MK: Kewenangan Polisi Setop Orang di Jalan untuk Diperiksa Konstitusional

Rabu, 26 Januari 2022 - 15:07 WIB
loading...
MK: Kewenangan Polisi Setop Orang di Jalan untuk Diperiksa Konstitusional
Petugas kepolisian saat melakukan peneguran kepada pengendara yang menggunakan knalpot bising di Lampu Merah Garuda TMII, Pinang Ranti, Jakarta Timur, Selasa (16/11/2021). Foto/MPI/Aldhi Chandra
A A A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi ( MK ) dalam amar putusan menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun permohonan pengujian UU ini diajukan oleh dua orang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) Leonardo Siahaan dan Fransiscus Arian Sinaga.

"Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (25/1/2022).

Mahkamah dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kewenangan aparat kepolisian untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002, merupakan norma yang sama isinya dengan norma dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu mengatur wewenang penyelidik untuk melaksanakan tugas dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.





Mahkamah menyatakan kewenangan kepolisian menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal seperti diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian tidak menimbulkan tafsir berbeda. Rumusannya sudah jelas dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyatakan kewenangan pada pasal a quo tidak dapat dilepaskan dengan norma Pasal 13 UU 2/2002 mengenai tugas pokok kepolisian yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. "Norma-norma yang mengatur tugas dan kewenangan demikian menurut Mahkamah tidaklah harus dijelaskan lebih lanjut karena sudah cukup jelas," kata Hakim Manahan.

Mahkamah berpendapat, kewenangan memberhentikan orang yang dicurigai merupakan langkah awal dilakukannya pemeriksaan untuk menemukan tindak pidana atau pelanggaran hukum dalam suatu peristiwa. Para pemohon mendalilkan tidak adanya batasan pada norma Pasal 16 ayat (1) huruf d UU 2/2002 berpotensi merendahkan harkat dan derajat manusia.

Selain itu, pemohon khawatir kewenangan itu dimanfaatkan polisi merekam atau mengambil video untuk ditayangkan di televisi, YouTube atau media lainnya, tanpa izin dari orang yang diperiksa. Pemohon memberikan contoh kasus anggota Polri Sersan Ambarita.

Dalam kaitan kasus itu, MK menilai hal itu bukan berarti kewenangan yang diberikan kepada kepolisian melanggar hak atas jaminan perlindungan harkat dan martabat apalagi merendahkan derajat manusia. "Batasan-batasan dari kewenangan a quo dalam teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksana, yang tidak mungkin kesemuanya tertuang dalam undang-undang," tutur Hakim Manahan.
(rca)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1720 seconds (0.1#10.140)