Kerusuhan Rasial di AS Harus Jadi Pelajaran bagi Kemajemukan Indonesia

Kamis, 11 Juni 2020 - 16:42 WIB
loading...
Kerusuhan Rasial di...
Ketua DN PIM M Din Syamsuddin mengungkapkan, kejadian rasisme di AS yang terjadi beberapa waktu lalu, dapat dijadikan dorongan untuk hidup majemuk. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketua Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) M Din Syamsuddin mengungkapkan, kejadian rasisme di Amerika Serikat (AS) yang terjadi beberapa waktu lalu, dapat dijadikan dorongan bagi masyarakat Indonesia untuk lebih hidup dalam kemajemukan.

Hal itu disampaikan dalam sarasehan kebangsaan #21, bertajuk Kerusuhan Rasial di Amerika Serikat : Pelajaran Berharga bagi Indonesia, Jakarta, Kamis (11/6/2020). (Baca juga: Rusia Sebut Masalah Rasisme di AS Sudah Terlalu Besar, Sulit Disembunyikan)

"Berkaca menjadi dorongan bagi kita untuk membangun kemajemukan multikulturalisme atas dasar toleransi dan memang tadi terutama yang mewakili agama-agama menyampaikan betapa agama-agama semua agama sangat mengakui dan menghargai kemajemukan," ujar Din dalam acara tersebut.

Din mengungkapkan, umat manusia telah diciptakan dalam keragaman, ras, suku dan juga agama. Dan oleh karena itulah kemajemukan dapat dipandang dalam bahasa islam sebagai Sunnatullah hukum Tuhan dalam kehidupan ini.

"Kemajemukan dan kita berada di latar kemajemukan adalah takdir ilahi bukan hasrat insani bukan karena keinginan manusia tapi lebih merupakan ketentuan Tuhan," jelasnya. (Baca juga: Komisi I DPR Tegaskan Tidak Tepat Bandingkan Kasus Floyd dengan Papua)

Kemajemukan itu, kata Din, juga menjadi ujian bagi siapa yang bersiap untuk hidup berdampingan untuk damai di alam kemajemukan. Dan yang bisa bertahan akan menjadi pemenang sedangkan mereka yang eksklusif cenderung mengenyahkan pihak lain ingin duduk sendiri adalah pecundang.

Tidak hanya itu, menurut Din di Indonesia realitas kemajemukan sesungguhnya sangat kompleks ada kelid kelidan antara agama suku bahasa dan lain sebagainya dan juga masih rentan dan mudah diretakan terutama jika ada faktor-faktor yang permanen yang bisa membawa keretakan itu terutama adalah ketidakadilan dan tiadanya kemanusiaan yang adil dan beradab.

"Dan jika negara tidak mampu menjadi pengayom berada diatas untuk semua golongan menjadi unifyng fighter menjadi mediating and moderating fighter kekuatan pemersatu dan penengah. Maka negara dan aparat negara harus hadir menegakan hukum secara berkeadilan," tuturnya.
Kerusuhan Rasial di AS Harus Jadi Pelajaran bagi Kemajemukan Indonesia

Sementara Ketua Dewan Wilayah Pergerakan Indonesia Maju (DW PIM) Aceh Zardan Araby mengatakan, apa yang terjadi di AS harus menjadi contoh bagaimana negara harus bertindak secara adil. Menurutnya, kepolisian dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Namun di beberapa negara, polisi justru kerap membuat gaduh.

"Polisi harus disiapkan mentalnya. Misalnya saat demo bukan malah bertindak represif. Karena itu, polisi-polisi yang nakal harus ditertibkan dan dihukum," katanya dalam Sarasehan Kebangsaan #21 bertema "Kerusuhan Rasial di Amerika Serikat: Pelajaran Berharga bagi Indonesia" yang digelar Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN-PIM) secara virtual dengan moderator Din Syamsuddin selaku Ketua Umum DN-PIM.

Dikatakan Zardan Araby, tindakan seperti yang dilakukan polisi di AS terhadap George Floyd yang begitu sadis hingga meninggal, harus ditindak tegas. Menurutnya, ke depan, rasisme bisa dihindari jika pihak keamanan dan pimpinan bersatu padu.

"Tidak perlu mereka berhadap dengan masyarakat dengan cara-cara yang tidak beradap. Ini yang patut kita sampaikan. Persoalan rasisme di Indonesia diperluas mencakup SARA, ini memerlukan penegakan hukum yang konsisten dan berkeadilan," tuturnya.

Sementara itu, Ketua DW-PIM Kalteng I Nyoman Sudiana mengatakan, kejadian rasisme di AS benar-benar mencemaskan. Menurutnya, setiap orang sebenarnya punya perasaan dasar rasis sehingga sangat mudah menjadi rasisme. "Secara insting mudah prejudise, sikap negatif, perasaan negatif ,tidak suka terhadap kelompok di luar kelompoknya. Semua orang bisa menjadi rasisme kecuali aturan-aturan negara dibuat sedimikian rupa untuk mengekang kecenderuan orang menjadi rasisme," tuturnya.

Kondisi multikultur seperti di Indonesia secara psikologis gampang tersulut maka rambu-rambu atau aturan bernegara harus diperkuat. "Kita belajar dari AS, kejadian ini bahaya betul maka rambu-rambu demokrasi kita, aturan, etika, perangkat hukum harus diperkuat," tuturnya.

Menurutnya, Indonesia beruntung memiliki kearifal lokal historis berupa Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila untuk memagari kesadaran insting alamiah manusia yang jika dilepas akan menjadi rasis. "Jadi, perangkat negera harus kuat memagari," kata Guru Besar Universitas Palangkaraya ini.

Anggota DN-PIM Uung Sendana menambahkan, belajar dari AS yang sudah lebih dari 200 tahun merdeka, ternyata masih ada suprioritas ras tertentu. Menurutnya, apa yang terjadi di AS menunjukkan bahwa kepemimpinan itu penting dalam menangani permaslahan di suatu negara karena hal itu akan membuat suasana lebih baik atau bergelora. "Apa yang terjadi di AS, juga menunjukkan bahwa di era internet ini, suatu kejadian di suatu daerah bisa menyebar begitu cepat," katanya.

Di Indonesia yang sudah 75 tahun merdeka, kata Uung, juga masih terjadi banyak persoalan rasial. Dia mencontohkan kejadian kerusuhan di Papua, juga perselisian Suku Dayak dan Madura di Sampit. "Setiap pemilu juga selalu diusung soal SARA. Di AS, Donald Trump memang mengusung masalah SARA yang berbahaya. Indonesia dalam sertiap pemilu kita sering menghadapi persoalan-persoalan itu," katanya.

Menurut Uung, setiap etnis seharusnya bahu-membahu dan mengatasi perbedaan karena kita mempunyai modal besar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.

Anggota DN-PIM lainnya, Ita Puspitasari mengatakan, negeri ini sebenarnya mampu mengatasi masalah-masalah segregasi dan juga prasangka yang bisa meruncing pada konflik. "Mari kita mulai bersama-sama melihat bahwa negera kita adalah karunia Ilahi. Bahwa yang berbeda tidak perlu diperlakukan berbeda, tapi harus dirangkul bersama untuk menjadikan negeri ini semakin indah," tutur dosen UI dan PTIK ini.

Ketua DW-PIM Papua Samuel Tabuni mengatakan, kita harus mampu membangun perbedaan sebagai satu peluang dalam memperkuat visi misi bangsa. Papua sejak menjadi bagian resmi NKRI pada 1969, memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama ingin sejahtera dalam satu keluarga yang merdeka secara ekonomi, bahasa, bangsa. "Papua bergabung ke RI ada harapan. Kami tidak datang dengan tangan kosong, tapi dengan kekayaan alam kita," katanya.

Samuel merasakan bahwa selama ini Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika masih kerap hanya dijadikan sebagai slogan. Sebab, faktanya hukum tidak berdiri tegak, khususnya di Papua. "Dalam kasus pelanggaran HAM, kita seakan-akan diperlakukan tidak adil. Hukum seakan-akan menindas kembali sesama anak bangsa. Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, belum mendarat di tanah Papua, belum mendarat di hati para pemimpin bangsa," katanya.

Waketum DN-PIM Amidhan Shaberah mengatakan, perbedaan adalah suatu kewajaran karena begitulah Allah SWT menciptakan manusia agar saling mengenal, mengerti dan memahami. "Suku yang berbeda memiliki budayanya masing-masing. Bangsa yang berbeda memiliki budaya dan bahasanya masing-masing. Perbedaan secara rasial adalah ciptaan Allah yang tidak bisa diganggu gugat," katanya.

Dikatakan Amidhan, Alquran melarang keras rasisme dan rasialisme. Perbedaan warna kulit dan rambut, bukan merupakan lambang supremasi dan superioritas, Di Indonesia, mempermasalahkan SARA merupakan pelanggaran HAM dan moral, serta menjadi isu yang sangat sensitif.

Dia mencontohkan peristiwa dugaan rasisme mahasiswa Papua di Surabaya, beberapa waktu lalu, yang menyebabkan masyarakat Papua tersinggung dan berujung demostrasi dan kerusuhan di beberapa kota di Papua. "Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang begitu sensitif maka peristiwa di AS menjadi pelajaran sangat berharga untuk tidak terjadi kerusuan rasial seperti itu di Indonesia," katanya.

Bagi Indonesia, kata Amidhan, peristiwa rasial di AS adalah sebuah pelajaran berharga sekaligus tempat berkaca agar bangsa Indonesia tidak mengembangkan ego sentrisme dan fanitisme. Sebab, bangsa yang kuat adalah bangsa yang mengedepankan kemajemukan. "Dan kerusuhan di AS hendaknya juga menjadi pelajaran bagi kepolisian di Indonesia," pungkasnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1118 seconds (0.1#10.140)