Dewas KPK Apresiasi Peraturan Jaksa Agung soal Restorative Justice
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif diapresiasi Anggota Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Indriyanto Seno Adji . Karena Perja tersebut menganut metode economic analysis of law (EAL).
“Jaksa Agung mengatakan (penanganan perkara) harus dilihat dampak dan manfaatnya, ini yang dinamakan metode EAL dengan restorative justice dalam Perja, saya apresiasi,” kata Indriyanto dalam diskusi bertajuk “Integrasi Penegakan Hukum Pidana Dengan Kebijakan Pembangunan Nasional; Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 Juta Perlu Dipenjara” di Kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Indriyanto juga mengapresiasi, karena Perja 15/2020 ini menampung komponen-komponen dari konvensi internasional, tersirat penerapan EAL dan praktis juga mengakui dan mengakomodir United Nations Conventions against Corruption (UNCAC). Dan Perja ini juga futurist atau melihat ke depan. “Perja ini futurist, melihat ke depan, mengikuti gerak dinamika yang dinamakan extraordinary crime, seriousness crime,” ujarnya.
Mantan Plt Pimpinan KPK ini menjelaskan, pada Pasal 4 ayat 2 huruf E Perja 15/2020 menyebut dengan jelas soal cost (biaya) dan benefit (keuntungan) dalam penanganan sebuah perkara. Ketentuan seperti ini tidak ada di peraturan penegak hukum lainnya, apalagi di KPK.
“Itu mencantumkan apa yang dinamakan cost dan benefit dalam penanganan suatu perkara (disebut) economic analysis of law. Meskipun kita minor dulu lah. saya akui kita masih terbawa extraordinary crime, seriousness law,” kata ahli hukum Universitas Indonesia ini.
Oleh karena itu, Indriyanto secara pribadi mengapresiasi kepada kejaksaan khususnya Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menerapkan ini secara gradual atau step by step. “Saya mendukung dan saya berani bertanggung jawab secara akademik,” ucap Indriyanto.
“Jaksa Agung mengatakan (penanganan perkara) harus dilihat dampak dan manfaatnya, ini yang dinamakan metode EAL dengan restorative justice dalam Perja, saya apresiasi,” kata Indriyanto dalam diskusi bertajuk “Integrasi Penegakan Hukum Pidana Dengan Kebijakan Pembangunan Nasional; Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 Juta Perlu Dipenjara” di Kawasan Tebet, Jakarta, Selasa (8/3/2022).
Indriyanto juga mengapresiasi, karena Perja 15/2020 ini menampung komponen-komponen dari konvensi internasional, tersirat penerapan EAL dan praktis juga mengakui dan mengakomodir United Nations Conventions against Corruption (UNCAC). Dan Perja ini juga futurist atau melihat ke depan. “Perja ini futurist, melihat ke depan, mengikuti gerak dinamika yang dinamakan extraordinary crime, seriousness crime,” ujarnya.
Mantan Plt Pimpinan KPK ini menjelaskan, pada Pasal 4 ayat 2 huruf E Perja 15/2020 menyebut dengan jelas soal cost (biaya) dan benefit (keuntungan) dalam penanganan sebuah perkara. Ketentuan seperti ini tidak ada di peraturan penegak hukum lainnya, apalagi di KPK.
“Itu mencantumkan apa yang dinamakan cost dan benefit dalam penanganan suatu perkara (disebut) economic analysis of law. Meskipun kita minor dulu lah. saya akui kita masih terbawa extraordinary crime, seriousness law,” kata ahli hukum Universitas Indonesia ini.
Oleh karena itu, Indriyanto secara pribadi mengapresiasi kepada kejaksaan khususnya Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang menerapkan ini secara gradual atau step by step. “Saya mendukung dan saya berani bertanggung jawab secara akademik,” ucap Indriyanto.
(rca)