Mau Haji di Metaverse?
loading...
A
A
A
M Cholil Nafis
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok
PADA Desember 2021 pemerintahArab Saudi merilis Ka’bah secara virtual di Metaverse. Proyek Ka’bah metaverse digagas dan diwujudkan oleh Dinas Urusan Museum dan Pameran Arab Saudi bekerjasama dengan Universitas Umm Al-Qura. Menurut rilis pemerintah Arab Saudi ketika peluncurannya Ka'bah di Metaverse dimaksudkan agar umat muslim bisa mengalami bahkan merasa mencium Hajar Aswad secara virtual sebelum melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Jadi sepertinya, peluncuran Ka’bah secara virtual di Metaverse itu sebagai sarana promosi wisata religi dari pemerintahan Arab Saudi, bukan bertujuan mengubah ibadah haji secara fisik menjadi virtual untuk mengatasi kepadatan jemaah haji serta menghindarkan diri dari kerumunan.
Namun menyusul kebijakan pemerintah Atab Saudi itu kini perdebatan dan pertanyaan muncul dari masyarakat tentang apakah bisa beribadah haji dan umrah atau bahkan memindahkan interaksi sosial dan transaksi keuangan di Metaverse? Mari kita kenali dulu apa itu Metaverse agar ada gambaran yang utuh tentang suatu masalah (tashawwur masalah) yang akan kita bahas dan ditentukan hukumnya.
Istilah Metaverse ditulis oleh Neal Stephenson di novel Snow Crash pada 1992. Dan karya tersebut menjadi populer sejak pendiri Facebook Mark Zuckerberg ingin menciptakan dunia virtual yang menggabungkan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) melalui Metaverse. Augmented reality adalah teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata lalu memproyeksikan benda-benda tersebut secara realitas dalam waktu nyata. Sementara virtual reality (VR) adalah teknologi yang mampu menciptakan simulasi. Simulasi ini bisa mirip dengan dunia nyata, seperti suasana saat pengguna berjalan-jalan di sebuah tempat.
Metaverse adalah sebuah konsep dunia virtual di mana seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet dalam bentuk avatar dirinya sendiri. Melalui Metaverse orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain dengan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, atau perangkat lainnya. Jadi, sebenarnya sebagian model Metaverse sudah biasa digunakan seperti dunia maya dijelajah melalui internet di YouTube, web dan dunia virtual lainnya meskipun belum seleluasa Metaverse dalam membuat horizon, avatar, bahkan mungkin alien.
Pelaksanaan haji di Metaverse adalah alam khayal dan fiksi di dunia maya. Sedangkan perintah pelaksanaan haji harus dengan fisik di dunia nyata. Begitu juga ibadah umrah harus di alam nyata karena mengikuti tuntunan Rasulullah Saw. Ibadah haji itu sifatnya ta’abbudi dan tauqifi. Disebut ta’abbudi karena memang murni pelaksanaan ibadah dengan melakukan napak tilas sebagai ketundukan totalitas yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Disebut tauqifi, karena haji itu tuntunan yang dijalankan sesuai ajaran yang diwahyukan dari Allah SWT. kepada Rasulullah Saw bahkan juga kepada Nabi Ibrahim As. Ini hal yang tidak boleh diubah atau disesuaikan dengan kreasi akal manusia. Jadi, saat pelaksanaan ibadah haji itu harus dilakukan secara fisik, dirasakan secara nyata. Makanya sama sekali tidak boleh diubah dengan pelaksanaan secara virtual.
Ibadah haji bersifat given (ketentuan tetap) dan take for granted dari Allah SWT yang harus dilakukan oleh umat muslim yang mampu. Maka selamanya tidak boleh ada penyesuaian apalagi perubahan karena ada perubahan waktu dan kondisi. Ibadah hanya bisa mendapatkan keringanan manakala seorang muslim mengalami kondisi tertentu sehingga tidak bisa dan sulit melakukan secara sempurna atau tidak bisa melakukan sama sekali sehingga mendapar rukhshah (dispensasi) untuk digugurkan pelaksanaannya, mengurangi atau menggantinya di lain waktu. Jadi, keringanan dan perubahan ibadah itu bersifat personal bukan kolektif.
Selamanya, ibadah itu bersifat tetap tak mengalami perubahan sampai adanya kesulitan. Asalnya ibadah itu haram sampai ada tuntunan yang mengajarinya. Maka seorang muslim tidak dapat melakukan ibadah dan haram (dilarang) hukum jika tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Saw. Berbeda dengan hukum asalnya mu’amalah ialah ibahah (boleh). Sebab muamalah bersifat ta’aqquli (rasional). Maka seorang muslim boleh berkreasi dalam bidang muamalah seperti transaksi apapun sampai ada dalil yang melarangnya. Jadi, seseorang diperbolehkan ber-muamalah seperti apapun caranya dengan dasar karena tidak ada dalil yang melarangnya.
Oleh karena itu boleh saja umat muslim menggunakan Metaverse untuk kepentingan muamalah seperti interaksi pekerjaan dan transaksi perdagangan dengan syarat tidak adanya jahalah (ketidakjelasan), gharar (tipu menipu), maysir (perjudian/spekulasi yang merugika orang lain), dan riba (mengambil tambahan dari hutang berdasarkan lamanya waktu). Yang sebenarnya transaksi ekonomi secara virtual menurut Syariah sudah berjalan sudah dan sudah ada panduannya dari fatwa ulama internasional dan fatwa para ulama di Indonesia.
Jadi dunia maya di Metaverse yang memungkinkan untuk interaksi secara sempurna dan leluasa dengan membuka alam maya sendiri seperti horizon, avatar alien dan lainnya bisa dimaksimalkan untuk kepentingan interaksi sosial dan transaksi ekonomi secara virtual. Namun ibadah mahdhal (murni) menyembah kepada Allah SWT tidak dapat dipindahkan ke dunia fiksi. Maka haji dan salat tidak sah dilakukan secara virtual di Metaverse. Wallahu a’lamu bishshawab.
Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Depok
PADA Desember 2021 pemerintahArab Saudi merilis Ka’bah secara virtual di Metaverse. Proyek Ka’bah metaverse digagas dan diwujudkan oleh Dinas Urusan Museum dan Pameran Arab Saudi bekerjasama dengan Universitas Umm Al-Qura. Menurut rilis pemerintah Arab Saudi ketika peluncurannya Ka'bah di Metaverse dimaksudkan agar umat muslim bisa mengalami bahkan merasa mencium Hajar Aswad secara virtual sebelum melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Jadi sepertinya, peluncuran Ka’bah secara virtual di Metaverse itu sebagai sarana promosi wisata religi dari pemerintahan Arab Saudi, bukan bertujuan mengubah ibadah haji secara fisik menjadi virtual untuk mengatasi kepadatan jemaah haji serta menghindarkan diri dari kerumunan.
Namun menyusul kebijakan pemerintah Atab Saudi itu kini perdebatan dan pertanyaan muncul dari masyarakat tentang apakah bisa beribadah haji dan umrah atau bahkan memindahkan interaksi sosial dan transaksi keuangan di Metaverse? Mari kita kenali dulu apa itu Metaverse agar ada gambaran yang utuh tentang suatu masalah (tashawwur masalah) yang akan kita bahas dan ditentukan hukumnya.
Istilah Metaverse ditulis oleh Neal Stephenson di novel Snow Crash pada 1992. Dan karya tersebut menjadi populer sejak pendiri Facebook Mark Zuckerberg ingin menciptakan dunia virtual yang menggabungkan teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) melalui Metaverse. Augmented reality adalah teknologi yang menggabungkan benda maya dua dimensi dan ataupun tiga dimensi ke dalam sebuah lingkungan nyata lalu memproyeksikan benda-benda tersebut secara realitas dalam waktu nyata. Sementara virtual reality (VR) adalah teknologi yang mampu menciptakan simulasi. Simulasi ini bisa mirip dengan dunia nyata, seperti suasana saat pengguna berjalan-jalan di sebuah tempat.
Metaverse adalah sebuah konsep dunia virtual di mana seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet dalam bentuk avatar dirinya sendiri. Melalui Metaverse orang-orang dapat bekerja, bertemu, bermain dengan headset realitas virtual, kacamata augmented reality, atau perangkat lainnya. Jadi, sebenarnya sebagian model Metaverse sudah biasa digunakan seperti dunia maya dijelajah melalui internet di YouTube, web dan dunia virtual lainnya meskipun belum seleluasa Metaverse dalam membuat horizon, avatar, bahkan mungkin alien.
Pelaksanaan haji di Metaverse adalah alam khayal dan fiksi di dunia maya. Sedangkan perintah pelaksanaan haji harus dengan fisik di dunia nyata. Begitu juga ibadah umrah harus di alam nyata karena mengikuti tuntunan Rasulullah Saw. Ibadah haji itu sifatnya ta’abbudi dan tauqifi. Disebut ta’abbudi karena memang murni pelaksanaan ibadah dengan melakukan napak tilas sebagai ketundukan totalitas yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Disebut tauqifi, karena haji itu tuntunan yang dijalankan sesuai ajaran yang diwahyukan dari Allah SWT. kepada Rasulullah Saw bahkan juga kepada Nabi Ibrahim As. Ini hal yang tidak boleh diubah atau disesuaikan dengan kreasi akal manusia. Jadi, saat pelaksanaan ibadah haji itu harus dilakukan secara fisik, dirasakan secara nyata. Makanya sama sekali tidak boleh diubah dengan pelaksanaan secara virtual.
Ibadah haji bersifat given (ketentuan tetap) dan take for granted dari Allah SWT yang harus dilakukan oleh umat muslim yang mampu. Maka selamanya tidak boleh ada penyesuaian apalagi perubahan karena ada perubahan waktu dan kondisi. Ibadah hanya bisa mendapatkan keringanan manakala seorang muslim mengalami kondisi tertentu sehingga tidak bisa dan sulit melakukan secara sempurna atau tidak bisa melakukan sama sekali sehingga mendapar rukhshah (dispensasi) untuk digugurkan pelaksanaannya, mengurangi atau menggantinya di lain waktu. Jadi, keringanan dan perubahan ibadah itu bersifat personal bukan kolektif.
Selamanya, ibadah itu bersifat tetap tak mengalami perubahan sampai adanya kesulitan. Asalnya ibadah itu haram sampai ada tuntunan yang mengajarinya. Maka seorang muslim tidak dapat melakukan ibadah dan haram (dilarang) hukum jika tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Saw. Berbeda dengan hukum asalnya mu’amalah ialah ibahah (boleh). Sebab muamalah bersifat ta’aqquli (rasional). Maka seorang muslim boleh berkreasi dalam bidang muamalah seperti transaksi apapun sampai ada dalil yang melarangnya. Jadi, seseorang diperbolehkan ber-muamalah seperti apapun caranya dengan dasar karena tidak ada dalil yang melarangnya.
Oleh karena itu boleh saja umat muslim menggunakan Metaverse untuk kepentingan muamalah seperti interaksi pekerjaan dan transaksi perdagangan dengan syarat tidak adanya jahalah (ketidakjelasan), gharar (tipu menipu), maysir (perjudian/spekulasi yang merugika orang lain), dan riba (mengambil tambahan dari hutang berdasarkan lamanya waktu). Yang sebenarnya transaksi ekonomi secara virtual menurut Syariah sudah berjalan sudah dan sudah ada panduannya dari fatwa ulama internasional dan fatwa para ulama di Indonesia.
Jadi dunia maya di Metaverse yang memungkinkan untuk interaksi secara sempurna dan leluasa dengan membuka alam maya sendiri seperti horizon, avatar alien dan lainnya bisa dimaksimalkan untuk kepentingan interaksi sosial dan transaksi ekonomi secara virtual. Namun ibadah mahdhal (murni) menyembah kepada Allah SWT tidak dapat dipindahkan ke dunia fiksi. Maka haji dan salat tidak sah dilakukan secara virtual di Metaverse. Wallahu a’lamu bishshawab.
(bmm)