Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara dan Hak Politik Dicabut 5 Tahun

Jum'at, 12 Juni 2020 - 17:29 WIB
loading...
Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara dan Hak Politik Dicabut 5 Tahun
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan tuntutan pidana penjara selama 10 tahun terhadap mantan Menpora Imam Nahrawi. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjatuhkan tuntutan pidana penjara selama 10 tahun terhadap mantan Menpora Imam Nahrawi, disertai pidana tambahan uang pengganti Rp19.154.203.882 dan pencabutan hak politik selama 5 tahun.

(Baca juga: Wali Kota Medan Divonis 6 Tahun Penjara dan Dicabut Hak Politiknya)

Surat tuntutan nomor: 62/TUT.01.06/24/06/2020 atas nama Imam Nahrawi dibacakan secara bergantian oleh JPU yang dipimpin Ronald Ferdinand Worotikan dan Budi Nugraha dengan anggota Muhammad Riduan, Agus Prasetya, dan Titto Jaelani, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (12/6/2020) siang hingga sore.

(Baca juga: Yudi Purnomo Tetap Jabat Ketua Wadah Pegawai KPK)

Persidangan ini berlangsung secara virtual. Majelis hakim dan JPU berada di Pengadilan Tipikor Jakarta. Imam Nahrawi dan tim penasihat hukumnya mengikuti persidangan dari Gedung Merah Putih KPK Jakarta.

JPU menilai, berdasarkan fakta-fakta persidangan yang telah terungkap maka disimpulkan bahwa Imam Nahrawi dalam kapasitas jabatan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) periode 2014-2019 yang merupakan penyelenggara negara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan dua delik tindak pidana korupsi (tipikor) secara bersama-sama dengan Miftahul Ulum(dituntut 9 tahun penjara) selaku asisten pribadi Nahrawi saat itu, secara berlanjut, dan merupakan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri.

Delik pertama, Imam Nahrawi bersama Miftahul Ulum telah menerima suap dengan total Rp11,5 miliar dalam tiga tahap secara berlanjut. Pertama, Rp500 juta pada Januari 2018. Kedua, Rp2 miliar pada Maret 2018. Ketiga, Rp9 miliar terpecah dalam tiga kali serah terima. Masing-masing Rp3 miliar, Rp3 miliar yang ditukar dalam bentuk mata uang asing sejumlah USD71.400 dan SGD189.000, dan Rp3 miliar yang dimasukan dalam amplop-amplop coklat dan dimasukkan dalam beberapa kardus kertas A4.

JPU memastikan, uang suap tersebut terbukti berasal dari terpidana Ending Fuad Hamidy (divonis 2 tahun 8 bulan) selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan terpidana Johny E Awuy (divonis 1 tahun 8 bulan) selaku Bendahara Umum KONI Pusat. Uang suap terbukti untuk pengurusan pemulusan pengesahan dua proposal yang diajukan KONI Pusat ke Kemenpora dan pencairan anggarannya dari Kemenpora ke KONI Pusat.

Proposal pertama yakni bantuan dana hibah dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan dan pendampingan (wasping) Program Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional Pada Multi Event 18th Asian Games 2018 dan 3rd Asian Para Games 2018 yang diajukan sebesar Rp51.592.854.500 dan disetujui Rp30 miliar kemudian dicairkan dua tahap dengan total Rp30 miliar.

Proposal kedua, yakni dukungan KONI Pusat dalam wasping Seleksi Calon Atlet dan Pelatih Atlet Berprestasi Tahun Kegiatan 2018 yang semula diajukan Rp16.462.990.000 kemudian terjadi dua kali perubahan menjadi Rp27.506.610.000 dan Rp21.062.670.000 serta disetujui sejumlah Rp17.971.192.000. Angka terakhir kemudian dicairkan dalam satu tahap.

JPU mengungkapkan, uang suap yang diterima Nahrawi bersama Ulum merupakan realisasi kesepakatan Ulum bersama Hamidy untuk penyediaan fee 15 hingga 19 persen yang sebelumnya disodorkan hitung-hitungannya oleh Ulum melalui lembar tissue. Uang suap bersumber dari uang dana hibah yang dicairkan KONI Pusat. Saat Ulum menuliskan pembagian uang, terdapat berbagai macam kode atau sandi untuk nama para pejabat Kemenpora. Nama Nahrawi disandikan dengan 'M' dan Ulum dengan 'Ul'.

Delik kedua, Nahrawi bersama Ulum terbukti telah menerima gratifikasi Rp8.648.435.682 dengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang harus dipandang sebagai suap. Gratifikasi ini diterima dari empat orang berbeda.

Pertama, Rp300 juta dari Ending Fuad Hamidy saat Nahrawi dan Ulum menghadiri acara Muktamar Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur pada 2015. Kedua, Rp4.948.435.682 sebagai uang tambahan operasional Menpora dari Lina Nurhasanah selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora Tahun Anggaran 2015 hingga 2016.

Selain itu Lina juga memberikan Rp2 miliar yang kemudian dipakai sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs atas rumah milik Imam Nahrawi yang terletak di Jalan Manunggal II, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Uang-uang yang diberikan Lina tersebut bersumber dari uang anggaran Satlak Prima.

Ketiga, uang sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima Kemenpora RI Tahun Anggaran 2016-2017. Uang yang diberikan Ucok bersumber dari uang anggaran Satlak Prima.

Uang lebih dulu dititipkan Ucok ke Tommy Suhartanto untuk dimintai tolong ke legenda bulutangkis Indonesia Taufik Hidayat selaku Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) sekaligus Staf Khusus Menpora. Taufik kemudian menyerahkan uang Rp1 miliar ke Nahrawi di rumah dinas Menpora.

Keempat, Rp400 juta dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018. Uang yang diberikan Supriyono merupakan uang pinjaman Supriyono dari KONI Pusat. Uang diterima Ulum di dekat masjid yang berada di dalam kompleks Kemenpora.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Imam Nahrawi dengan pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Menetapkan lamanya penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan," tegas JPU Ronald Ferdinand Worotikan saat membacakan amar tuntutan atas nama Imam Nahrawi.

JPU Ronald melanjutkan, total uang suap dan gratifikasi terbukti telah dipakai untuk kebutuhan dan kepentingan Nahrawi serta keluarga. Dengan mengingat ketentuan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, maka JPU menuntut Nahrawi dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti yang nilainya setara dengan hasil kejahatan yang diperoleh dan dinikmatinya. Dia memaparkan, sebelumnya saksi Budiyanto Pradono selaku pemilik dari Kantor Arsitek Budipradono telah mengembalikan Rp994.231.800 kepada penyidik KPK. Karenanya angka pidana uang pengganti dikurangkan dengan pengembalian tersebut.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Imam Nahrawi berupa membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp19.154.203.882, jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut. Jika harta bendanya tidak mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun," ungkapnya.

Dia menegaskan, Nahrawi melakukan perbuatan pidana dengan memanfaatkan jabatan publik yakni Menpora yang diembannya. Karena itu, JPU juga menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terhadap Nahrawi. Pencabutan ini, menurut JPU, dengan beberapa pertimbangan.

Di antaranya, Nahrawi selaku Menpora seyogyanya memberikan teladan yang baik dalam membina Kepemudaan dan Olahraga di Indonesia, tapi kewenangan tersebut telah disalahgunakan Nahrawi dengan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan kewajiban dan sumpah jabatan Nahrawi selaku Menpora.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Imam Nahrawi berupa pencabutan hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik selama 5 (lima) tahun terhitung sejak terdakwa Imam Nahrawi selesai menjalani pidana pokoknya," ujarnya.

Dia membeberkan, pihaknya menilai bahwa perbuatan Nahrawi bersama Ulum menerima suap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Perbuatan Nahrawi bersama Ulum menerima gratifikasi terbukti melanggar Pasal 12B jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

"Sebagaimana dalam dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua," kata JPU Ronald.

Dalam menyusun surat tuntutan dan menjatuhkan amar tuntutan, JPU mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan bagi Nahrawi yakni bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan dan masih memiliki tanggungan keluarga. Pertimbangan memberatkan untuk Nahrawi ada tiga. Satu, Nahrawi tidak kooperatif dan tidak mengakui terus terang seluruh perbuatan yang dilakukannya. Dua, Nahrawi tidak menjadi teladan yang baik sebagai pejabat publik.

"Perbuatan Terdakwa telah menghambat perkembangan dan prestasi atlit Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang olahraga," ucap JPU Ronald.

Atas tuntutan JPU, Imam Nahrawi bersama tim penasihat hukumnya memastikan akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi).
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2069 seconds (0.1#10.140)