Serikat Pekerja Migran Minta Pemerintah Moratorium Pengiriman TKI ke Malaysia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peristiwa kekerasan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri masih menjadi momok yang mengkhawatirkan. Pemerintah diminta moratorium sekaligus mengevaluasi dan mengusut tuntas pengiriman TKI ilegal.
Hal itu diutarakan Ketua Umum Serikat pekerja Informal, Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMMPI), William Yani Wea. Menurutnya, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik yang dialami warga Nusa Tenggara Timur (NTT) di Malaysia beberapa waktu lalu adalah bukti masih lemahnya perlindungn hukum bagi para TKI. Khususnya TKI asal NTT yang hampir setiap tahun menjadi korban kematian yang disebabkan oleh aksi kekerasan.
“Kami minta Moratorium pengiriman TKI ke Malaysia. Bentuk satgas khusus gabungan semua unsur, kenapa korban kematian TKI dari NTT terjadi setiap tahun. Kami minta Jangan ada lagi peti jenaxah yang dikirimkan ke NTT dari Malaysia,” kata William Yani Wea, Rabu (23/2/2022)
William menilai pengiriman TKI dari NTT ke Malaysia sudah menjadi perdagangan manusia atau human tracking. Salah satu buktinya bisa terlihat dari catatan Kedubes RI di Malaysia terkait jumlah kematian selama empat bulan yang mencapai 46 TKI dan semuanya asal NTT tanpa adanya dokumen resmi. “Usut tuntas melalui jalur mana sampai ratusan orang dari NTT setiap tahun bisa menjadi TKI Ilegal,” ungkapnya.
Diketahui, TKI asal NTT berinsial DB menjadi korban kerja paksa yang dilakukan majikannya tanpa mendapatkan bayaran gaji selama sembilan tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu. Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Sayangnya, Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan pada 17 Januari 2022, Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
“Pemerintah memang tidak bisa memengaruhi hukum yang ada di Malaysia. Tapi keputusan itu menunjukkan perlindungan hukum di Malaysia untuk TKI kita tidak bisa diharapkan . Jauh lebih baik perlindungan hukum TKI di Hong Kong atau Singapura,” ucapnya.
Hal itu diutarakan Ketua Umum Serikat pekerja Informal, Migran dan Pekerja Profesional Indonesia (SP IMMPI), William Yani Wea. Menurutnya, kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan kekerasan fisik yang dialami warga Nusa Tenggara Timur (NTT) di Malaysia beberapa waktu lalu adalah bukti masih lemahnya perlindungn hukum bagi para TKI. Khususnya TKI asal NTT yang hampir setiap tahun menjadi korban kematian yang disebabkan oleh aksi kekerasan.
“Kami minta Moratorium pengiriman TKI ke Malaysia. Bentuk satgas khusus gabungan semua unsur, kenapa korban kematian TKI dari NTT terjadi setiap tahun. Kami minta Jangan ada lagi peti jenaxah yang dikirimkan ke NTT dari Malaysia,” kata William Yani Wea, Rabu (23/2/2022)
William menilai pengiriman TKI dari NTT ke Malaysia sudah menjadi perdagangan manusia atau human tracking. Salah satu buktinya bisa terlihat dari catatan Kedubes RI di Malaysia terkait jumlah kematian selama empat bulan yang mencapai 46 TKI dan semuanya asal NTT tanpa adanya dokumen resmi. “Usut tuntas melalui jalur mana sampai ratusan orang dari NTT setiap tahun bisa menjadi TKI Ilegal,” ungkapnya.
Diketahui, TKI asal NTT berinsial DB menjadi korban kerja paksa yang dilakukan majikannya tanpa mendapatkan bayaran gaji selama sembilan tahun lebih dan mengalami kekerasan fisik hingga pendengarannya terganggu. Berdasarkan laporan DB, majikan ditangkap oleh Dinas Tenaga Kerja Kelantan dan Polisi pada November 2020 dan diajukan ke pengadilan dengan tuduhan melakukan TPPO disertai kerja paksa dan penganiayaan.
Sayangnya, Berdasarkan informasi dari Dinas Tenaga Kerja Kelantan pada 17 Januari 2022, Pengadilan Kota Bahru telah memutus bebas majikan dari semua tuduhan.
“Pemerintah memang tidak bisa memengaruhi hukum yang ada di Malaysia. Tapi keputusan itu menunjukkan perlindungan hukum di Malaysia untuk TKI kita tidak bisa diharapkan . Jauh lebih baik perlindungan hukum TKI di Hong Kong atau Singapura,” ucapnya.
(cip)