Kejagung Hentikan Penuntutan 13 Kasus lewat Restorative Justice
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung ( Kejagung ) Fadil Zumhana melakukan ekspose dan menyetujui 13 permohonan penghentian penuntutan kasus. Hal ini dilakukan berdasarkan keadilan restoratif.
Baca Juga: Kejagungekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri; Jampidum, Fadil Zumhana; Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda, Agnes Triani; Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum.
Baca juga: Kejagung Didorong Miskinkan Koruptor lewat TPPU
"Kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Kalimantan Tengah, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, dan Para Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat Oharda," kata Ketut Sumedana dalam keterangannya, Selasa (8/3/2022).
Adapun 13 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
1. Tersangka Ramadhan alias Kana bin Nanang (alm) dari Cabang Kejaksaan Negeri Kapuas di Palingkau, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Siti Mina Ohorela alias Mina dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
3. Tersangka Mahat bin Darlin dari Kejaksaan Negeri Kapuas, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
4. Tersangka Samsul Arifin Bin Harun dari Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka A’an Puji Utomo bin Kamadi dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
6. Tersangka Iskil Jamal bin Moh Holil dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan
7. Tersangka Dian Putri Kumala binti Mulyono dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) Sub pasal 310 Ayat (2) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
8. Tersangka 1. Budi Iskandar alias Budi bin Alm Efendi dan Tersangka 2. Ledy Darmawan alias Manjo bin Alm Rusli Efendi dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan
9. Tersangka 1. Hermansyah alias Herman bin Alm Ali Nur, Tersangka 2. Nurhakim alias Hakim bin Alm Abdul Ganisam dan Tersangka 3. Suci Agusriani alias Uci binti Hasan Basri dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan.
10. Tersangka Armiadi bin Alm Rusli dari Kejaksaan Negeri Sabang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
11. Tersangka Pilemon Ombo Alias Papa Risda dari Kejaksaan Negeri Poso, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
12. Tersangka Muhamad Halomoan Harahap dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
13. Tersangka Pendi Sianturi dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Jampidum, Fadil Zumhana mengatakan, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain, para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum.
"Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf," ucap Fadil.
Kemudian kata Fadil, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. "Ada juga pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif," ujarnya.
Selanjutnya Jampidum mengapresiasi upaya Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam perdamaian dan penyelesaian perkara mediasi penal (mediasi di luar pengadilan) antara tersangka dan korban.
"Sehingga tidak perlu sampai ke persidangan. Upaya tersebut mempertimbangkan syarat formil dan materiil serta aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis," tuturnya.
Jampidum menyampaikan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
"Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan," ujar Jampidum Fadil Zumhana.
Selanjutnya, Fadil memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum," tutupnya.
Baca Juga: Kejagungekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri; Jampidum, Fadil Zumhana; Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda, Agnes Triani; Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum.
Baca juga: Kejagung Didorong Miskinkan Koruptor lewat TPPU
"Kemudian Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh, Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara, Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung Kalimantan Tengah, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah, dan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku, dan Para Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat Oharda," kata Ketut Sumedana dalam keterangannya, Selasa (8/3/2022).
Adapun 13 berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
1. Tersangka Ramadhan alias Kana bin Nanang (alm) dari Cabang Kejaksaan Negeri Kapuas di Palingkau, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Siti Mina Ohorela alias Mina dari Kejaksaan Negeri Seram Bagian Barat, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (4) Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
3. Tersangka Mahat bin Darlin dari Kejaksaan Negeri Kapuas, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian
4. Tersangka Samsul Arifin Bin Harun dari Kejaksaan Negeri Lampung Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka A’an Puji Utomo bin Kamadi dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
6. Tersangka Iskil Jamal bin Moh Holil dari Kejaksaan Negeri Surabaya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan
7. Tersangka Dian Putri Kumala binti Mulyono dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Madiun, yang disangka melanggar Pasal 310 Ayat (3) Sub pasal 310 Ayat (2) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
8. Tersangka 1. Budi Iskandar alias Budi bin Alm Efendi dan Tersangka 2. Ledy Darmawan alias Manjo bin Alm Rusli Efendi dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan
9. Tersangka 1. Hermansyah alias Herman bin Alm Ali Nur, Tersangka 2. Nurhakim alias Hakim bin Alm Abdul Ganisam dan Tersangka 3. Suci Agusriani alias Uci binti Hasan Basri dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang, yang disangka melanggar Pasal 351 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Atau Pasal 170 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Pengeroyokan.
10. Tersangka Armiadi bin Alm Rusli dari Kejaksaan Negeri Sabang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
11. Tersangka Pilemon Ombo Alias Papa Risda dari Kejaksaan Negeri Poso, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
12. Tersangka Muhamad Halomoan Harahap dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
13. Tersangka Pendi Sianturi dari Kejaksaan Negeri Labuhan Batu, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Jampidum, Fadil Zumhana mengatakan, adapun alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain, para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum.
"Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun. Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf," ucap Fadil.
Kemudian kata Fadil, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. "Ada juga pertimbangan sosiologis, masyarakat merespon positif," ujarnya.
Selanjutnya Jampidum mengapresiasi upaya Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri dalam perdamaian dan penyelesaian perkara mediasi penal (mediasi di luar pengadilan) antara tersangka dan korban.
"Sehingga tidak perlu sampai ke persidangan. Upaya tersebut mempertimbangkan syarat formil dan materiil serta aspek yuridis, sosiologis, dan filosofis," tuturnya.
Jampidum menyampaikan, penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan masyarakat/pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
"Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan," ujar Jampidum Fadil Zumhana.
Selanjutnya, Fadil memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum," tutupnya.
(maf)