Berawal untuk Pembinaan Ormas, Kerangkeng Manusia Menjelma Jadi Tempat Siksa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kerangkeng manusia yang diciptakan Bupati nonaktif Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin, adalah tempat khusus bagi penyiksaan manusia. Hal ini dikatakan oleh Analis Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Yasdad Al Farisi.
"Awalnya diniatkan untuk pembinaan anggota ormas di daerah kediaman TRP. Namun, perkembangannya tidak hanya untuk anggota saja, tapi untuk masyarakat umum," ujar Yasdad dalam konferensi pers, Rabu (2/3/2022).
Yasdad mencatat, kamuflase tersebut berhasil berkembang, yang awalnya terdapat satu kereng lalu bertambah menjadi dua serta memiliki anggota penghuni yang terstruktur.
"Kereng pertama diisi 30 penghuni, kereng kedua 27 orang penghuni. Di dalam kereng ini punya struktur berupa pembina, kalapas, kepala kamar, besker (bebas kereng), pengawas atau keamanan.
Yasdad menjelaskan, kekerasan kepada korban mulanya terjadi pada periode awal masuk kerangkeng. Hal tersebut terjadi dalam bentuk kekerasan berintensitas tinggi.
"Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi sering terjadi pada periode awal masuk kerangkeng, yakni di bawah satu bulan pertama," ujar Yasdad.
Yasdad mengklaim, setidaknya terdapat 26 bentuk kekerasan yang terjadi selama masa kerangkeng. "Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke dalam kolam ikan, direndam," ujarnya.
Bahkan ia menilai, kekerasan yang kita sering lihat di film-film bergenre thriller terjadi dalam kasus Bupati Langkat ini.
"Dicambuk anggota tubuhnya menggunakan selang, mata dilakban, dan kaki dipukul menggunakan palu atau martil hingga kuku terlepas dan juga tindakan kekerasan lainnya," ujarnya.
Menurutnya, kondisi fisik akibat kekerasan ini menimbulkan bekas luka maupun luka yang tidak berbekas di bagian tubuh. Selain penderitaan fisik, adanya dampak traumatis akibat kekerasan, salah satunya sampai salah satu penghuni kereng melakukan pencobaan bunuh diri.
Baca Juga
"Awalnya diniatkan untuk pembinaan anggota ormas di daerah kediaman TRP. Namun, perkembangannya tidak hanya untuk anggota saja, tapi untuk masyarakat umum," ujar Yasdad dalam konferensi pers, Rabu (2/3/2022).
Yasdad mencatat, kamuflase tersebut berhasil berkembang, yang awalnya terdapat satu kereng lalu bertambah menjadi dua serta memiliki anggota penghuni yang terstruktur.
"Kereng pertama diisi 30 penghuni, kereng kedua 27 orang penghuni. Di dalam kereng ini punya struktur berupa pembina, kalapas, kepala kamar, besker (bebas kereng), pengawas atau keamanan.
Yasdad menjelaskan, kekerasan kepada korban mulanya terjadi pada periode awal masuk kerangkeng. Hal tersebut terjadi dalam bentuk kekerasan berintensitas tinggi.
"Tindakan kekerasan dengan intensitas tinggi sering terjadi pada periode awal masuk kerangkeng, yakni di bawah satu bulan pertama," ujar Yasdad.
Yasdad mengklaim, setidaknya terdapat 26 bentuk kekerasan yang terjadi selama masa kerangkeng. "Antara lain dipukuli di bagian rusuk, kepala, muka, rahang, bibir, ditempeleng, ditendang, diceburkan ke dalam kolam ikan, direndam," ujarnya.
Bahkan ia menilai, kekerasan yang kita sering lihat di film-film bergenre thriller terjadi dalam kasus Bupati Langkat ini.
"Dicambuk anggota tubuhnya menggunakan selang, mata dilakban, dan kaki dipukul menggunakan palu atau martil hingga kuku terlepas dan juga tindakan kekerasan lainnya," ujarnya.
Menurutnya, kondisi fisik akibat kekerasan ini menimbulkan bekas luka maupun luka yang tidak berbekas di bagian tubuh. Selain penderitaan fisik, adanya dampak traumatis akibat kekerasan, salah satunya sampai salah satu penghuni kereng melakukan pencobaan bunuh diri.
(maf)