Belajar dari AS, Jangan Jadikan Papua Komoditas Politik Rasisme
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo mengakui bahwa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) adalah isu yang sensitif, bahkan bagi negara yang sangat matang kehidupan demokrasinya seperti Amerika Serikat (AS). Hal tersebut dikatakannya dalam diskusi virtual tentang Papua, Sabtu (13/6/2020).
(Baca juga: 658 WNI di Luar Negeri Sembuh Corona, 1.037 Positif dan 316 Orang Dirawat)
"Kita tetap harus waspada, karena tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berusaha menjadi provokator, memanfaatkan kejadian di Amerika untuk menyulut emosi publik yang dapat mengganggu kedamaian di Papua khususnya dan Indonesia umumnya," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
"MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) terus terlibat membantu saudara kita yang menyuarakan keadilan sosial terhadap Papua agar tidak mendapat diskriminasi hukum," tambah Bamsoet. (Baca juga: Gelar Pilkada di Tengah Pandemi, 218 Daerah Perlu Perhatian Ekstra)
Dia menyebut keberadaan Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Dapil Papua dan Papua Barat (For Papua) sebagai contoh upaya konkret yang sedang dilakukan MPR. Forum itu aktif menjembatani komunikasi dari berbagai pihak demi perdamaian di Papua.
"Alhamdulilah berkat kerja keras semua pihak, keenam saudara kita tersebut yakni Surya Anta Ginting, Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge, telah dibebaskan pada Mei 2020," kata Bamsoet.
Sementara itu, Anggota For Papua yang juga perwakilan DPD RI dari Papua, Yorrys Raweyai mengungkapkan bahwa ada penanganan hukum yang sudah coba mereka upayakan. Contohnya, kasus Mispo Gwijangge yang diduga membunuh pekerja Istaka Karya.
"Kami panggil mitra kerja dan pihak yang terkait Papua. Ini adalah upaya politik, bukan hanya hukum saja," kata Yorrys. (Baca juga: Fraksi PPP Dukung Maklumat MUI Tentang RUU HIP)
Pengadilan pada April lalu pun membebaskan Mispo dari berbagai tuduhan karena dianggap tidak terbukti. "Kami masih akan upayakan untuk kasus lain. Kami tidak tinggal diam," kata Yorrys.
Kendati mendapat pengawalan politik dan keberpihakan, dia mengingatkan agar masyarakat tetap mewaspadai pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ingin mengambil untung dari situasi konflik di Papua. "Jangan kita terprovokasi dengan orang yang ingin mengait-ngaitkan masalah di Papua," katanya.
Hal senada juga diungkapkan Anggota DPD yang ada di For Papua dan mengawal kasus Mispo Gwijangge, Filep Wamafma. Filep mengakui bahwa urusan Papua tidak dipandang sebagai masalah hukum juga, tapi juga politik.
Sehingga langkah-langkah yang ditempuh itu akan menjadi kebijakan politik yang terbaik bagi Papua di masa depan. "Pemerintah juga harus membuka ruang yang luas, terbuka, melibatkan semua komponen. Sehingga masalah Papua juga bisa dibicarakan dengan martabat," ucap Filep.
Sekadar diketahui, isu rasisme di Papua seolah menemukan isu baru setelah sekelompok orang mencoba mengaitkan aksi kepedulian terhadap George Floyd di Amerika Serikat dengan proses hukum di bumi cendrawasih itu.
Padahal, banyak pihak sedang mengupayakan pendekatan persuasif, humanis, dan strategis dalam menyelesaikan berbagai dugaan diskriminasi hukum yang terjadi di Papua.
(Baca juga: 658 WNI di Luar Negeri Sembuh Corona, 1.037 Positif dan 316 Orang Dirawat)
"Kita tetap harus waspada, karena tak menutup kemungkinan ada pihak-pihak yang berusaha menjadi provokator, memanfaatkan kejadian di Amerika untuk menyulut emosi publik yang dapat mengganggu kedamaian di Papua khususnya dan Indonesia umumnya," ujar pria yang akrab disapa Bamsoet ini.
"MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) terus terlibat membantu saudara kita yang menyuarakan keadilan sosial terhadap Papua agar tidak mendapat diskriminasi hukum," tambah Bamsoet. (Baca juga: Gelar Pilkada di Tengah Pandemi, 218 Daerah Perlu Perhatian Ekstra)
Dia menyebut keberadaan Forum Komunikasi dan Aspirasi Anggota DPD-DPR RI Dapil Papua dan Papua Barat (For Papua) sebagai contoh upaya konkret yang sedang dilakukan MPR. Forum itu aktif menjembatani komunikasi dari berbagai pihak demi perdamaian di Papua.
"Alhamdulilah berkat kerja keras semua pihak, keenam saudara kita tersebut yakni Surya Anta Ginting, Anes Tabuni alias Dano Anes Tabuni, Charles Kossay, Ambrosius Mulait, dan Arina Elopere alias Wenebita Gwijangge, telah dibebaskan pada Mei 2020," kata Bamsoet.
Sementara itu, Anggota For Papua yang juga perwakilan DPD RI dari Papua, Yorrys Raweyai mengungkapkan bahwa ada penanganan hukum yang sudah coba mereka upayakan. Contohnya, kasus Mispo Gwijangge yang diduga membunuh pekerja Istaka Karya.
"Kami panggil mitra kerja dan pihak yang terkait Papua. Ini adalah upaya politik, bukan hanya hukum saja," kata Yorrys. (Baca juga: Fraksi PPP Dukung Maklumat MUI Tentang RUU HIP)
Pengadilan pada April lalu pun membebaskan Mispo dari berbagai tuduhan karena dianggap tidak terbukti. "Kami masih akan upayakan untuk kasus lain. Kami tidak tinggal diam," kata Yorrys.
Kendati mendapat pengawalan politik dan keberpihakan, dia mengingatkan agar masyarakat tetap mewaspadai pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang ingin mengambil untung dari situasi konflik di Papua. "Jangan kita terprovokasi dengan orang yang ingin mengait-ngaitkan masalah di Papua," katanya.
Hal senada juga diungkapkan Anggota DPD yang ada di For Papua dan mengawal kasus Mispo Gwijangge, Filep Wamafma. Filep mengakui bahwa urusan Papua tidak dipandang sebagai masalah hukum juga, tapi juga politik.
Sehingga langkah-langkah yang ditempuh itu akan menjadi kebijakan politik yang terbaik bagi Papua di masa depan. "Pemerintah juga harus membuka ruang yang luas, terbuka, melibatkan semua komponen. Sehingga masalah Papua juga bisa dibicarakan dengan martabat," ucap Filep.
Sekadar diketahui, isu rasisme di Papua seolah menemukan isu baru setelah sekelompok orang mencoba mengaitkan aksi kepedulian terhadap George Floyd di Amerika Serikat dengan proses hukum di bumi cendrawasih itu.
Padahal, banyak pihak sedang mengupayakan pendekatan persuasif, humanis, dan strategis dalam menyelesaikan berbagai dugaan diskriminasi hukum yang terjadi di Papua.
(maf)