NU Anonim
loading...
A
A
A
Fenomena yang demikian dapat ditinjau dari dua sisi: positif dan negatif. Dari sisi positif, barangkali tipe-model ini bagi sebagian kalangan dianggap menambah jumlah anggota NU dan membawa citra baik untuk organisasi, apalagi “pendatang baru” itu dari kalangan tokoh publik, aktivis media sosial yang vokal, dan lainnya.
Namun hal itu pun tetap mengandung risiko. Seorang tokoh publik yang (seolah) aktivitasnya memperoleh legitimasi NU karena memperoleh “hadiah” Kartanu atau seragam Banser, misalnya, justru akan merugikan NU jika ia melakukan kesalahan yang tak sesuai dengan nilai-nilai ke-NU-an.
Sekadar menyebut kasus yang relevan dengan tipe orang NU seperti ini ada pada Permadi Arya alias Abu Janda, seorang pegiat media sosial yang mengaku kader NU, bahkan aktif sebagai kader Banser. Namun, begitu Abu Janda membuat kesalahan fatal, publik ramai-ramai mempertanyakan ke-NU-annya.
Keempat, bukan orang NU tetapi secara kultural merasa menjadi bagian dari NU; atau ia bangga diatributkan sebagai orang NU, meski secara formal memang bukan orang NU, bahkan non-muslim. Pandangan “orang luar NU”—tipe keempat ini—terhadap NU merupakan pengakuan objektif. Mereka, sebagaimana sering dijumpai dalam interaksi langsung di berbagai forum maupun media sosial, merasa nyaman dengan NU, sampai-sampai, ada “guyonan”, bahwa jika mereka dari kalangan Katolik, misalnya, disematkan sebagai “NU cabang Katolik”.
Sampai di sini muncul pertanyaan, apa faktor yang menjadi penyebab “orang luar NU” (NU anonim tipe keempat) mencintai NU, merasa nyaman dengan NU, dan mendukung langkah-langkah sosial yang dilakukan oleh NU? Dalam pengamatan saya, faktor utamanya adalah langkah politik kebangsaan, yang dilakukan oleh NU sejak awal pra-kemerdekaan Indonesia hingga sekarang.
Namun hal itu pun tetap mengandung risiko. Seorang tokoh publik yang (seolah) aktivitasnya memperoleh legitimasi NU karena memperoleh “hadiah” Kartanu atau seragam Banser, misalnya, justru akan merugikan NU jika ia melakukan kesalahan yang tak sesuai dengan nilai-nilai ke-NU-an.
Sekadar menyebut kasus yang relevan dengan tipe orang NU seperti ini ada pada Permadi Arya alias Abu Janda, seorang pegiat media sosial yang mengaku kader NU, bahkan aktif sebagai kader Banser. Namun, begitu Abu Janda membuat kesalahan fatal, publik ramai-ramai mempertanyakan ke-NU-annya.
Keempat, bukan orang NU tetapi secara kultural merasa menjadi bagian dari NU; atau ia bangga diatributkan sebagai orang NU, meski secara formal memang bukan orang NU, bahkan non-muslim. Pandangan “orang luar NU”—tipe keempat ini—terhadap NU merupakan pengakuan objektif. Mereka, sebagaimana sering dijumpai dalam interaksi langsung di berbagai forum maupun media sosial, merasa nyaman dengan NU, sampai-sampai, ada “guyonan”, bahwa jika mereka dari kalangan Katolik, misalnya, disematkan sebagai “NU cabang Katolik”.
Sampai di sini muncul pertanyaan, apa faktor yang menjadi penyebab “orang luar NU” (NU anonim tipe keempat) mencintai NU, merasa nyaman dengan NU, dan mendukung langkah-langkah sosial yang dilakukan oleh NU? Dalam pengamatan saya, faktor utamanya adalah langkah politik kebangsaan, yang dilakukan oleh NU sejak awal pra-kemerdekaan Indonesia hingga sekarang.
(bmm)