Melarat dan Membenci Kemapanan

Senin, 21 Februari 2022 - 14:29 WIB
loading...
Melarat dan Membenci Kemapanan
Melarat dan Membenci Kemapanan
A A A
Teguh Afandi
Editor dan pembaca buku

Pada 21 Januari 2021, tepat 70 tahun pasca berpulangnya George Orwell (25 Juni 1903-21 Januari 1950), menandai karya-karya Orwell masuk ke ranah public domain, lepas dari aturan copyrights. Animal Farm dan 1984, dua karya monumental Orwell pun akan menjadi milik umum dan semua berhak menerbitkan. Setidaknya pada 2021 dan 2022 ini beberapa karya Orwell terbit dalam edisi bahasa Indonesia.

Bentang Pustaka menerbitkan kembali 1984 dengan penerjemah Landung Simatupang, juga versi bahasa Indonesia pertama dari Keep the Aspidistra Flying hasil alih bahasa Anton Kurnia. Penerbit Gramedia Pustaka Utama menerbitkan serentak tiga karya Orwell, Animal Farm dan Down and Out in Paris and London dengan penerjemah Djokolelono; juga Coming Up for Air yang diterjemahkan oleh Berliani M Nugrahani. Juga beberapa versi terjemahan Animal Farm oleh beberapa penerbit lain.

Kegairahan menghadirkan kembali Orwell ini harus dirayakan. Bukan soal kehebatan dan ketokohan karya-karya Orwell semata yang kadang masih relevan hingga kini. Juga jeweran telak kepada yang bandel dan tidak tertib menerbitkan karya-karya di luar public domain, tanpa memperhatikan legalitas hak cipta. Novel Keep the Aspidistra Flying terbit pertama kali pada 1936, satu dekade sebelum dua mahakarya Orwell. Dan buku ini menjadi edisi pertama dalam bahasa Indonesia.

Dalam buku setebal 300 halaman ini, kita akan dibuat superjengkel dengan Gordon Comstock. Dialah tokoh utama yang begitu membenci uang, kemapanan, dan kemakmuran. Menurutnya menjadi melarat, lapar, dan terhina setidaknya dalam asumsinya adalah jalan “terbaik” menjalani hidup. Comstock digambarkan sebagai penyair miskin yang bekerja sebagai pustakawan cum penjaga toko buku. Comstock sebagaimana sudah kita duga dibuai dengan idealisme penuh utopia. Bermula dia yang dilahirkan dari keluarga miskin dan serbagagal.

Dikisahkan keluarganya hampir semua gagal, mati muda, melarat. Dan hanya dia seorang, Comstock yang memiliki peluang berkehidupan layak. Justru Comstock tidak memilihnya. Comstock memang pernah menjadi copy-writer di sebuah agensi. Gegas ia hengkang sebab tahu, semua manusia termasuk yang bekerja bersamanya adalah menghamba kepada tuhan bernama uang. Uang telah meningkat menjadi semacam agama. […] Uang adalah sesuatu yang dulu kita sebuat Tuhan. Baik dan buruk tidak ada artinya lagi; yang berarti hanyalah kegagalan dan kesuksesan. (hal. 51)

Comstock benci dan muak betul dengan sistem kapitalisme, kekayaan, atau dalam bahasa yang sangat sederhana uang. Sistem yang menomorduakan kemanusiaan. Bahkan dalam satu kalimat lain, seseorang bukanlah manusia seutuhnya, kecuali ada uang di sakunya (hal.177). Nilai manusia benar-benar berdasarkan kepemilikan uang. Tanpa pernah ditelisik, jangan-jangan miskin dan melaratnya memang secara struktural dibuat miskin dan melarat. Tanpa uang, kau tidak dapat dicintai meskipun bisa berbicara bahasa manusia dan bahasa malaikat. (hal.15)

Comstock keluar dari pekerjaan di agensi dan memilih menjadi penjaga toko buku dengan gaji sangat minim, yang bahkan digambarkan di awal cerita, kerap kali hanya menyisakan angan-angan untuk merokok. Namun, kebencian Comstock ini sama tingginya dengan egonya ingin dihargai sebagai manusia. Dia tetap harus bergaya perlente, enggan dibantu materi oleh kawan-kawannya, termasuk Rosemary, kekasihnya.

Hal lain yang mengesalkan adalah sikap berada di pusara tapi tidak mau teriak perubahan. Kau melawan kapitalisme, tetapi kau tidak mau menerima sosialisme sebagai satu-satunya alternatif yang mungkin (hal.105). Comstock menjawab protes kawannya dengan bilang, menolak satu bukan berarti menerima yang lain. Gordon Comstock tampak seperti avatar dari Orwell sendiri. Orwell sendiri pernah menghadapi masa-masa susah sebagai penulis dan pekerja paruh waktu di toko buku Hampstead.

Bukunya yang lain, Down and Out in London and Paris, juga kerap dikaitkan dengan kisah hidup Orwell dan Comstock dalam buku ini. Namun nyatanya, Orwell hidup di tengah keluarga mapan dan karier sebagai penulis sukses, berbeda nasib dengan Comstock. Itulah mungkin sebabnya, Comstock tampak “malu-malu” memilih berdiri di kutub yang jelas. Selalu ambivalen. Dia menolak menjadi kaya, tetapi di akhir diam-diam mengidolakan aspidistra—tanaman yang disebut sebagai simbol orang berkelas.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1889 seconds (0.1#10.140)