Kerusuhan Rasial di AS Harus Jadi Pelajaran bagi Kemajemukan Indonesia

Kamis, 11 Juni 2020 - 16:42 WIB
loading...
A A A
"Tidak perlu mereka berhadap dengan masyarakat dengan cara-cara yang tidak beradap. Ini yang patut kita sampaikan. Persoalan rasisme di Indonesia diperluas mencakup SARA, ini memerlukan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan," tuturnya.

Sementara itu, Ketua DW-PIM Kalteng I Nyoman Sudiana mengatakan, kejadian rasisme di AS benar-benar mencemaskan. Menurutnya, setiap orang sebenarnya punya perasaan dasar rasis sehingga sangat mudah menjadi rasisme. "Secara insting mudah prejudise, sikap negatif, perasaan negatif ,tidak suka terhadap kelompok di luar kelompoknya. Semua orang bisa menjadi rasisme kecuali aturan-aturan negara dibuat sedimikian rupa untuk mengekang kecenderuan orang menjadi rasisme," tuturnya.

Kondisi multikultur seperti di Indonesia secara psikologis gampang tersulut maka rambu-rambu atau aturan bernegara harus diperkuat. "Kita belajar dari AS, kejadian ini bahaya betul maka rambu-rambu demokrasi kita, aturan, etika, perangkat hukum harus diperkuat," tuturnya.

Menurutnya, Indonesia beruntung memiliki kearifal lokal historis berupa Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila untuk memagari kesadaran insting alamiah manusia yang jika dilepas akan menjadi rasis. "Jadi, perangkat negera harus kuat memagari," kata Guru Besar Universitas Palangkaraya ini.

Anggota DN-PIM Uung Sendana menambahkan, belajar dari AS yang sudah lebih dari 200 tahun merdeka, ternyata masih ada suprioritas ras tertentu. Menurutnya, apa yang terjadi di AS menunjukkan bahwa kepemimpinan itu penting dalam menangani permaslahan di suatu negara karena hal itu akan membuat suasana lebih baik atau bergelora. "Apa yang terjadi di AS, juga menunjukkan bahwa di era internet ini, suatu kejadian di suatu daerah bisa menyebar begitu cepat," katanya.

Di Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka, kata Uung, juga masih terjadi banyak persoalan rasial. Dia mencontohkan kejadian kerusuhan di Papua, juga perselisian Suku Dayak dan Madura di Sampit. "Setiap pemilu juga selalu diusung soal SARA. Di AS, Donald Trump memang mengusung masalah SARA yang berbahaya. Indonesia dalam sertiap pemilu kita sering menghadapi persoalan-persoalan itu," katanya.

Menurut Uung, setiap etnis seharusnya bahu-membahu dan mengatasi perbedaan karena kita mempunyai modal besar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Anggota DN-PIM lainnya, Ita Puspitasari mengatakan, negeri ini sebenarnya mampu mengatasi masalah-masalah segregasi dan juga prasangka yang bisa meruncing pada konflik. "Mari kita mulai bersama-sama melihat bahwa negera kita adalah karunia Ilahi. Bahwa yang berbeda tidak perlu diperlakukan berbeda, tapi harus dirangkul bersama untuk menjadikan negeri ini semakin indah," tutur dosen UI dan PTIK ini.

Ketua DW-PIM Papua Samuel Tabuni mengatakan, kita harus mampu membangun perbedaan sebagai satu peluang dalam memperkuat visi misi bangsa. Papua sejak menjadi bagian resmi NKRI pada 1969, memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin sejahtera dalam satu keluarga yang merdeka secara ekonomi, bahasa, bangsa. "Papua bergabung ke RI ada harapan. Kami tidak datang dengan tangan kosong, tapi dengan kekayaan alam kita," katanya.

Samuel merasakan bahwa selama ini Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika masih kerap hanya dijadikan sebagai slogan. Sebab, faktanya hukum tidak berdiri tegak, khususnya di Papua. "Dalam kasus pelanggaran HAM, kita seakan-akan diperlakukan tidak adil. Hukum seakan-akan menindas kembali sesama anak bangsa. Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, belum mendarat di tanah Papua, belum mendarat di hati para pemimpin bangsa," katanya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1641 seconds (0.1#10.140)