Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). Foto/SINDOnews
AAA
JAKARTA - Dukungan kepada jaksa penuntut umum yang menuntut hukuman mati dan kebiri kimia Herry Wirawan terdakwa pemerkosa 13 santriwati terus mengalir. Kali ini dukungan datang dari Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW).
"Ini adalah bukti keseriusan dan komitmen untuk memberantas kekerasan dan kejahatan seksual. Apalagi ketika anak-anak yang menjadi korbannya," kata Hidayat dalam keterangannya, Jumat (14/1/2022).
"Sanksi hukuman mati itu diakui dalam sistem hukum di Indonesia, melalui UU Perlindungan Anak, yang dikuatkan Presiden Jokowi dengan Perppu yang menjadi UU Nomor 17/2016 tentang Perubahan Kedua UU Perlindungan Anak," tambahnya.
Apalagi kata HNW, berdasarkan prinsip hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, ada Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, pemberlakuan HAM di Indonesia harus tunduk pada pembatasan yang dibuat oleh undang-undang, seperti UU Perlindungan Anak.
Politikus senior Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini melanjutkan, meski UUD 1945 memberikan jaminan terhadap hak hidup sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 28I, tetapi pelaksanaan hak hidup itu dibatasi oleh Pasal 28J Ayat (2).
"Artinya, sanksi hukuman mati itu tetap sah diberlakukan selama diatur melalui undang-undang yang berlaku di Indonesia," tegasnya.
Kemudian, anggota Komisi VIII DPR ini menjelaskan, UU Perlindungan Anak jelas mencantumkan beberapa ketentuan hukuman mati pada kejahatan serius terhadap anak.
Selain Pasal 81 Ayat (5) terkait kekerasan seksual terhadap anak yang dikenakan kepada Herry Wirawan, ada pula Pasal 89 Ayat (1) yang mencantumkan hukuman mati terkait pelibatan anak dalam kasus penyalahgunaan narkotika dan/atau psikotropika.
Apalagi, di tengah meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak, sepatutnya bila pasal-pasal dari UU Perlindungan Anak yang mengatur sanksi maksimal hingga hukuman mati, sebagaimana tuntutan yang diajukan Kajati Jabar terhadap terdakwa Herry Wirawan.
Untuk itu, HNW mendukung tuntutan JPU terhadap Herry Wirawan yang menambahkan sanksi pemberat, sebagai ikhtiar kesungguhan menghadirkan perlindungan terhadap anak-anak. Juga sebagai usaha menghadirkan efek jera agar orang lain berpikir berulangkali untuk melakukan perbuatan serupa.
"Memang ada pihak yang berdalih tidak ada korelasi antara hukuman mati dan efek jera, dengan argumen bahwa kejahatan toh masih ada. Ini logika yang sesat dan tak sesuai dengan prinsip negara hukum seperti yang berlaku di Indonesia," tegasnya.
"Kalau cara berpikirnya seperti itu, maka semua sanksi pidana yang ringan sekalipun akan bisa dianggap tidak diperlukan. Karena dianggap tidak memiliki efek jera, karena masih terjadinya kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat," sambungnya.
Menurut HNW, tuntutan hukuman mati merupakan komitmen dirinya dan juga PKS dalam memberantas dan mencegah kekerasan serta kejahatan seksual. Ia pun berharap agar RUU Tindak PIdana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dapat mencantumkan hukuman yang maksimal ini.
"Kalau pendukung RUU TPKS serius melawan kejahatan/kekerasan seksual, dan betul-betul ingin melindungi korban, harusnya juga mendukung tuntutan hukuman mati, tidak malah menolaknya, dan memasukkan ketentuan sangsi hukuman mati itu ke dalam Pasal-Pasal di RUU TPKS," pinta legislator DKI Jakarta ini.