Bukan Pesantren, Bukan Terorisme
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Pengamat Terorisme dan Politik Dunia Islam
KONTROVERSI terkait terorisme dengan pesantren terus menggelinding di sebagian masyarakat. Walaupun Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai pihak yang pertama menyampaikan dugaan keterkaitan sejumlah pesantren dalam jaringan terorisme (sebelum menjadi kontroversi) mengatakan bahwa kontroversi ini telah berakhir, kenyataannya sebagian pihak masih membicarakan persoalan tersebut.
Hal yang harus diperhatikan, kontroversi terkait terorisme dengan pesantren bukan kali ini saja terjadi. Sejauh ini sudah sering kali terjadi kontroversi yang kurang lebih sama. Dan hampir bisa dipastikan, kontroversi yang terjadi kali ini tidak akan menjadi yang terakhir. Dengan kata lain, masih bisa terjadi di waktu-waktu mendatang.
Dalam hemat penulis, kontroversi seperti ini terjadi karena adanya kesalahpahaman terhadap pesantren di satu sisi dan juga adanya kekurangpahaman terhadap persoalan terorisme di sisi yang lain. Kesalahpahaman sebagian pihak terhadap pesantren membuat lembaga pendidikan Islam yang telah berkontribusi besar terhadap negara dan bangsa ini acap dicurigai sebagai tempat berseminya pemikiran-pemikiran antinegara, antikemajuan, antikemajemukan dan yang lainnya. Sementara kurangnya pemahaman dari sebagian pihak terhadap persoalan terorisme tidak jarang menciptakan labelling dan stereotyping hanya karena kesamaan-kesamaan yang bersifat fisik seperti jenggot, baju, bau parfum dan yang lainnya. Bahkan tak jarang kelompok-kelompok yang serupa tapi tidak sama seperti kelompok intoleran juga disamakan dengan kelompok teroris.
Bukan pesantren
Adalah benar bahwa ada kesalahan tertentu terkait pernyataan dugaan keterlibatan sebagian pesantren dengan terorisme sebagaimana disampaikan oleh BNPT. Minimal terkait klasifikasi bahkan pemberian nama pesantren untuk pengajian di masjid-masjid tertentu.
Namun harus juga ditegaskan bahwa tak semua yang disampaikan oleh BNPT adalah salah. Faktanya ada sebagian “pesantren” selama ini yang terbukti terlibat dalam jaringan terorisme. Salah satu dari “pesantren” tersebut adalah Pesantren Umar bin Khattab di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diasuh oleh Ustaz Abrori. “Pesantren” ini dikenal dengan sebutan “Pesantren UBK Bima”.
Penulis menggunakan tanda kutip dalam menyebut kata “pesantren” ini, mengingat penyebutan ini lebih karena mengikuti nama yang digunakan oleh “pesantren” tersebut. Apakah “pesantren UBK Bima” sama dengan pesantren-pesantren yang terkenal di wilayah Jawa dan Madura? Jawabannya tentu saja tidak. Mengingat “Pesantren UBK Bima” lebih menekankan tentang pelajaran jihad, peperangan dan yang lainnya. Bahkan “pesantren UBK Bima” juga mengajarkan dan memberikan pelatihan terkait bahan peledak.
Sementara pondok-pondok pesantren di wilayah Jawa dan Madura biasanya lebih menekankan tentang mujahadah (tasawuf), akhlak, kitab kuning dan yang lainnya. Kalaupun ada pembahasan tentang jihad biasanya di bab-bab akhir.
Di sinilah kesalahpahaman biasanya berawal. Para pihak terkait akan selalu menyebut lembaga seperti Umar bin Khattab Bima di atas sebagai “pesantren” mengingat hal ini sudah menjadi namanya. Sementara istilah pesantren bersifat umum dan telah memiliki makna konotasi serta sejarahnya sendiri yang bersifat positif dan antiterorisme, terutama bagi kaum santri. Sangat dipahami bila kemudian sebagian masyarakat merasa terganggu dengan penggunaan istilah “pesantren terlibat jaringan terorisme”.
Dalam hemat penulis, hal ini sejatinya bisa dihindari dengan selalu menggarisbawahi bahwa penggunaan kata “pesantren” dalam lembaga-lembaga pendidikan yang terlibat dalam jaringan terorisme hanya karena mereka menggunakan nama “pesantren”, bukan karena lembaga tersebut benar-benar dianggap sebagai pesantren dan terlebih lagi dianggap sebagai pesantren yang sama seperti berkembang di wilayah Jawa atau Madura. Bukan semata-mata karena materi pendidikan yang diajarkan di kalangan pesantren dan kalangan teroris berbeda sebagaimana dijelaskan di atas. Lebih daripada itu karena sebagian lembaga-lembaga pendidikan di kalangan jaringan terorisme dipastikan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren.
Bukan Terorisme
Hal yang tak kalah penting adalah persoalan terorisme tak jarang disalahpahami oleh sebagian masyarakat. Sebagian pihak mungkin menganggap terorisme hanya sebentuk Islamophobia, dianggap sebagai upaya pemerintah untuk membungkam mereka yang bersikap kritis dan anggapan-anggapan lainnya.
Sementara sebagian masyarakat lain cenderung melihat persoalan terorisme dari segi fisik seperti jenggot, baju, bau parfum dan yang lainnya. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang memiliki tampilan fisik seperti para teroris acap dianggap atau dicurigai sebagai teroris.
Bahkan sebagian masyarakat yang lain cenderung menyamakan kelompok teroris dengan kelompok intoleran. Padahal mereka adalah kelompok yang berbeda-beda. Alih-alih dibanding kelompok intoleran, di kalangan kelompok teroris tersendiri tak jarang ada yang berbeda-beda, saling mengafirkan bahkan saling menyerang.
Padahal terorisme nyata adanya. Terorisme bukan Islamophobia. Tapi terorisme juga tidak bisa dijadikan label untuk menghukum dan menghakimi mereka yang sama secara fisik (dengan teroris) sebagai teroris. Bahkan mereka yang memiliki perjuangan serupa (seperti kelompok intoleran) tapi cara perjuangannya berbeda (menggunakan bom dan menggunakan batu) juga tidak bisa dianggap sebagai teroris.
Hal ini tak berarti bahwa intoleransi bukanlah masalah yang serius. Sebaliknya intoleransi adalah masalah yang sangat serius, tidak kalah serius dibanding terorisme. Keduanya harus diselesaikan. Tapi menyelesaikan dua masalah ini tidak bisa dengan menyamakan keduanya.
Bila dalam konteks pesantren sebuah lembaga harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 18 Tahun 2019 untuk disebut sebagai pesantren, maka dalam persoalan terorisme sebuah kejahatan harus memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 untuk disebut sebagai kejahatan terorisme. Sayangnya dalam persoalan terorisme dan pesantren, tak jarang yang dianggap sebagai pesantren bukanlah pesantren. Dan, yang dianggap terorisme bukanlah terorisme.
Lihat Juga: Tegaskan Independensi dan Standar Mutu Pendidikan, Majelis Masyayikh Sosialisasikan UU Pesantren
Pengamat Terorisme dan Politik Dunia Islam
KONTROVERSI terkait terorisme dengan pesantren terus menggelinding di sebagian masyarakat. Walaupun Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai pihak yang pertama menyampaikan dugaan keterkaitan sejumlah pesantren dalam jaringan terorisme (sebelum menjadi kontroversi) mengatakan bahwa kontroversi ini telah berakhir, kenyataannya sebagian pihak masih membicarakan persoalan tersebut.
Hal yang harus diperhatikan, kontroversi terkait terorisme dengan pesantren bukan kali ini saja terjadi. Sejauh ini sudah sering kali terjadi kontroversi yang kurang lebih sama. Dan hampir bisa dipastikan, kontroversi yang terjadi kali ini tidak akan menjadi yang terakhir. Dengan kata lain, masih bisa terjadi di waktu-waktu mendatang.
Dalam hemat penulis, kontroversi seperti ini terjadi karena adanya kesalahpahaman terhadap pesantren di satu sisi dan juga adanya kekurangpahaman terhadap persoalan terorisme di sisi yang lain. Kesalahpahaman sebagian pihak terhadap pesantren membuat lembaga pendidikan Islam yang telah berkontribusi besar terhadap negara dan bangsa ini acap dicurigai sebagai tempat berseminya pemikiran-pemikiran antinegara, antikemajuan, antikemajemukan dan yang lainnya. Sementara kurangnya pemahaman dari sebagian pihak terhadap persoalan terorisme tidak jarang menciptakan labelling dan stereotyping hanya karena kesamaan-kesamaan yang bersifat fisik seperti jenggot, baju, bau parfum dan yang lainnya. Bahkan tak jarang kelompok-kelompok yang serupa tapi tidak sama seperti kelompok intoleran juga disamakan dengan kelompok teroris.
Bukan pesantren
Adalah benar bahwa ada kesalahan tertentu terkait pernyataan dugaan keterlibatan sebagian pesantren dengan terorisme sebagaimana disampaikan oleh BNPT. Minimal terkait klasifikasi bahkan pemberian nama pesantren untuk pengajian di masjid-masjid tertentu.
Namun harus juga ditegaskan bahwa tak semua yang disampaikan oleh BNPT adalah salah. Faktanya ada sebagian “pesantren” selama ini yang terbukti terlibat dalam jaringan terorisme. Salah satu dari “pesantren” tersebut adalah Pesantren Umar bin Khattab di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang diasuh oleh Ustaz Abrori. “Pesantren” ini dikenal dengan sebutan “Pesantren UBK Bima”.
Penulis menggunakan tanda kutip dalam menyebut kata “pesantren” ini, mengingat penyebutan ini lebih karena mengikuti nama yang digunakan oleh “pesantren” tersebut. Apakah “pesantren UBK Bima” sama dengan pesantren-pesantren yang terkenal di wilayah Jawa dan Madura? Jawabannya tentu saja tidak. Mengingat “Pesantren UBK Bima” lebih menekankan tentang pelajaran jihad, peperangan dan yang lainnya. Bahkan “pesantren UBK Bima” juga mengajarkan dan memberikan pelatihan terkait bahan peledak.
Sementara pondok-pondok pesantren di wilayah Jawa dan Madura biasanya lebih menekankan tentang mujahadah (tasawuf), akhlak, kitab kuning dan yang lainnya. Kalaupun ada pembahasan tentang jihad biasanya di bab-bab akhir.
Di sinilah kesalahpahaman biasanya berawal. Para pihak terkait akan selalu menyebut lembaga seperti Umar bin Khattab Bima di atas sebagai “pesantren” mengingat hal ini sudah menjadi namanya. Sementara istilah pesantren bersifat umum dan telah memiliki makna konotasi serta sejarahnya sendiri yang bersifat positif dan antiterorisme, terutama bagi kaum santri. Sangat dipahami bila kemudian sebagian masyarakat merasa terganggu dengan penggunaan istilah “pesantren terlibat jaringan terorisme”.
Dalam hemat penulis, hal ini sejatinya bisa dihindari dengan selalu menggarisbawahi bahwa penggunaan kata “pesantren” dalam lembaga-lembaga pendidikan yang terlibat dalam jaringan terorisme hanya karena mereka menggunakan nama “pesantren”, bukan karena lembaga tersebut benar-benar dianggap sebagai pesantren dan terlebih lagi dianggap sebagai pesantren yang sama seperti berkembang di wilayah Jawa atau Madura. Bukan semata-mata karena materi pendidikan yang diajarkan di kalangan pesantren dan kalangan teroris berbeda sebagaimana dijelaskan di atas. Lebih daripada itu karena sebagian lembaga-lembaga pendidikan di kalangan jaringan terorisme dipastikan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren.
Bukan Terorisme
Hal yang tak kalah penting adalah persoalan terorisme tak jarang disalahpahami oleh sebagian masyarakat. Sebagian pihak mungkin menganggap terorisme hanya sebentuk Islamophobia, dianggap sebagai upaya pemerintah untuk membungkam mereka yang bersikap kritis dan anggapan-anggapan lainnya.
Sementara sebagian masyarakat lain cenderung melihat persoalan terorisme dari segi fisik seperti jenggot, baju, bau parfum dan yang lainnya. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang memiliki tampilan fisik seperti para teroris acap dianggap atau dicurigai sebagai teroris.
Bahkan sebagian masyarakat yang lain cenderung menyamakan kelompok teroris dengan kelompok intoleran. Padahal mereka adalah kelompok yang berbeda-beda. Alih-alih dibanding kelompok intoleran, di kalangan kelompok teroris tersendiri tak jarang ada yang berbeda-beda, saling mengafirkan bahkan saling menyerang.
Padahal terorisme nyata adanya. Terorisme bukan Islamophobia. Tapi terorisme juga tidak bisa dijadikan label untuk menghukum dan menghakimi mereka yang sama secara fisik (dengan teroris) sebagai teroris. Bahkan mereka yang memiliki perjuangan serupa (seperti kelompok intoleran) tapi cara perjuangannya berbeda (menggunakan bom dan menggunakan batu) juga tidak bisa dianggap sebagai teroris.
Hal ini tak berarti bahwa intoleransi bukanlah masalah yang serius. Sebaliknya intoleransi adalah masalah yang sangat serius, tidak kalah serius dibanding terorisme. Keduanya harus diselesaikan. Tapi menyelesaikan dua masalah ini tidak bisa dengan menyamakan keduanya.
Bila dalam konteks pesantren sebuah lembaga harus memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam UU No 18 Tahun 2019 untuk disebut sebagai pesantren, maka dalam persoalan terorisme sebuah kejahatan harus memenuhi unsur sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 2018 untuk disebut sebagai kejahatan terorisme. Sayangnya dalam persoalan terorisme dan pesantren, tak jarang yang dianggap sebagai pesantren bukanlah pesantren. Dan, yang dianggap terorisme bukanlah terorisme.
Lihat Juga: Tegaskan Independensi dan Standar Mutu Pendidikan, Majelis Masyayikh Sosialisasikan UU Pesantren
(bmm)