Gimik Berbahasa dan Emosionalisme Temporer

Sabtu, 22 Januari 2022 - 08:12 WIB
loading...
Gimik Berbahasa dan Emosionalisme Temporer
Gimik Berbahasa dan Emosionalisme Temporer
A A A
Anton Suparyanta
Esais, buruh buku di penerbitan

Anda kenal figur Prof Djoko Saryono (UNM Malang)? Beliau bisa ditengarai si literat “nggambleh fb” yang cerdas pun langka pada era digital paket pandemi. Banyak ide gila, satu atau dua kalimat hingga menyeser beberapa paragraf memancing fakta menjadi fiksi, pun sebaliknya.

Nukillah #nggamblehmalamrecehan (19/2) berikut: Yang baku itu ditulis “projek” apa “proyek”? Dalam Kurikulum Protipe konsisten ditulis “pembelajaran berbasis projek”. Mungkin yang dimaksud Kurikulum Protipe sekadar typo dari Kurikulum Prototipe (Prototype). Baku dan tidak baku kata atau istilah sebenarnya sudah ada lapangannya, KBBI. Lha, gaya selingkung untuk memenjara diri dalam tulis-menulis? Abaikanlah!

Beberapa waktu lalu riuhlah “kids jaman now” yang jelas memicu musuh lema KBBI. Jauh hari pernah saya unggah di Simalaba Online bahwa di Mojok.co Prima Sulistya kesuh. Nerocoslah gerundelan berjudul “Bikin KBBI Adalah Pekerjaan Paling Sia-Sia”. Siapa sih sampeyan? Ternyata Prima penjaga bahasa Mojok.co. Di Basabasi.co Edi AH Iyubenu nelangsa. Happy problems! Mbrebeslah racauan “Sejumlah Masalah Serius dalam KBBI”. Siapa sih Edi? Ternyata Edi bos lini penerbit buku Diva Press, Yogyakarta.

Sentilan Prima dan Edi yang ngiang tentang KBBI pun PUEBI, selalu terngiang untuk setiap pelakon berbahasa Indonesia. Betapa tidak! Sebab celoteh Prima dan Edi adalah KBBI dan PUEBI itu “macan ompong”. Mentereng, tetapi pagar makan tanaman. Sak wudele dhewe ketika praksis berbahasa. Sampai-sampai si Edi ini menguar mendatangkan jagoan bahasa Ivan Lanin.

Lagi-lagi, ketika itu Riki Utomi dan Rafita Dewi, guru Bahasa Indonesia SMA di Tebingtinggi (Selatpanjang) dan Bengkalis, meracau. Dua-duanya geregetan dengan virus berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Jiwa muda dan semangat idealistis membara. Riki khawatir telah terjadi ancaman. Sudah ada pengkhianatan terhadap bahasa nasional.

Satu sodoran data mencolok bahwa rating tinggi untuk frasa “otw, btw, tot, to, iht, fyi” adalah akronim pengganggu. Lebih sarkartis lagi, ada kudeta (kosakata) bahasa. Seide Riki, Rafita Dewi gerah. Rafita mempertanyakan martabat bahasa Indonesia di tengah gempuran penggunaan kosakata asing yang begitu informatif dan komunikatif. Prihatinkah?

Mereka pelaku tangguh berbahasa jika konsisten dan kontinu membenahi karut-marut berbahasa Indonesia. Tetapi menjadi pecundang berbahasa jika terseret semangat “sisipus”. Kita tunggu lentik gagasan lanjut. Seberapa garangkah mereka bertualang bahasa demi adab, entitas, dan identitas tegaknya bahasa Indonesia yang sah menyandang gelar Bahasa Nasional? Janganlah terbuai “sisipus berbahasa”.

Bahasa (Indonesia) menjadi cermin cara berpikir bangsa. Bahasa cermin bangsa. Warisan pikir ini menjadi konyol jika dibenturkan penggunaan bahasa Indonesia yang selalu dipagari frasa “yang baik dan yang benar”. Mengapa mereka harus mengeluh? Keprihatinan berbahasa Indonesia yang dipaparkannya menjadi kurang bernas jika hanya mandek sebatas paparan. Sekadar lempar handuk. Keprihatinan tersebut justru menggiring salah kaprah berbahasa.

Benturkan dengan sanggahan ini 1) tidak ada penggunaan bahasa Indonesia yang sekaligus merengkuh “yang baik dan yang benar”; 2) tidak boleh menghakimi penggunaan bahasa Indonesia yang dianggap salah di media jejaring sosial; 3) tidak perlu menggubris penggunaan bahasa gaya artis, presenter, master of ceremony, atau penyiar; 4) tidak perlu menggugat ragam bahasa iklan, baliho, atau nama-nama penyedia jasa transportasi; 5) lalu benarkah penggunaan adonan kosakata asing dalam bahasa kita akan mengacaukan gaya berbahasa dan membuat tidak jelas mental bangsa? dan 6) bukankah setiap media tertentu sudah mamatok kebahasaannya dengan etiket selingkung?
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5068 seconds (0.1#10.140)