Iuran BPJS Kesehatan, PKS Minta Pemerintah Jangan Terus Bebani Rakyat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Kurniasih Mufidayati mengungkapkan, fraksinya sudah mengirim surat secara resmi menolak kenaikan kembali iuran BPJS Kesehatan. Pasalnya, saat ini dalam kondisi Pandemi wabah virus Corona (Covid-19), ekonomi rakyat terpukul luar biasa.
(Baca juga: 2,3 Juta Peserta BPJS Kesehatan Berpotensi Turun Kelas Imbas Kenaikan Iuran)
"Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tidak tepat isinya, tidak tepat waktunya dan tidak menindaklanjuti keputusan MA. Regulasi ini sangat tidak tepat, kami meminta agar tidak memberikan beban baru kepada masyarakat dalam situasi pandemi," ujar Mufida, Jumat (12/6/2020).
(Baca juga: Masih Ada Waktu untuk Evaluasi Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)
Dia pun mengungkapkan, kekecewaan terhadap pemerintah yang mengabaikan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX dengan DJSN, Dewas BPJS dan Direksi BPJS Kesehatan pada 30 April 2020.
Dia mengatakan, dalam Laporan Singkat (Lapsing) RDP tersebut, Komisi IX DPR mendorong percepatan agar putusan MA dapat segera diimplementasikan dan disetujui oleh BPJS Kesehatan saat rapat.
"Lapsing RDP adalah pegangan yang formal, ini rapat yang formal tapi kenyataannya kami tidak melihat follow up dari rapat yang sudah kita sepakati. Pemerintah bukannya membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan (2), Perpres Nomer 75 Tahun 2019, yang dilakukan justru pemerintah menerbitkan Perpres baru yang kembali membebani rakyat juga membuat resah dan galau seluruh rakyat," kata Mufida.
Dirinya pun mengingatkan pemerintah bahwa kesimpulan dalam RDP memiliki kekuatan. “Seringkali hasil kesepakatan RDP DPR dengan pemerintah, hanya dianggap dokumen kertas yang tidak ada makna, padahal DPR adalah lembaga tinggi negara,” katanya.
Dia memahami BPJS Kesehatan sedang mengalami kesulitan dalam tata kelola keuangan BPJS Kesehatan. Namun, kata dia, jangan sampai jalan keluar yang dipilih untuk menyelesaikan kesulitan itu dengan membenai rakyat justru saat pandemi.
"Pemerintah pasti punya caralah, 1.001 cara untuk menyelesaikan itu. Poin-poin detil dalam Lapsing RDP 30 April juga memberikan rekomendasi bagaimana kalau terjadi defisit. Tapi jangan dibebankan ke masyarakat," ujar Anggota DPR dari Dapil Jakarta 2 ini.
Dia juga mengingatkan, agar pemerintah memiliki iktikad baik dalam memenuhi hak pelayanan kesehatan rakyat yang dijamin UUD. Bahwa memberikan hak pelayanan kesehatan itu kewajiban negara.
BPJS Kesehatan bukan asuransi kesehatan yang mengitung plus minus, tetapi memiliki ruh pemenuhan hak rakyat. "Untuk yang Kesekian kali kami mengetuk pintu hati bapak ibu sekalian, apakah layak di tengah situasi pandemi mengumumkan regulasi yang membuat resah dan galau seluruh rakyat Indonesia?" pungkasnya.
(Baca juga: 2,3 Juta Peserta BPJS Kesehatan Berpotensi Turun Kelas Imbas Kenaikan Iuran)
"Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tidak tepat isinya, tidak tepat waktunya dan tidak menindaklanjuti keputusan MA. Regulasi ini sangat tidak tepat, kami meminta agar tidak memberikan beban baru kepada masyarakat dalam situasi pandemi," ujar Mufida, Jumat (12/6/2020).
(Baca juga: Masih Ada Waktu untuk Evaluasi Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan)
Dia pun mengungkapkan, kekecewaan terhadap pemerintah yang mengabaikan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX dengan DJSN, Dewas BPJS dan Direksi BPJS Kesehatan pada 30 April 2020.
Dia mengatakan, dalam Laporan Singkat (Lapsing) RDP tersebut, Komisi IX DPR mendorong percepatan agar putusan MA dapat segera diimplementasikan dan disetujui oleh BPJS Kesehatan saat rapat.
"Lapsing RDP adalah pegangan yang formal, ini rapat yang formal tapi kenyataannya kami tidak melihat follow up dari rapat yang sudah kita sepakati. Pemerintah bukannya membatalkan Pasal 34 ayat (1) dan (2), Perpres Nomer 75 Tahun 2019, yang dilakukan justru pemerintah menerbitkan Perpres baru yang kembali membebani rakyat juga membuat resah dan galau seluruh rakyat," kata Mufida.
Dirinya pun mengingatkan pemerintah bahwa kesimpulan dalam RDP memiliki kekuatan. “Seringkali hasil kesepakatan RDP DPR dengan pemerintah, hanya dianggap dokumen kertas yang tidak ada makna, padahal DPR adalah lembaga tinggi negara,” katanya.
Dia memahami BPJS Kesehatan sedang mengalami kesulitan dalam tata kelola keuangan BPJS Kesehatan. Namun, kata dia, jangan sampai jalan keluar yang dipilih untuk menyelesaikan kesulitan itu dengan membenai rakyat justru saat pandemi.
"Pemerintah pasti punya caralah, 1.001 cara untuk menyelesaikan itu. Poin-poin detil dalam Lapsing RDP 30 April juga memberikan rekomendasi bagaimana kalau terjadi defisit. Tapi jangan dibebankan ke masyarakat," ujar Anggota DPR dari Dapil Jakarta 2 ini.
Dia juga mengingatkan, agar pemerintah memiliki iktikad baik dalam memenuhi hak pelayanan kesehatan rakyat yang dijamin UUD. Bahwa memberikan hak pelayanan kesehatan itu kewajiban negara.
BPJS Kesehatan bukan asuransi kesehatan yang mengitung plus minus, tetapi memiliki ruh pemenuhan hak rakyat. "Untuk yang Kesekian kali kami mengetuk pintu hati bapak ibu sekalian, apakah layak di tengah situasi pandemi mengumumkan regulasi yang membuat resah dan galau seluruh rakyat Indonesia?" pungkasnya.
(maf)