Jadi Satu-satunya Fraksi Tolak RUU TPKS, Ini Penjelasan Lengkap PKS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ( PKS ) menjadi satu-satunya fraksi dari 9 fraksi di DPR yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai RUU usul inisiatif DPR. Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini pun menjelaskan alasannya.
Baca Juga: Fraksi PKS
Baca juga: Sepanjang 2021, Fraksi PKS Sudah 8 Kali Potong Gaji untuk Korban Bencana
"Ketiganya merusak tatanan keluarga bahkan peradaban bangsa. Untuk itu, ketiganya harus diatur secara bersamaan dalam sebuah UU yang komprehensif tentang tindak pidana kesusilaan/tindak pidana kejahatan seksual," kata Jazuli kepada wartawan dikutip Rabu (19/1/2022).
Anggota Komisi I DPR ini menekankan, pentingnya pengaturan komprehensif tindak pidana kesusilaan untuk melindungi korban kekerasan seksual dan juga korban-korban kejahatan seksual lainnya akibat seks bebas dan seks menyimpang.
Sehingga, Fraksi PKS ingin agar ketiganya diatur dalam UU khusus sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling menguatkan. "Tanpa pengaturan komprehensif dimaksud, perlindungan terhadap korban menjadi tidak kuat, tidak utuh, atau parsial," ujarnya.
Faktanya, lanjut legislator Dapil Banten ini, baik kekerasan seksual, seks bebas, dan seks menyimpang semuanya menghasilkan korban dan korbannya adalah anak-anak, remaja, perempuan, orang tua dan keluarga Indonesia.
Dalam banyak kasus, mereka yang terlibat seks bebas dan seks menyimpang kerap mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan seksual, eksploitasi seksual, hingga pemaksaan aborsi akibat hubungan di luar nikah, dan lainnya.
"Sebagaimana data yang dipaparkan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Komnas Perempuan, Pusat Advokasi PKS, dan lembaga-lembaga advokasi kekerasan seksual lainnya," ujarnya.
"Yang sangat menyedihkan kasus-kasus seks bebas dan seks menyimpang serta kekerasan seksual akibat perilaku tersebut semakin marak dan meningkat grafiknya dari tahun ke tahun," sesal Jazuli.
Oleh karena itu dia menambahkan, Fraksi PKS berpendapat bahwa tidak bisa tindak pidana kekerasan seksual seolah-olah berdiri sendiri. Itu harus diatur komprehensif dengan tindak pidana kesusilaan lainnya yakni seks bebas dan seks menyimpang, agar pencegahan dan perlindungan terhadap korban bisa berlaku efektif dan maksimal.
"Sayangnya, RUU TPKS/PKS tidak mengakomodir usulan pengaturan yang komprehensif tersebut, sehingga bukannya memperkuat upaya penghapusan kekerasan seksual dan perlindungan korban tetapi justru menimbulkan bias tafsir karena seks bebas dan menyimpang tidak dikenai sanksi pidana. Akibatnya upaya penghapusan terhadap segala bentuk kejahatan seksual dipastikan tidak akan efektif," sesalnya.
"Demikian keprihatinan dan kekhawatiran kami sehingga dengan berat hati Fraksi PKS menolak RUU TPKS/PKS semata-mata agar RUU ini dikonstruksikan kembali untuk menghapuskan segela bentuk kejahatan seksual yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa," pungkas Jazuli.
Baca Juga: Fraksi PKS
Baca juga: Sepanjang 2021, Fraksi PKS Sudah 8 Kali Potong Gaji untuk Korban Bencana
"Ketiganya merusak tatanan keluarga bahkan peradaban bangsa. Untuk itu, ketiganya harus diatur secara bersamaan dalam sebuah UU yang komprehensif tentang tindak pidana kesusilaan/tindak pidana kejahatan seksual," kata Jazuli kepada wartawan dikutip Rabu (19/1/2022).
Anggota Komisi I DPR ini menekankan, pentingnya pengaturan komprehensif tindak pidana kesusilaan untuk melindungi korban kekerasan seksual dan juga korban-korban kejahatan seksual lainnya akibat seks bebas dan seks menyimpang.
Sehingga, Fraksi PKS ingin agar ketiganya diatur dalam UU khusus sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling menguatkan. "Tanpa pengaturan komprehensif dimaksud, perlindungan terhadap korban menjadi tidak kuat, tidak utuh, atau parsial," ujarnya.
Faktanya, lanjut legislator Dapil Banten ini, baik kekerasan seksual, seks bebas, dan seks menyimpang semuanya menghasilkan korban dan korbannya adalah anak-anak, remaja, perempuan, orang tua dan keluarga Indonesia.
Dalam banyak kasus, mereka yang terlibat seks bebas dan seks menyimpang kerap mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan seksual, eksploitasi seksual, hingga pemaksaan aborsi akibat hubungan di luar nikah, dan lainnya.
"Sebagaimana data yang dipaparkan Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Komnas Perempuan, Pusat Advokasi PKS, dan lembaga-lembaga advokasi kekerasan seksual lainnya," ujarnya.
"Yang sangat menyedihkan kasus-kasus seks bebas dan seks menyimpang serta kekerasan seksual akibat perilaku tersebut semakin marak dan meningkat grafiknya dari tahun ke tahun," sesal Jazuli.
Oleh karena itu dia menambahkan, Fraksi PKS berpendapat bahwa tidak bisa tindak pidana kekerasan seksual seolah-olah berdiri sendiri. Itu harus diatur komprehensif dengan tindak pidana kesusilaan lainnya yakni seks bebas dan seks menyimpang, agar pencegahan dan perlindungan terhadap korban bisa berlaku efektif dan maksimal.
"Sayangnya, RUU TPKS/PKS tidak mengakomodir usulan pengaturan yang komprehensif tersebut, sehingga bukannya memperkuat upaya penghapusan kekerasan seksual dan perlindungan korban tetapi justru menimbulkan bias tafsir karena seks bebas dan menyimpang tidak dikenai sanksi pidana. Akibatnya upaya penghapusan terhadap segala bentuk kejahatan seksual dipastikan tidak akan efektif," sesalnya.
"Demikian keprihatinan dan kekhawatiran kami sehingga dengan berat hati Fraksi PKS menolak RUU TPKS/PKS semata-mata agar RUU ini dikonstruksikan kembali untuk menghapuskan segela bentuk kejahatan seksual yang merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa," pungkas Jazuli.
(maf)