Aturan Pengeras Suara Masjid Sama Seperti di Arab Saudi dan Malaysia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadizily menyatakan dukungannya terhadap penerbitan pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Menurutnya, hal ini telah diberlakukan di sejumlah negara muslim, seperti Arab Saudi dan Malaysia.
Ace berpandangan bahwa sudah saatnya aturan soal penggunaan pengeras suara di masjid dan musala ini diperbaharui. Aturan soal ini sesungguhnya sudah lama dibuat oleh Kementerian Agama sejak 1978.
"Di beberapa negara muslim seperti Arab Saudi, Malaysia dan negara lainnya soal pengeras suara ini ada aturannya," kata Ace saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (21/2/2022).
Politikus Golkar itu pun menyinggung soal pengaturan volume 100 dB yang tengah menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Menurutnya, hal ini pastinya sudah melalui kajian yang mendalam dari Kementerian Agama. "Prinsipnya, pengeras suara itu harus menjaga suasana kenyamanan semua pihak. Kita harus menghargai antara sesama kita," ujarnya.
Sementara, soal pengaturan suara yang bagus atau tidak sumbang dan menggunakan pelafalan yang baik dan benar, Ace mengira hal ini sudah seharusnya dilakukan. "Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan kita untuk mengumandangkan suara adzan dengan suara yang indah dan benar," katanya.
Dikutip dari situs resmi Dirjen Bimas Islam Kemenag, pada 1978 Dirjen Bimas Islam, Kemenag, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau musala. Berikut aturan lengkapnya:
Baca juga: Menag Terbitkan Pedoman Penggunaan Pengeras Suara Masjid, Paling Lama 10 Menit Sebelum Azan
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Qur'an, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya.
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan.
Ace berpandangan bahwa sudah saatnya aturan soal penggunaan pengeras suara di masjid dan musala ini diperbaharui. Aturan soal ini sesungguhnya sudah lama dibuat oleh Kementerian Agama sejak 1978.
"Di beberapa negara muslim seperti Arab Saudi, Malaysia dan negara lainnya soal pengeras suara ini ada aturannya," kata Ace saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Senin (21/2/2022).
Politikus Golkar itu pun menyinggung soal pengaturan volume 100 dB yang tengah menjadi perbincangan di tengah masyarakat. Menurutnya, hal ini pastinya sudah melalui kajian yang mendalam dari Kementerian Agama. "Prinsipnya, pengeras suara itu harus menjaga suasana kenyamanan semua pihak. Kita harus menghargai antara sesama kita," ujarnya.
Sementara, soal pengaturan suara yang bagus atau tidak sumbang dan menggunakan pelafalan yang baik dan benar, Ace mengira hal ini sudah seharusnya dilakukan. "Nabi Muhammad SAW sendiri mengajarkan kita untuk mengumandangkan suara adzan dengan suara yang indah dan benar," katanya.
Dikutip dari situs resmi Dirjen Bimas Islam Kemenag, pada 1978 Dirjen Bimas Islam, Kemenag, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau musala. Berikut aturan lengkapnya:
Baca juga: Menag Terbitkan Pedoman Penggunaan Pengeras Suara Masjid, Paling Lama 10 Menit Sebelum Azan
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Al-Qur'an, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, zikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya.
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala, selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat shalat lima waktu, shalat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan Ramadhan.
(abd)