Merayakan Seabad Kejujuran Hoegeng

Sabtu, 05 Februari 2022 - 08:45 WIB
loading...
Merayakan Seabad Kejujuran Hoegeng
Merayakan Seabad Kejujuran Hoegeng
A A A
Muhammad Shofa
Founder Bibliopolis Book Review Surabaya

Beberapa bulan lalu, sempat viral dan menjadi trending topik di berbagai platform media sosial, terutama di twitter, tanda pagar #PercumaLaporPolisi dan #NoViralNoJustice. Kedua tagar ini muncul dikarenakan kekecewaan publik terhadap kepolisian yang dinilai lamban dalam merespon laporan masyarakat.

Publik juga diselimuti rasa kekecewaan dalam melihat kinerja kepolisian dalam mengusut dan menindak pelaku kriminal. Kepolisian, menurut netizen, seringkali turun menanggapi keluhan masyarakat secara serius setelah viral di media sosial. Kedua tagar tersebut sebenarnya adalah uneg-uneg dan kritik dari masyarakat yang harusnya menjadi intropeksi lembaga kepolisian.

Melihat wajah kepolisian hari ini, kita tentu tak bisa melupakan dan meninggalkan sosok tokoh yang satu ini. Nama lengkapnya Hoegeng Iman Santoso. Akrab dikenal dengan panggilan Hoegeng. Ia dikenal sebagai polisi yang jujur, sederhana, anti korupsi, kolusi dan nepotisme, serta berani menindak anggota polisi yang lamban dalam menanggapi laporan masyarakat. Hoegeng lahir di Pekalongan 14 Oktober 1921. Karier tertinggi sebagai Panglima Angkatan Kepolisian RI (Kapolri) diraihnya pada 15 Mei 1968.

Lewat buku setebal 339 halaman ini, mahkamah pembaca disuguhkan perjalanan hidup Hoegeng langsung dari orang-orang terdekatnya. Istrinya, anaknya, cucunya, dan teman-temannya. Membaca buku ini, pembaca serasa diajak untuk melihat karakter Hoegeng secara lebih dekat. Baik sebagai polisi atau pun sebagai suami dan orang tua.

Bagian pertama dari buku ini berupa kisah yang dituturkan secara langsung oleh Meriyati Roeslani, istri dari Hoegeng. Meri menceritakan awal mula pertemuannya dengan Hoegeng, yang terjadi saat dirinya menjadi penyiar RRI dan Radio Angkatan Laut, Darat dan Oedara (ALDO) di Yogyakarta, pada 1946. Di sana, keduanya kemudian mendapat permintaan dari Bung Karno untuk membuat drama sandiwara radio berjudul Saijah dan Adinda.

Drama ini diangkat dari novel berjudul Max Havelaar karya Multatuli, nama pena dari Eduard Douwes Dekker. Dari sanalah kisah cinta antara Meri dan Hoegeng mulai terjalin hingga mengantarkan keduanya ke altar pernikahan pada 31 Oktober 1946. Banyak kisah yang dituturkan oleh Meri terkait sikap, karakter dan watak dari Hoegeng yang begitu keras menolak pemberian siapapun.

Meri menceritakan saat Hoegeng bertugas di Medan sebagai Kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara. Sebelum berangkat, Hoegeng sudah mendapat info dari Tengku Aziz (sosok ini nantinya akan menjadi Wakapolri mendampingi Hoegeng), bahwa menjadi pejabat di Medan sangatlah berat. Karena akan datang pengusaha hitam dengan suap yang menggiurkan. Medan adalah testcase bagi seorang polisi, apakah ia akan lulus oleh godaan atau akan terpeleset jatuh ke dalam perilaku yang tak pantas dengan mau menerima suap dan sogokan.

Apa yang dikatakan oleh Tengku Aziz itu, ternyata benar terjadi. Baru saja Hoegeng menginjakkan kakinya di pelabuhan Medan, ia sudah disambut oleh pengusaha hitam yang mengatasnamakan dirinya sebagai “Ketua Panitia Selamat Datang”. Pengusaha itu mengatakan, bahwa rumah baru dan mobil baru telah disiapkan untuk Hoegeng. Mendengar itu, Hoegeng bersikeras menolak pemberian tersebut dan pengusaha hitam itu pun melongo dibuatnya.

Masih menurut penuturan Meri, ternyata rumah dinas yang akan ditempati oleh Hoegeng, juga sudah dipenuhi barang-barang luks pemberian sang pengusaha tadi. Mengetahui itu, Hoegeng tidak mau masuk ke rumah dinas tersebut sebelum barang-barang itu diangkut dan dikembalikan pada pemberinya. Bahkan Hoegeng sempat naik pitam dan langsung mendatangi rumah dinasnya, di mana ia bertemu dengan pengusaha tersebut di sana.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4818 seconds (0.1#10.140)