Dirjen Otda Tepis Kekhawatiran Kembali ke Sistem Sentralistik

Rabu, 09 Maret 2022 - 19:01 WIB
loading...
Dirjen Otda Tepis Kekhawatiran...
Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik menerima buku dari Direktur Eksekutif KPPOD Herman N Suparman dalam Bedah Buku Refleksi 20 Tahun Otonomi Daerah, Selasa (8/3/2022). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik optimistis bahwa sistem pemerintahan tidak akan kembali ke sistem sentralistik. Wilayah Indonesia yang luas tidak tepat cocok menggunakan sistem sentralistik karena masalah tiap-tiap daerah.

"Bila ada yang berkeinginan untuk kembali ke sistem sentralistik itu karena ketidaksabaran saja dengan proses otonomi daerah yang sudah berjalan selama 20 tahun," kata Akmal Malik seusai acara Bedah Buku Refleksi 20 Tahun Otonomi di De Boekit Villas, Bogor seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (9/3/2022).

Menurut Dirjen Otda, ada hal-hal yang belum sempurna dalam dua dekade pelaksanaan otonomi daerah ini membuat beberapa pihak kurang sabar dan ingin bernostalgia kembali ke sistem sentralistik. Padahal, kata Akmal, secara umum otonomi daerah cukup mendorong partisipasi masyarakat di daerah. Namun diakuinya memang ada masalah soal pemerataan kesejahteraan masyarakat daerah. Sebab partisipasi masyarakat daerah ternyata belum bisa secara baik mendorong kesejahteraan masyarakat daerah.



"Sekali lagi ingat memang harus sabar, harus percaya dengan proses pelaksanaan otonomi daerah. Sehingga ke depannya partisipasi daerah bisa mendorong rakyat menjadi lebih sejahtera, pelayanan publik jadi lebih baik dan daya saing daerah juga jadi lebih bagus," kata Akmal.

Ia menegaskan, otonomi daerah perlu proses panjang. Indonesia yang sedemikian luas tidak tepat apabila menerapkan sistem yang sentralistik. Sebab masalah tiap-tiap daerah beragam dengan aspirasi yang beragam pula. Semua itu terkait juga dengan budaya yang sangat beragam.

"Jadi tidak ada pilihan, pemerintah harus mendesentralisasi kewenangannya ke daerah. Sentralisasi adalah masa lalu, tidak mungkin kembali ke masa itu. Kalau pun ada yang kurang puas itu maka itu hal biasa. Kami akui ada yang tidak puas karena memang ada ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Semua itu harus terus diperbaiki dari waktu ke waktu," kata Akmal.

Untuk itu, terhadap mereka yang merasa belum puas dengan hasil otonomi daerah itu, menurut Akmal, bisa diberikan penjelasan bahwa masyarakat harus sabar menghadapi proses dan hasil secara riil dari otonomi daerah. "Juga harus evaluasi hasil apa saja yang sudah maksimal dan apa yang belum maksimal dari otonomi daerah. Dari sini nantinya akan diketahui apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan otonomi daerah. Evaluasi dilakukan secara bertahap," kata Akmal.

Baca juga: Penerapan Otonomi Khusus di Papua oleh Pemerintah Diapresiasi

Dirjen Otda juga mengingatkan hal terpenting adalah semua pihak harus percaya dengan kebijakan otonomi daerah akan membawa kebaikan. "Untuk mewujudkan otonomi daerah yang maksimal harus melibakan semua pihak. Bukan cuma tugas pemerintah saja tapi juga akademisi, perguruan tinggi, masyarakat sipil, dan semua unsur. Mari silakan lakukan evaluasi dan bangun diskursus agar kita bisa mendapatkan perspektif lengkap tentang otonomi daerah," kata Akmal.

Ia menegaskan bahwa otonomi daerah adalah tugas bersama bangsa Indonesia karena ini adalah amanat dari Reformasi 98 yang dulu bangsa Indonesia perjuangkan. Untuk mencapai otonomi daerah yang ideal juga memerlukan perbaikan rekrutmen politik. Nantinya bisa menghadirkan kepala daerah kepala daerah yang betul-betul memiliki kapasitas, integritas dan juga kualitas untuk membawa masyarakatnya menjadi lebih baik.

Akmal mengatakan, kalau kepala daerahnya berkualitas, maka dipastikan dapat membawa masyarakat menjadi lebih baik dan berkualitas. Pemerintah juga dapat melaksanakan pelayanan publik yang lebih baik. Sehingga membuat daerahnya menjadi memiliki daya saing yang baik. "Tentu pada ujungnya adalah masyarakat lebih sejahtera. Kuncinya adalah rekrutmen kepemimpinan yang baik," kata dia.

Menurut Akmal, kualitas pemimpin di satu daerah pasti mencerminkan kualitas pemilih. Untuk itulah diperlukan pendidikan politik yang lebih baik kepada masyarakat luas, partai politik dan semua pihak. "Melalui pendidikan politik kita berharap nanti akan bisa terpilih pemimpin yang baik. Tentunya pemilihan rasional akan melahirkan pemimpin yang rasional pula," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, 2-3 tahun terakhir ada perbincangan arus balik desentralisasi. Hal ini terjadi karena ketidaksabaran dengan proses otonomi daerah. Kondisi ini juga terjadi akibat menguatnya oligarki politik dan oligarki ekonomi.

"Padahal dalam otonomi daerah membutuhkan akses politik dan ekonomi yang inklusif. Otonomoi daerah membutuhkan desain politik yang memungkinkan semua pihak terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Ini jadi perhatian kita bersama," kata Herman.

Rektor Universitas Prasetya Mulya Prof Djisman Simandjuntak mengatakan, kurun waktu sejak 1998 hingga saat ini sebenarnya bangsa Indonesia masih masuk fase transisi dari sistem sentralistik ke desentralistik. "Tapi harus diakui bahwa kultur dan jiwa masyarakat Indonesia adalah kultur atau jiwa sentralistik. Jadi belum bisa menumbuhkan kultur diversitas yang sungguh sungguh menghargai keragaman," kata Djisman.

Menurut Djisman, tantangan otonomi daerah adalah rekrutmen politik. Misal masalah nepotisme. Kultur nepotisme sangat kental di parpol. Selain itu pola kaderisasi di parpol juga masih sangat kurang. Padahal salah satu faktor penting yang juga menghambat otonomi daerah adalah faktor aktor daerah. Yakni meliputi pemimpin daerah dan elite politik daerah.

"Diperlukan sistem rekrutmen politik yang baik. Sehingga sebuah jabatan kepala daerah supaya jangan sampai seperti sesuatu yang jatuh dari langit. Melainkan harus melalui sistem rekrutmen politik yang bagus. Untuk menciptakan rekrutmen politik yang bagus diperlukan pendidikan politik masyarakat agar masyarakat bisa memilih kepala daerah dengan rasional dan bukan emosional," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1082 seconds (0.1#10.140)