Cooperation Agreement pada 1994, lalu pada tahun 2004 Ukraina masuk dalam the European Neighborhood Program dan the Eastern Partnership pada tahun 2009, dan pada tahun 2014, The Association Agreement.
Solusi yang ditawarkan, masih dari Mearsheimer, adalah dengan tidak memprovokasi Rusia dengan tawaran-tawaran yang diberikan oleh Barat terhadap Ukraina, namun dengan menjadikan Ukraina sebagai buffer zone yang netral tidak memihak Barat maupun Rusia, layaknya posisi Austria pada saat perang dingin, sembari pihak Barat memperbaiki hubungannya dengan Rusia. Namun, dengan perang yang masih berkecamuk hingga saat ini dan memakan ribuan korban jiwa, apakah rakyat Ukraina bersedia untuk tidak semakin beralih ke pihak Barat?
*Pengamat kebijakan luar negeri Rusia dan resolusi konflik di Post-Soviet Space dan Yaman, lulusan Master bidang Diplomasi dan Negosiasi Strategik Universitas Paris Saclay dan Hukum Internasional Universitas Grenoble Alpes
MEMASUKI hari ke-15 perang antara Rusia dan Ukraina, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky terus-menerus meminta NATO untuk menerapkan no fly-zone atau zona larangan terbang di langit Ukraina. Zelensky berharap dengan ditutupnya langit Ukraina, tidak terdapat lagi serangan udara dari Rusia dan yang terpenting pengevakuasian korban perang dan bantuan kemanusian yang lebih efektif akan terwujud.
Dikutip melalui Al-Jazeera, Peter Harris yang merupakan seorang profesor ilmu politik di Colorado State University, menjelaskan bahwa no fly-zone adalah "ruang geografis yang ditentukan di mana jenis penerbangan tertentu" dilarang. Namun, tak berhenti sampai di situ, aktor-dalam hal ini negara atau organisasi aliansi militer- yang mendeklarasikan no-fly zone harus memiliki kekuatan militer untuk menerapkan aturan ini. Jika seandainya terdapat pelanggaran dari pihak yang berperang, pihak yang mendeklarasikan no-fly zone harus menembak jenis pesawat apa pun yang melanggar ketentuan ini.
Mungkin bagi Zelensky permintaan ini tidak berlebihan, mengingat dalam beberapa kesempatan NATO telah mengimplementasikan no fly-zone di masa lalu. Sebut saja, Perang Teluk 1 di Irak pada tahun 1992, di Bosnia pada tahun 1993 untuk melindungi serangan dari militer Bosnia-Serbia, dan yang terakhir di Libya pada 2011. Namun faktanya, NATO tidak setuju akan permintaan Zelensky mengingat konteks yang terjadi.
Putin dalam setiap kesempatan mengatakan bahwa negaranya akan mempertimbangkan deklarasi pihak ketiga tentang no-fly zone di atas Ukraina sebagai partisipasi dalam perang di sana. NATO hingga saat ini hanya mengimbau Putin untuk menghentikan perang, namun untuk maju lebih jauh dan ikut intervensi dalam peperangan ini tidak dilakukan mengingat yang dihadapi oleh NATO adalah Rusia yang merupakan salah satu negara dengan kekuatan senjata nuklir terbesar. Jika konflik secara langsung terjadi antara Rusia dan NATO, maka hal yang akan ditakutkan banyak pihak, yakni konfrontasi secara langsung antara pihak yang memiliki senjata nuklir terbesar di dunia, yang dapat berpotensi penggunaan senjata nuklir tak dapat dihindari.
Tentunya, Ukraina berharap sokongan dari NATO untuk menghentikan invasi Rusia. Walau Rusia telah dikecam oleh banyak pihak dan dijatuhkan sanksi ekonomi oleh sebagian besar negara-negara barat, namun tidak terdapat niatan dari Rusia hingga saat ini untuk berhenti menyerang Ukraina. Hal ini kemudian mengarah pada satu titik: sampai kapan perang ini akan berakhir dan mungkinkah jalur negosiasi melalui peace talk dilakukan untuk menghentikan perang?
Berbicara mengenai negosiasi merupakan salah satu langkah yang sebenarnya memungkinkan untuk menghentikan perang antara Rusia dan Ukraina. Walau sebelumnya sudah terdapat putaran kedua peace talk atau pembicaraan damai pada awal Maret lalu dan tidak berhasil, namun setidaknya sudah terdapat upaya bagi pihak yang berperang duduk di satu meja. Perang akan berakhir jika tercapainya negosiasi antara pihak-pihak yang berperang dimana keinginannya terakomodir dan terpenuhi.
Dalam hal ini sebenarnya keinginan Rusia meminta pihak Barat untuk tidak me-westernisasi Ukraina dan memperluas pengaruh NATO ke Eropa Timur sudah cukup lama didengungkan. Semenjak jatuhnya Uni Soviet, Rusia meminta NATO tidak menyentuh wilayah bekas Uni Soviet, dalam hal ini baik di wilayah Eropa, Kaukasus, dan Asia Tengah. Hal ini dilakukan karena Rusia ingin tetap wilayah bekas Uni Soviet ini berada pada radarnya. Namun, seiring berjalannya waktu memang ide-ide Barat seperti demokrasi dan pasar bebas misalnya tidak dapat dihalau di wilayah ini, terlebih Ukraina yang berbatasan langsung dengan negara- negara anggota Uni Eropa.
John Mearsheimer, seorang ilmuwan politik dan hubungan internasional Amerika Serikat, pada 2014 berpendapat melalui artikelnya yang berjudul Why the Ukraine Crisis Is the West's Fault, bahwa krisis yang terjadi di Ukraina merupakan kesalahan pihak Barat yang tidak mendengar keinginan Rusia untuk tidak memperluas pengaruh NATO ke wilayah bekas Uni Soviet. Dalam hal ini tampaknya Ukraina tidak memiliki kebebasan untuk menentukan arah politiknya karena posisi geografis di antara pihak Barat dan Rusia.
Ukraina sendiri telah mengalami transisi perubahan haluan kebijakan politik berdasar pada pemimpinnya, baik pro-Rusia maupun pro-Barat. Menariknya, rakyat Ukraina memang lebih condong ke Barat daripada Rusia mengingat kondisi ekonomi yang ditawarkan oleh pihak Barat lebih menguntungkan daripada Rusia. Walaupun hanya berdasarkan satu aspek, bentuk kerja sama yang ditawarkan oleh UE dengan Ukraina cukup menjanjikan, seperti the Partnership and Cooperation Agreement pada 1994, lalu pada tahun 2004 Ukraina masuk dalam the European Neighborhood Program dan the Eastern Partnership pada tahun 2009, dan pada tahun 2014, The Association Agreement.
Solusi yang ditawarkan, masih dari Mearsheimer, adalah dengan tidak memprovokasi Rusia dengan tawaran-tawaran yang diberikan oleh Barat terhadap Ukraina, namun dengan menjadikan Ukraina sebagai buffer zone yang netral tidak memihak Barat maupun Rusia, layaknya posisi Austria pada saat perang dingin, sembari pihak Barat memperbaiki hubungannya dengan Rusia. Namun, dengan perang yang masih berkecamuk hingga saat ini dan memakan ribuan korban jiwa, apakah rakyat Ukraina bersedia untuk tidak semakin beralih ke pihak Barat?
(zik)