Presidential Threshold Tetap Perlu Ada, tapi Tak Setinggi Sekarang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Partai politik di Indonesia sedang menggodok ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan pencalonan presiden dan wakilnya ( presidential threshold ). Partai kecil tidak setuju kedua ambang batas itu terlalu tinggi.
Saat ini, partai-partai besar menginginkan ambang batas parlemen 7 persen. Sementara, partai menengah ke bawah menginginkan tetap pada angka sekarang 4 persen atau tidak ada sama sekali. Perdebatan tak kalah sengit mengenai presidential threshold. Banyak partai meminta syarat 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional diturunkan bahkan ditiadakan. Partai Golkar menginginkan ambang batas itu tetap. Sedangkan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) usul diturunkan ke 10 persen.
Pengamat politik Cecep Hidayat mengatakan, yang tidak relevan dari besaran presidential threshold itu hitungannya menggunakan perolehan suara pada pemilu sebelumnya. "Konstelasi politik sudah berubah," ucapnya kepada SINDOnews, Jumat (12/6/2020).
Dosen Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, presidential threshold sebaiknya tidak terlalu tinggi. Dengan syarat sebesar sekarang, menurutnya, malah menghasilkan pembelahan seperti sekarang. Akhirnya, yang bisa memajukan calon adalah partai pemilik suara mayoritas. ( ).
"Kekurangannya, muncul hanya sedikit calon. Enggak muncul tiga calon. Dampaknya pembelahan. Ketika bipolar, konflik semakin meruncing. Perlu dibatasi tapi tak setinggi (sekarang)," tuturnya.
Pemerintah maupun DPR RI harus mencari formula yang tepat dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Cecep mengusulkan dua pemilu serentak dalam setahun. Salah satu yang sedang digodok dalam revisi UU Pemilu adalah pelaksanaan pemilu serentak untuk tingkat nasional (DPR, DPD, dan Pileg) dan lokal (DPRD Provinsi, kabupaten, kota, serta pilkada).
"Kalau pilpres dan pileg bersamaan, kelebihannya politik dagang sapi jadi enggak ada. (Kalau tidak bersamaan) Masing-masing (biasanya) melihat hasil pileg dulu baru negosiasi untuk memajukan capres," pungkasnya. ( ).
Saat ini, partai-partai besar menginginkan ambang batas parlemen 7 persen. Sementara, partai menengah ke bawah menginginkan tetap pada angka sekarang 4 persen atau tidak ada sama sekali. Perdebatan tak kalah sengit mengenai presidential threshold. Banyak partai meminta syarat 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional diturunkan bahkan ditiadakan. Partai Golkar menginginkan ambang batas itu tetap. Sedangkan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) usul diturunkan ke 10 persen.
Pengamat politik Cecep Hidayat mengatakan, yang tidak relevan dari besaran presidential threshold itu hitungannya menggunakan perolehan suara pada pemilu sebelumnya. "Konstelasi politik sudah berubah," ucapnya kepada SINDOnews, Jumat (12/6/2020).
Dosen Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, presidential threshold sebaiknya tidak terlalu tinggi. Dengan syarat sebesar sekarang, menurutnya, malah menghasilkan pembelahan seperti sekarang. Akhirnya, yang bisa memajukan calon adalah partai pemilik suara mayoritas. ( ).
"Kekurangannya, muncul hanya sedikit calon. Enggak muncul tiga calon. Dampaknya pembelahan. Ketika bipolar, konflik semakin meruncing. Perlu dibatasi tapi tak setinggi (sekarang)," tuturnya.
Pemerintah maupun DPR RI harus mencari formula yang tepat dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Cecep mengusulkan dua pemilu serentak dalam setahun. Salah satu yang sedang digodok dalam revisi UU Pemilu adalah pelaksanaan pemilu serentak untuk tingkat nasional (DPR, DPD, dan Pileg) dan lokal (DPRD Provinsi, kabupaten, kota, serta pilkada).
"Kalau pilpres dan pileg bersamaan, kelebihannya politik dagang sapi jadi enggak ada. (Kalau tidak bersamaan) Masing-masing (biasanya) melihat hasil pileg dulu baru negosiasi untuk memajukan capres," pungkasnya. ( ).
(zik)