Islam Madzhab Negara bagi Pemerintahan Jokowi
loading...
A
A
A
Kebijakan Tanpa Road Map
Dari perspektif komunikasi politik, kebijakan Islam pemerintah Jokowi, tampak gagap. Kebijakan Jokowi terkaitI Islam terlihat sporadis, tanpa arah, cenderung dibiarkan liar, serta tidak dikelola secara elegan.
Terlepas dari persoalan komunikasi, kebijakan keislaman seperti ini, jika dicermati lebih serius awalnya adalah tidak adanya semacam road map. Kebijakan Islam tanpa road map, bisa berdampak luas. Mulai dari, kegaduhan di medsos, sumpah serapah, rendahnya keadaban publik di ruang politik, hingga turbulensi sosial politik baik di tingkat elite, dan lebih-lebih di kalangan akar rumput..
Nihilnya road map politik Islam pemerintahan Jokowi setidaknya terdeteksi dari tiga hal berikut. Pertama, tidak ada satu pun staf Presiden, staf milenial, juru bicara presiden, deputi Kantor Staf Presiden (KSP), apalagi pejabat setingkat menteri, yang mengomunikasikan kebijakan Islam Jokowi, secara memadai. Kedua, pada kasus kontraterorisme dan radikalisme, justru lembaga Islam bentukan negara semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), tersusupi kelompok radikal. Ketiga, pernyataan beberapa pejabat pemerintah, yang memancing dan memprovokasi antarkelompok Islam: “Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU”, adalah salah satu contohnya.
Islam Madzhab Negara
Sebagai catatan penutup, setidaknya ada dua langkah ideal yang bisa diambil pemerintahan Jokowi, demi memperbaiki pola komunikasi kebijakan Islam. Langkah ini sekaligus juga sebagai road map rintisan demi upaya serius membangun kebijakan Islam yang ideal. Langkah tersebut bisa dimulai dengan menunjuk staf yang bertanggung jawab khusus urusan-urusan Islam. Staf ini mendesak, sebab jika hanya mengandalkan Kementerian Agama dan MUI kebijakan pemerintahan Jokowi terkait Islam, terbukti tidak tersosialisasi secara maksimal.
Langkah selanjutnya, bisa dilakukan dengan memilih serta menunjuk warna Islam mainstream di Indonesia, sebagai “Islam Madzhab Negara”. Warna Islam ini dalam nomenklatur yang sudah dikenal adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara semacam NU atau Muhammadiyah, terbukti sejalan, seirama dan senapas dengan detak jantung dan urat nadi pemerintahan Jokowi. Islam Nusantara terbukti dan teruji sanggup berdialektika dengan kebinekaan, menghormati budaya serta adat, tanpa harus menanggalkan keislamannya. Islam Nusantara juga tidak inferior mempresentasikan orisinalitas Islam tanpa harus mengganti sarung dengan gamis, baju surjan dengan baju takwa, ataupun membuang songkok dan bedug demi dan atas nama bid’ah, Islam Nusantara adalah Islam yang ideal sebagai “Islam madzhab negara”. Jika langkah ini terwujud, pemerintahan Jokowi bisa “meminjam tangan” Islam madzhab negara, untuk melakukan “tertib beragama” di Indonesia.
Sebagai bahan perbandingan, di sejumlah negara Islam, kebijakan menyangkut Islam, selalu dan niscaya melalui “Islam Madzhab Negara”. Saudi Arabia dengan Wahabi, Iran dengan Syiah, juga Pakistan dengan memilih Islam model Hanafi sebagai Madzhab Negara. Sebaliknya, negara-negara Islam yang melakukan “pembiaran” terhadap pilihan warna Islam warganya, energinya terkuras, bahkan konflik berkepanjangan. Suriah dengan trilogi konflik Islam Sunni-Syiah-Druze, adalah contohnya. Wallahu A’lam.
Dari perspektif komunikasi politik, kebijakan Islam pemerintah Jokowi, tampak gagap. Kebijakan Jokowi terkaitI Islam terlihat sporadis, tanpa arah, cenderung dibiarkan liar, serta tidak dikelola secara elegan.
Terlepas dari persoalan komunikasi, kebijakan keislaman seperti ini, jika dicermati lebih serius awalnya adalah tidak adanya semacam road map. Kebijakan Islam tanpa road map, bisa berdampak luas. Mulai dari, kegaduhan di medsos, sumpah serapah, rendahnya keadaban publik di ruang politik, hingga turbulensi sosial politik baik di tingkat elite, dan lebih-lebih di kalangan akar rumput..
Nihilnya road map politik Islam pemerintahan Jokowi setidaknya terdeteksi dari tiga hal berikut. Pertama, tidak ada satu pun staf Presiden, staf milenial, juru bicara presiden, deputi Kantor Staf Presiden (KSP), apalagi pejabat setingkat menteri, yang mengomunikasikan kebijakan Islam Jokowi, secara memadai. Kedua, pada kasus kontraterorisme dan radikalisme, justru lembaga Islam bentukan negara semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), tersusupi kelompok radikal. Ketiga, pernyataan beberapa pejabat pemerintah, yang memancing dan memprovokasi antarkelompok Islam: “Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU”, adalah salah satu contohnya.
Islam Madzhab Negara
Sebagai catatan penutup, setidaknya ada dua langkah ideal yang bisa diambil pemerintahan Jokowi, demi memperbaiki pola komunikasi kebijakan Islam. Langkah ini sekaligus juga sebagai road map rintisan demi upaya serius membangun kebijakan Islam yang ideal. Langkah tersebut bisa dimulai dengan menunjuk staf yang bertanggung jawab khusus urusan-urusan Islam. Staf ini mendesak, sebab jika hanya mengandalkan Kementerian Agama dan MUI kebijakan pemerintahan Jokowi terkait Islam, terbukti tidak tersosialisasi secara maksimal.
Langkah selanjutnya, bisa dilakukan dengan memilih serta menunjuk warna Islam mainstream di Indonesia, sebagai “Islam Madzhab Negara”. Warna Islam ini dalam nomenklatur yang sudah dikenal adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara semacam NU atau Muhammadiyah, terbukti sejalan, seirama dan senapas dengan detak jantung dan urat nadi pemerintahan Jokowi. Islam Nusantara terbukti dan teruji sanggup berdialektika dengan kebinekaan, menghormati budaya serta adat, tanpa harus menanggalkan keislamannya. Islam Nusantara juga tidak inferior mempresentasikan orisinalitas Islam tanpa harus mengganti sarung dengan gamis, baju surjan dengan baju takwa, ataupun membuang songkok dan bedug demi dan atas nama bid’ah, Islam Nusantara adalah Islam yang ideal sebagai “Islam madzhab negara”. Jika langkah ini terwujud, pemerintahan Jokowi bisa “meminjam tangan” Islam madzhab negara, untuk melakukan “tertib beragama” di Indonesia.
Sebagai bahan perbandingan, di sejumlah negara Islam, kebijakan menyangkut Islam, selalu dan niscaya melalui “Islam Madzhab Negara”. Saudi Arabia dengan Wahabi, Iran dengan Syiah, juga Pakistan dengan memilih Islam model Hanafi sebagai Madzhab Negara. Sebaliknya, negara-negara Islam yang melakukan “pembiaran” terhadap pilihan warna Islam warganya, energinya terkuras, bahkan konflik berkepanjangan. Suriah dengan trilogi konflik Islam Sunni-Syiah-Druze, adalah contohnya. Wallahu A’lam.
(bmm)