Jika Sukses Gaet Kalangan Islam dan Nasionalis, Pengamat: Anies Bisa Menang
loading...
A
A
A
"Bagi Pak Anies yang cenderung tidak diposisikan sebagai murni kalangan Nasionalis, justru membuka peluang mendapatkan dukungan yang cukup fleksibel dari kalangan Islam maupun Nasionalis," sambungnya.
Sementara Pak Ganjar sambung Firman, dibandingkan tahun lalu dan awal tahun ini punya tren dukungan sangat positif, di mana pada saat yang sama ada peristiwa Wadas yang berpotensi mengganggu tren positif itu. Namun kelemahannnya adalah hingga saat ini belum memiliki tiket dari partainya yakni PDIP.
"Pak Ganjar sebagaimana tokoh-tokoh PDIP selama ini, punya basis dukungan kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ormas NU. Jokowi's effect juga berpotensi akan berpengaruh pada elektabilitas Pak Ganjar. kelemahannya adalah masih berstatus 'pembalap yang belum punya mobil'. Tapi masih ada peluang jika pada menit terakhir didukung penuh oleh PDIP," tutur Firman.
Yang menarik, sambung Firman, adalah bahwa pendukung Anies Baswedan ini tidak beririsan (tidak saling memilih) dengan pendukung Ganjar Pranowo.
"Nah apakah ini adalah karena faktor visi misi ke depan, di mana yang satu akan membuat perubahan, sementara yang satunya lagi melanjutkan legacy sudah baik ataukah ada faktor ideologis atau juga karena kecenderungan perbedaan elemen inti pendukungnya," ujarnya.
Sedangkan peluang kontestasi yang melibatkan Prabowo Subianto, dinilai Firman Noor, bisa dilihat dari kerja keras partainya dan pendukung militannya untuk terus menaikkan elektabilitasnya yang tidak setinggi popularitasnya, sebagaimana terlihat dari hasil survei DTS Indonesia.
"Pak Prabowo cenderung stagnan, bahkan dalam sebuah survei tahun 2021 lalu stagnansi Pak Prabowo ini sudah berlangsung hingga tujuh tahun terakhir. Pertengahan 2021 memang cenderung unggul jauh daripada yang lain," tuturnya.
"Namun ternyata dalam survei DTS ini bahkan jika diskenariokan head-to-head, misalnya pak Anies melawan Pak Prabowo, lebih unggul Pak Anies. Pak Prabowo popularitas tinggi namun tidak diimbangi elektabilitasnya. Butuh booster untuk memperbaiki keseimbangan antara variabel elektoral tersebut," urai Firman Noor.
Firman menggarisbawahi, potret persaingan head to head lebih ditentukan pada kontestan yang bertarung. Tentu saja ketika persoalan tiket maju di Pilpres 2024 sudah terpenuhi alias semuanya didukung oleh partai politik atau koalisi partai politik yang memenuhi syarat presidential threshold.
"Pak Anies unggul jika misalnya Pak Ganjar tidak ikut bertarung. Dan kalau toh Pak Anies harus head to head dengan Pak Ganjar, hasil survei menunjukkan tidak terlalu jauh jaraknya. Ini sebetulnya memberikan sebuah sinyal bahwa masih sangat terbuka peluang bagi Pak Anies untuk bertarung di Pilpres 2024 serta berpeluang untuk memenangkan kontestasi," pungkas Firman Noor.
Sementara Pak Ganjar sambung Firman, dibandingkan tahun lalu dan awal tahun ini punya tren dukungan sangat positif, di mana pada saat yang sama ada peristiwa Wadas yang berpotensi mengganggu tren positif itu. Namun kelemahannnya adalah hingga saat ini belum memiliki tiket dari partainya yakni PDIP.
"Pak Ganjar sebagaimana tokoh-tokoh PDIP selama ini, punya basis dukungan kuat di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ormas NU. Jokowi's effect juga berpotensi akan berpengaruh pada elektabilitas Pak Ganjar. kelemahannya adalah masih berstatus 'pembalap yang belum punya mobil'. Tapi masih ada peluang jika pada menit terakhir didukung penuh oleh PDIP," tutur Firman.
Yang menarik, sambung Firman, adalah bahwa pendukung Anies Baswedan ini tidak beririsan (tidak saling memilih) dengan pendukung Ganjar Pranowo.
"Nah apakah ini adalah karena faktor visi misi ke depan, di mana yang satu akan membuat perubahan, sementara yang satunya lagi melanjutkan legacy sudah baik ataukah ada faktor ideologis atau juga karena kecenderungan perbedaan elemen inti pendukungnya," ujarnya.
Sedangkan peluang kontestasi yang melibatkan Prabowo Subianto, dinilai Firman Noor, bisa dilihat dari kerja keras partainya dan pendukung militannya untuk terus menaikkan elektabilitasnya yang tidak setinggi popularitasnya, sebagaimana terlihat dari hasil survei DTS Indonesia.
"Pak Prabowo cenderung stagnan, bahkan dalam sebuah survei tahun 2021 lalu stagnansi Pak Prabowo ini sudah berlangsung hingga tujuh tahun terakhir. Pertengahan 2021 memang cenderung unggul jauh daripada yang lain," tuturnya.
"Namun ternyata dalam survei DTS ini bahkan jika diskenariokan head-to-head, misalnya pak Anies melawan Pak Prabowo, lebih unggul Pak Anies. Pak Prabowo popularitas tinggi namun tidak diimbangi elektabilitasnya. Butuh booster untuk memperbaiki keseimbangan antara variabel elektoral tersebut," urai Firman Noor.
Firman menggarisbawahi, potret persaingan head to head lebih ditentukan pada kontestan yang bertarung. Tentu saja ketika persoalan tiket maju di Pilpres 2024 sudah terpenuhi alias semuanya didukung oleh partai politik atau koalisi partai politik yang memenuhi syarat presidential threshold.
"Pak Anies unggul jika misalnya Pak Ganjar tidak ikut bertarung. Dan kalau toh Pak Anies harus head to head dengan Pak Ganjar, hasil survei menunjukkan tidak terlalu jauh jaraknya. Ini sebetulnya memberikan sebuah sinyal bahwa masih sangat terbuka peluang bagi Pak Anies untuk bertarung di Pilpres 2024 serta berpeluang untuk memenangkan kontestasi," pungkas Firman Noor.