Wayang, Islam dan Jati Diri Bangsa

Sabtu, 19 Februari 2022 - 11:21 WIB
loading...
Wayang, Islam dan Jati...
Kesenian wayang pada zaman Wali Songo menjadi salah satu media dakwah. FOTO/Sindonews
A A A
Di kalangan pengikut tarekat, kesenian wayang menjadi media paling mudah untuk menjelaskan esensi ketauhidan. Hubungan dalang dan wayang merupakan manifestasi hubungan Tuhan dengan manusia dan semua mahluknya. Dalang yang mengatur jalan cerita, membagi peran, menggerakkan wayang, dan mengisi percakapan merupakan gambaran kekuasan mutlak Tuhan atas ciptaannya.

Dalam konteks alam semesta raya beserta isinya, Tuhan adalah maha dalang. Semau-mau menciptakan alam dan mahluknya, memberikan mereka peran masing-masing dan memainkannya. Dari sisi mahluk dan seluruh alam yang diciptakannya, termasuk manusia, sejatinya ada kekuatan sekecil apapun untuk mengingkari bahkan melawan kehendak-Nya.

Peran strategis inilah yang sesungguhnya ditempati kesenian wayang dalam perjalanan dakwah Islam di Nusantara di era Wali Songo. Pemanfaatan wayang dan berbagai kesenian yang sudah tumbuh dan berkembang di Tanah Jawa kala itu membuat Islam berkembang secara massif dan sistematis, hingga menjadikan agama yang dibawa Rasululloh Muhammad SAW menjadi agama terbesar di Pulau Jawa dan menjadikan Indonesia saat ini sebagai negeri Muslim terbesar di dunia.

Adalah Sunan Kalijaga yang merupakan wali paling terkemuka dalam memanfaatkan wayang dan kesenian lokal seperti wayang, gamelan, gending, pangkur, tembang, arsitektur, ritual keagamaan, cara bercocok tanam, mainan anak-anak, hingga keris sebagai media dakwah. Para wali yang menggenakan metode sama adalah Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat dan Sunan Muria.

Pendekatan budaya yang dilakukan para waliyulloh, yakni dengan melakukan akulturasi budaya dengan menyisipkan esensi ajaran Islam dalam berbagai kesenian tentu berangkat dari realitas bahwa masyarakat Jawa sudah memiliki budaya adiluhung. Sehingga pendekatan formalistik dan kaku gagal membuka hati masyarakat untuk menerima Islam.

Terbukti, walaupun Islam sudah masuk sejak abad 11 Masehi dengan bukti ditemukan makam Fatimah binti Maimum di Leran, Manyar, Gresik, kehadirannya belum bisa mewarnai kehidupan masyarakat Jawa saat itu. Dakwah yang dilakukan para ulama saat itu baru menyentuh individu atau paling banter mempengaruhi satu dua komunitas masyarakat, yang kebanyakan dana berada di wilayah pesisir.

Filusuf Mudji Sutrisno secara tidak langsung mengakui kuatnya bauran nilai Islam dan Jawa dalam wayang ini. Fakta ini terungkap dari tiga falsafah Jawa yang dimiliki Wayang (saat ini). Falsafah dimaksud adalah pandangan sangkan paraning dumadi, acuan laku dan tindakan bijaksana vis a vis laku jahat (ngunduh wohing pakarti), dan jalan kebahagian hamba menyatu dengan penciptanya (manungaling kawula gusti).

Pola dakwah demikian bukan hanya sukses besar melakukan Islamisasi Tanah Jawa dalam tempo yang sangat cepat dan mengakar kuat dalam semua dimensi kehidupan masyarakat di Jawa dan Nusantara secara umum. Kondisi ini terwujud karena melalui wayang para waliyullah melalui wayang dapat melakukan pendekatan psikologi, sejarah, paedagogi, hingga politik.Tak kalah pentingnya, dakwah melalui wayang dan budaya secara umum telah membentuk karakter Islam moderat, lentur, toleran dan kaya dengan kearifan lokal.

Munculnya sikap antiterhadap wayang, hingga seolah-olah bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan karena itu harus dimusnahkan, seperti ditunjukkan seorang penceramah dan kelompoknya baru-baru ini tertentu adalah ahistoris. Mereka sama sekali tidak memahami watak masyarakat Jawa dan Nusantara sekaligus tidak mampu menangkap subtansi wayang dan berbagai budaya adiluhung lain.

Sejatinya, sikap yang ditunjukkan tokoh agama bukan sekadar kegagalpahaman secara personal. Lebih dari itu, mereka memang bermaksud mencerabut akar budaya masyarakat Jawa dan memisahkannya dengan Islam, dan kemudian menghilangkan jati diri Indonesia.

Kesimpulan ini bisa dilihat puzzle-puzzle sikap pendakwah dari kelompok tertentu yang tidak mengakui keberadaan para waliyullah, mensyirikkan berbagai tradisi dan budaya Nusantara, membidahkan ziarah kubur dan lain sebagainya. Bahkan mereka menolak pengibaran bendera merah putih dan mengumandangkan lagu Kebangsaan Indonesia raya yang merupakan wujud persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1814 seconds (0.1#10.140)